(*Oleh: Soleman Itlay
“Umat boleh usul Uskup Keuskupan Jayapura dan Keuskupan Timika. Sebab hukum gereja katolik–Kanonik–Kodeks sangat menjamin itu”
Mari kita membuka, melihat, membaca dan memahami Kodeks 1917. Dokumen gereja itu menegaskan bahwa Paus bebas mengangkat Uskup – Uskup (bdk. kan. 329, §2).
Gereja secara eksplisit mengatur untuk memberikan kuasa dan kewenangan penuh kepada Paus untuk melakukan seleksi dan memilih Uskup baru di keuskupan di seluruh dunia.
Dalam kodeks yang sama mengatur pula agar para imam diperbolehkan untuk memilih Uskup (bdk. kan. 329, §3).
Kodeks (bdk. kan. 331, §3) juga mengarisbawahi hak Tahta Suci supaya menilai kepantasan (idenous) calon Uskup. Pengajuan Uskup itu boleh diusulkan oleh para imam.
Hampir 50 persen hak jatuh di tangan uskup lama. Artinya, uskup yang defenitif memiliki kewenangan penuh untuk mengusulkan pengantinnya. Namun di lain sisi, Hukum Gereja juga menjamin penuh dan memberikan kesempatan yang penting bagi kaum awam. Bagian inilah yang umat katolik kadang kala belum memahami baik.
Umat menganggap bahwa hak 50 persen itu hanya dipegang oleh uskup masa aktif, sehingga mereka merasa tidak layak, pantas dan tidak perlu usulkan atau “intervensi”. Padahal itu tidak terlepas dari tuntutan dinamika pastoral, juga dari umat katolik sendiri yang merindukan gembala barunya.
Lima puluh persen hak uskup lama berangkat dari realitas dinamika pastoral. Sehingga uskup yang masih aktif dan masanya akan berakhir setelah uskup baru, harus memperhatikan tuntutan atau usulan umat. Umat juga harus sadar selain hak 50 persen yang digunakan uskup lama, 50 persen lainnya ada di tangan para imam dan awam sendiri.
Singkatnya, gereja menjamin usulan uskup baru yang datang dari tuntutan hati nurani umat, bukan dengan keinginan daging, kepentingan politik, ekonomi dan lain sebagainya. Hal ini pun bersumber dari institusi yang diberikan oleh Paus (bdk. kan. 332, §1). Kodeks actual 1983 telah memperjelas Kodeks 1917.
Disini mengatakan bahwa Uskup diangkat oleh Paus secara bebas. Bahkan Uskup yang terpilih secara legitim dikukuhkan oleh Bapa Suci. Namun beberapa Gereja Katolik, seperti di Jerman, Swiss, dan Austria para diosesan diperbolehkan untuk memilih Uskup. Tapi itu diatur dalam Kodeks lagi (bdk. kan. 503).
Dengan demikian, soal Uskup baru di Keuskupan Jayapura dan Timika, atau Keuskupan Agung Marauke, Keuskupan Agats, dan Manokwari-Sorong juga bisa diusulkan oleh pastor dan umat setempat. Terlebih dari umat yang berada dan selalu aktif dalam kegiatan gereja. Misalnya, dewan paroki, ketua kapel, komunitas basis gerejawi dan lainnya.
*DARI SEGI SYARAT-SYARAT TERTENTU*
Terkait dengan konteks pembahasan ini, tak perlu diragukan lagi untuk gereja katolik Lokal Papua . Dari segi sumberdaya manusia sudah siap dengan melihat jumlah pastor katolik pribumi Papua yang semakin meningkat.
Dari segi usia, pengalaman pastoral, pertimbangan akademis dan lainnya sudah terpenuhi. Artinya, orang Papua sudah siap. Sekali lagi tak perlu diragukan lagi dan tak perlu mengatakan “orang Papua belum siap”.
Mayoritas memiliki usia diatas rata-rata. Misalnya, 35 tahun. Juga lama menjadi pastor, bahkan melayani umat lebih dari 5-10 tahun. Dengan kemampuan akademis dan setelah mengantongi gelar magister dan doktoral.
Tentu mereka memenuhi syarat-syarat yang diatur dalam Kan. 329, §1. Oleh karenanya, mereka (Imam Pribumi Papua) layak mendapatkan pertimbangan dan masuk dalam prioritas utama untuk menggembalakan umatnya sendiri.
*PERTIMBANGAN LAIN*
Hal yang perlu dipertimbangkan adalah sejarah perjalanan, perintisan, pengalaman hidup, dan dinamika pastoral hari ini.
Sekarang usia gereja katolik di tanah Papua sudah mencapai 127 tahun. Semenjak Pater Corneles de Cocq d’Armandville menginjak kaki pertama kali di pantai Skroe, Fak-Fak, Papua Barat pada 22 Mei 1894.
Bicara uskup harus orang asli Papua atau migran Papua–bukan migran Indonesia, sebetulnya bukan soal ambisi, egoisme, sentimental dan lainnya.
Tetapi harus belajar dari pengalaman masa lalu. Hampir satu abad lebih gereja katolik di tanah Papua dipimpin oleh misionaris dan migran Indonesia.
