Sdr. Vredigando Engelberto Namsa, OFM
Biarawan Fransiskan, tinggal di Waena-Jayapura, Papua
Sumber utama Kristologi, juga bagi para teolog Asia adalah Perjanjian Baru. Dalam Perjanjian Baru ada tiga sudut padang utama tentang misteri Yesus Kristus. Pembagian ini mengacu pada pemikiran Kristologi Gereja Katolik pada umumnya. Pertama, titik tolak refleksi adalah kebangkitan Yesus dan pengalaman paskah para murid. Kedua, refleksi post-paskah dari Gereja perdana yang berawal dari kerygma apostolik. Isi penting kerygma apostolik adalah pemakluman akan Kristus yang telah bangkit serta pembacaan kembali dalam terang paskah atas Yesus yang historis (hidup, karya, ajaran dan gelar-gelar yang dikenakan kepadaNya). Ketiga, tahap kemudian yang sering dinilai sebagai tahapan paling matang dari refleksi Gereja perdana. Dalam tahap ini terdapat pengakuan dan identitas personal Yesus Kristus sebagai Logos yang pra-ada.
Pada prinsipnya dapat dikatakan bahwa dalam Perjanjian Baru terdapat dua jenis Kristologi yaitu Kristologi dari bawah dan Kristologi dari atas. Kristologi dari bawah berbicara tentang pengangkatan Yesus dari Nasareth menjadi Tuhan dan Kristus melalui kebangkitanNya. Kristologi dari atas berbicara tentang Logos pra-ada yang menjelma menjadi manusia dan dikenal dengan nama Yesus dari Nasareth. Dan ada gerakan yang berjalan secara progresif dari “kristologi dari bawah ke Kristologi dari atas”. Kristologi dari atas ini dalam perjalanan waktu semakin mengutamakan konstitusi ontologis Kristus sebagai Allah-manusia dari pada Yesus historis. Dan kristologi seperti ini telah dirumuskan sebagai dogma dalam konsili-konsili awal (Nicaea, Konstantinopel dan Kalchedon), mendapat prioritas dalam kekristenan selama satu periode sejarah yang cukup lama.
Dewasa ini ada gerakan kembali ke Yesus historis. Akan tetapi dari Kristologi yang bervariasi dalam perjanjian baru, timbul suatu persolan tentang hubungan antar Yesus historis dan Kristus iman. Rudolf Butlmann misalnya melihat keterpisahan yang begitu jauh antara Yesus historis dan Kristus iman. Secara jelas Bultmann berkeyakinan bahwa kehidupan pribadi Yesus historis tidak mungkin dapat diketahui jika sumber-sumber kekristenan tidak tertarik berbicara tentang Yesus historis kecuali secara fragmentaris dan cenderung kepada mitos (R. Bultmann, Jesus, Tubigen; Mort, 1958, hal 11). Tetapi Komisi Teologi Internasional memberi penjelasan bahwa Yesus historis tidak dipisahkan dari Kristus iman. Setiap Kristologi yang secara otentik Kristen, menurut Komisi Teologi Internasional, harus berpegang teguh pada kesatuan esensial antara Yesus yang pernah hidup sebagai manusia konkret di dunia dan Yesus yang telah bangkit (Antonio Olmi, La Cristologia della commissione Teologia Internazionale, Bologna; Edizione studio Domenicano, 2001, hal 30). Secara singkat dapat dikatakan, kesatuan esensial tersebut secara sintesis dirumuskan dengan berbagai formula pengakuan iman dan sejalan dengan pesan Perjanjian Baru itu sendiri.
