Oleh: Timotius Boma
Negara Indonesia merupakan organisasi kekuasaan yang berdaulat dengan tata pemerintahan yang melaksanakan tata tertip atas orang-orang di daerah Indonesia dari Sabang sampai Merauke.
Negara Indonesia juga merupakan suatu wilaya yang memiliki suatu sistem atau aturan yang berlaku bagi semua individu di di wilaya Indonesia dan berdiri secara independen.
Oleh sebab itu, UUD 1945 berlaku bagi semua orang yang ada didalam wilaya Negara kesatuan repoblik Indonesia (NKRI) siapa pun yang melanggar atas UUD 1945 sebagai landasan Negara ini maka ia wajib diberikan hukuman setimpal dengan perbuatan.
Namun, Negara Indonesia mengimplementasikan UUD 1945 di Papua tidak sesuai dengan harapan badan penyelidik usaha-usaha persiapan kemerdekaan(BPUPKI).
Yang sedang dilakukan oleh Negara Indonesia saat ini ialah bunyi UU lain dan mengimplementasinkannya lain di Papua sehingga banyak kali problem yang melanggar kaidah UUD 1945 yang dilakukan oleh negara maupun aparat keamanan namun hukumannya tidak diberikan sesuai setimpal dengan perbuatan yang sudah terterah dalah UUD 1945.
Seperti pelanggaran HAM tambah meningkat dari tahun ke tahun tanpa ada hentinya di Papua, yang lebih dominan di beberapa tempat yakni Ndgama, Intan Jaya, Punjak Jaya, Punjak Papua dan daerah lainnya.
Eksploitasi sumber daya alam yang terjadi di Papua, seperti PT Freeport Indonesia, Perusahan kayu di Nabire, Minyak Bumi di Papua Barat dan beberapa daerah lainnya di pelosok Papua.
Perampasan lahan tanpa ada surat izin dari pemilik hak ulayat pun tambah meningkat, kebanyakan perusahan yang melakukan hal ini. Lahan pengoperasian yang diizinkan dari pemilik hak ulayat ada batasnya dengan perjanjian bahwa Perusahan akan menjamin kesejahteraan masyarakat, namun setelah pengoperasian sumber daya alam ini dilakukan dari Perusahan tidak mengingat dengan pembatasannya.
Perusahan masuk dengan sistem militerisme sehingga jika ada perlawanan yang dilakukan oleh pemilik hak ulayat terhadap pihak Perusahan namun, pihak Perusahan melawan dengan sistim militerisme sehingga masyarakat tidak mampu untuk menghadapi mereka, sehingga ujung-ujungnya masyarakat merasa korban atas hak ulayatnya.
Dan menyangkut dengan hak ulayat sudah dimuat dalam UU No.5 tahun 1960 atau pokok agraria (UUPA) mengakui tentang hak ulayat.
Pengakuan itu disertai dua syarat, yakni menyangkut dengan eksistensinya dan dan mengenai pelaksanaanya.
Sehingga pihak perusahan ini melanggar UU No. 5 tahun 1960, jadi wajib diberikan hukuman namun realitanya tidak.
Malah Negara melindungi mereka dengan UUD, itu menyebabkan suatu persoalan dalam masyarakat Papua dengan pihak Perusahan.
Ada juga banyak tuduhan-tuduhan yang dilakukan oleh Negera terhadap masyarakat Papua, masyarakat Papua berambut keriting dan kulit hitam itu sudah jelas dan selalu dibuktikan melalui interaksi bersama masyarakat, namun Negara mengsimbolisasi sebagai suatu binatang serta memberikan dengan stigma-stigma Makar, Separatis, Kelompok Kriminal Bersenjata (KKB), Monyet, Kete, Gorila, Teroris dan stigma vulgar lainnya. Disini, perluh dicatat bahwa kebanyakan orang Papua korban bukan KKB, tetapi masyarakat Papua.
Aparat mengklain bahwa masyarakat yang berambut panjang, kumis tebal, berbadan kotor itu semua termasuk Separatis, mereka tidak menyadari bahwa di Pedalaman Papua beriklim dingin tidak seperti di derah perkotaan yang panas dan kondisi kampung juga berbeda.
Di Pedalaman Papua kehidupan masyarakat tidak mengenal kendaraan, tidak ada Hotel, tidak ada situs Wisata, tidak ada Mall dan tidak ada rumah-rumah seperti di daerah perkotaan.
Kehidupan mereka saat ini bisa dikatakan masih pada zaman neolitikum sehingga pantaslah mereka berambut panjang, kumis tebal dan berbadan kotor namun Negara dan aparat keamanan yang hilang akal sehat dan tumpul hati nurani sehingga mengklaim mereka dengan KKB, Separatis, Teroris dan lainnya. Sehingga disiksa, diperkosa, diolok-olokan ditangkap lalu di Penjara bahkan dibunuh.
Hal itu sangat menjatuhkan harkat dan martabat orang Papua sebagai sesama manusia yang di ciptakan oleh Allah.
Sehingga Negara perluh memberikan hukuman namun realitanya tidak diberikan hukuman kepada orang-orang yang melakukannya namun mereka dilindungi dengan hukum, walaupun UUD 1945 itu berlaku bagi semua orang entah orang Papua maupun non Papua. Oleh karena itu, terbukti bahwa UUD 1945 ini tidak berlaku bagi orang Papua.
Bahkan hemat penulis, selain UUD 1945, terbilang juga bahwa Pancasila, Jargon Binekah Tunggal Ika dan NKRI Harga Mati, serta semua kebijakan yang selama ini diberlakukan, khususnya Otsus Jilid I-II dan Pemekaran sama sekali bukan diperuntukkan khusus untuk orang Papua, dalam artian masyarakat kelas menengah ke bawah, tetapi semua itu merupakan aset pribadi dan golongan para elite politik picik, lijik, dan tamak di Papua dan di Jakarta.
Sehingga tidak heran bahwa hampir semua regulasi yang diberlakukan oleh Jakarta di Papua tidak selaluh disambut hangat oleh rakyat tingkat akar rumput, tetapi disambut meriah oleh elite politik Papua yang rakus.
Sudah saatnya Pemerintah Pusat berbenah, bercermin, berefleksi, introspeksi, Flash Back, dan merekonsiliasi sistem birokrasinya di Papua. Jakarta harus bertanya pada dirinya sendiri, Mengapa Orang Asli Papua Tolak Otsus Jilid I-II, Pemekaran, Pembangunan dan pelbagai kebijakan lainnya? Lantas apa yang dirindukan oleh orang asli Papua dan bagaimana treatment yang tepat bagi Pemerintah untuk menjawab itu?
Untuk mengetahui jawaban atas dua pertanyaan di atas, maka Jakarta musti absen bertemu elite politik rakus Papua dan mulai membuka ruang dialogis dan rekonsiliasi bersama rakyat akar rumput Papua yang diwakili oleh delegasi resminya, yakni United Movement For West Papua (ULMWP). Keduanya (NKRI-ULMWP) mesti secara terbuka, penuh percaya diri tanpa diskriminasi dan setimen negatif duduk bersama di Meja Dialog Internasional. Hanya dengan beginilah Papua Tanah Damai itu lekas tercipta.
)* Penulis Adalah Mahasiswa Universitas Cenderawasih Jayapura-Papua.
Publisher: Admin