Pengakuan Komisi Teologi Internasional di atas mengungkapkan kenyataan bahwa ada perbedaan (tanpa harus memisahkan) antara Yesus historis dan Dia yang ditransformasikan melalui kebangkitan, antara historis Yesus Kristus dan misteriNya yang melampaui realitas historis. Dari kenyataan ini terbuka kemungkinan untuk berbicara tentang Kristus kosmik. Dengan Kristus kosmik dimaksudkan Sang Sabda yang melampaui Yesus historis dan hadir serta melaksanakan karya penyelamatanNya dalam segenap ciptaan sepajang sejarah. Tetapi Krsitus kosmik tidak dipisahkan dari Yesus historis, sebab sejak Sabda berinkarnasi, maka nama Kristus yang dihubungkan secara langsung dengan kemanusiaan Yesus yang terurapi dapat dihubungkan saja dengan Sabda yang pra-ada. Sabda yang pra-ada berinkarnasi dan bersatu dengan Yesus yang terurapi. Jadi istilah Kristus kosmik tidak menyangkut hal yang historis tertentu melainkan meliputi seluruh dunia dan seluruh sejarah, dan dibedakan (tanpa dipisahkan) dari Yesus historis yang dibatasi oleh tempat dan waktu. Sang Sabda jauh lebih besar dari Yesus sehingga masih tepat bila dikatakan bahwa segala yang dilakukan manusia Yesus adalah perbuatan manusiawi Sang Sabda, tetapi sebaliknya tindaklah tepat bila dikatakan bahwa apapun yang dibuat Sang Sabda juga dibuat oleh Yesus dari Nasareth. Dengan pengertian seperti ini, maka terbuka kemungkinan menghubungnkan pengalaman religius setiap masyarakat dan kebudayaan dengan misteri penyelamatan Kristus. Konsili Vatican II menyatakan keuniversalan karya penyelamatan Kristus dalam Gaudium et Spes no 22: “Sebab Dia, Putra Allah, dalam penjelmaanNya dengan cara tertentu telah menyatukan diri dengan setiap orang” (Dokumen Konsili Vatican II, Jakarta; Obor 1993).
Kini pertanyaan yang timbul adalah bagaimana secara nyata karya penyelamatan Kristus itu diaplikasikan dalam agama-agama Asia? Sesuai dengan kesaksian Perjanjian Baru, Gereja mengimani Yesus Kristus sebagai pengantara antara manusia dan Allah dan kepengantaraanNya itu bersifat satu-satunya dan universal. Dalam Injil Yohanes misalnya ditemukan Sabda Yesus: “Tidak ada seorang pun datang kepada Bapa kalau tidak melalui Aku” (Yoh. 14:6b). Posisi inklusif tidak keberatan akan hal itu. Para pendukung pendekatan inklusif mejelaskan cara-cara yang Allah gunakan untuk menyelamatkan manusia dalam Kristus, tanpa mengecualikan para penganut agama-agama non-Kristen. Sebagian besar teolog Asia mengakui pula karya penyelamatan Allah dalam Kristus yang melampaui batas-batas Gereja institusional. Sambil tidak jatuh dalam relativisme (yang menegasi keunikan dan keuniversalan mediasi Kristus) dengan menyejajarkan begitu saja peranan Yesus Kristus dengan pendiri dan figure-figur religius agama-agama lain, mereka mampu mengakui peranan dari figur-figur religius agama-agama lain, mereka mampu mengakui peranan dari figure-figur pengantara yang lain dalam agama dan tradisi religius Asia. Posisi mereka dapat dikatakan sejalan dengan pengakuan Paus Yohanes Paulus II menyatakan “bentuk-bentuk mediasi yang diikutsertakan, dari bermacam-macam jenis dan tingkatan” (Yohanes Paulus II, Redemptoris Missio, Ensiklik no. 5, yang diterbitkan pada 07 Desember 1990)
Beberapa Teolog Asia yang maju lebih jauh dalam mendefenisikan kembali Yesus dalam suatu konteks yang dipenuhi para tokoh pendiri agama-agama, pengajar-pengajar hikmat dan pemberita-pemberita kebenaran. Ada juga yang menyelidiki kesamaan-kesamaan Yesus dengan pendiri atau figure dalam agama-agama Asia. Aloysius Pieris misalnya melihat pula kemiripan antara Buddha dan Kristus yang sama-sama merupakan perantara pembebasan. Pieris mengamati bahwa dalam Buddhisme dan kekristenan terdapat pengalaman-pengalaman inti yang sama-sama menyelamatkan. Bila dalam Buddhisme terdapat pengalaman akan gnosis atau pengetahuan membebaskan, dalam kekristenan terdapat pengalaman kasih yang menyelamatkan (Aloysius Pieris, wajah Yesus di Asia, Jakarta; BPK Gunung Mulia 2003, hal 80). Kesamaan antara Buddha dan Kristus juga diamati oleh Seiichi Yagi. Menurutnya , keduanya mendapatkan penerangan budi. Buddha setalah merenungi hidup dan penderitaan manusia tiba pada pemahaman akan empat kebenaran mulia sebagai jalan pembebasan bagi manusia intinya adalah pembebasan manusia dari hal-hal yang sia-sia dan fana yang telah memenjarakan manusia. Hal yang sama terdapat ketika Yesus mengecam penafsir yang kaku atas hukum Taurat dan mengajarkan tentang Kerajaan Allah yang membebaskan (Seichi Yagi, Kristus dan Budhha, Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2003, hal 48). Dan sesungguhnya masih ada beberapa teolog Asia yang berbicara tentang Yesus dalam konteks Asia.