Misionaris merintis jalan pada abad ke-17. Mereka berkuasa hingga memasuki 1970-an. Sejak 1963, gereja katolik di Papua mulai ambil alih dari migran Indonesia.
Peran misionaris perlahan bergeser di segala bidang karya pastoral. Bahkan hilang ketika pemerintah Indonesia ambil alih Papua.
Bersamaan dengan itu, para pastor migran Indonesia mendapatkan kesempatan seluas-luasnya. Mereka kemudian membanjiri tanah Papua.
Secara tidak langsung juga menggeserkan peran penting orang katolik pribumi Papua yang dulu berperan aktif di masa kekuasaan Hindia-Belanda.
Di lain sisi mereka melayani orang Papua. Sejak Indonesia berkuasa atas tanah dan manusia Papua. Sejak UNTEA menyerahkan tanah Papua dari kekuasaan pendudukan Belanda.
Setelah PEPERA 1969, peran penting pastor migran Indonesia sangat besar di Papua. Hampir 60 tahun ini mereka membangun dan bahkan menyiapkan orang Papua diatas dasar kerja keras para misionaris Eropa–Belanda.
Selama mereka pimpin banyak perubahan. Tak hanya dalam internal gereja katolik. Tapi juga dalam kehidupan sehari-hari dalam dinamika sosial, politik, budaya, ekonomi dan lainnya.
Patut diperhitungkan dan dihormati atas segala jasa pengorbanan dan kebaikannya. Karena dengan berkat kehadiran mereka, paling tidak membuat orang Papua jauh dari hal-hal yang buruk.
*SAATNYA ORANG PAPUA PIMPIN*
Meskipun demikian, kita harus akui, bahwa tanah Papua sekarang tidak baik-baik saja. Bahkan semakin parah dengan kepentingan politik dan ekonomi yang sarat dengan kepentingan ideologi.
Untuk menyelesaikan problematika di tanah Papua, termasuk dalam dinamika pastoral tidak hanya butuh peran dari pastor migran Indonesia. Tapi juga dari peran penting dari pastor pribumi Papua.
Papua sedang tidak baik-baik saja. Oleh karenanya, untuk mengatasi semua trauma, ketakutan, kekhawatiran, kecemasan dan lainnya, dibutuhkan semua stakeholder yang bisa menenangkan suasana hati nurani umat.
Umat katolik di tanah Papua semakin tidak percaya kepada para uskup di tanah Papua sekarang. Karena dinilai, bahwa belakangan ini mereka terlalu sibuk menghabiskan waktu dengan penguasa, pengusaha, dan perusahaan.
Waktu untuk mengerti dan memahami isi hati serta perasaan umat nyaris tidak ada. Bahkan untuk membelah, dan berpihak pada mereka yang lemah, miskin, terpinggirkan, tersingkirkan, teraniaya dan tertindas makin asing.
Gereja Katolik di tanah Papua saat ini tidak baik-baik saja. Untuk menenangkan dan mengokohkan posisi gereja katolik yang satu, universal, kudus, apostolik, misionalis dan Papuanis disini membutuhkan sosok pemimpin gereja yang tepat.
Dia yang benar-benar ingin menggembalakan domba-domba dalam situasi pastoral yang memprihatinkan. Bukan malas tahu, apalagi mengabaikan pada saat umat membutuhkan pertolongan darinya.
Umat membutuhkan pastor-pastor pribumi atau migran–misionaris yang bukan nasionalis seperti dia. Sosok yang berani jatuh bangun dan rasakan manis pahit bersama-sama dengan umat.
Bakal bebas dengan kepentingan politik, ekonomi dan juga kepentingan para penguasa, pengusaha dan perusahaan–kapitalis yang pada belakangan ini menjadikan gereja sebagai sarang kehidupan dan keselamatan masa depannya.
Tidak menjadi munafik. Apalagi penghianat atas nama Tuhan, agama, katolik, kemanusiaan, pendidikan, kesehatan dan lainnya dalam postur gereja katolik lokal (partikular).
Seperti Ronszynski yang masih hidup atau Jhon Philip Saklil, yang telah bertemu Nato Gobay, Jack Mote, Neles Tebai, Yulianus Mote, Isak Resubun, Andreas Trismadi, dan Willem Sinawil di sorga.
Umat katolik Papua merindukan sosok gembala seperti itu. Bahkan seperti mereka yang telah tiada dengan semangat dan roh pastoral yang akan selalu dirindukan oleh umatnya.
Mari menulis surat terbuka masing-masing dan kirim kepada Nuncius–Duta Besar Vatikan di Jakarta dan kepada Tahta Suci Vatikan di Roma, Italia.
Mari melakukan aksi menuntut uskup di tanah Papua harus orang asli Papua di seluruh basis gereja katolik di tanah Papua. Hingga Tahta Suci Vatikan harus mengumumkan uskup baru keuskupan Jayapura dan keuskupan Timika dari pastor pribumi dan migran Papua.
Mereka yang lahir besar di Papua. Tahu dinamika pastoral, budaya, bahasa dan kerinduan umat. Bukan dari kalangan migran Indonesia–luar pulau Papua yang buta akan gereja katolik Papua yang sebenar-benarnya.
Nuncius dan Vatikan harus bijak. Jangan salah mempertimbangkan hingga menimbulkan gereja Anglikan di tanah Papua. Prioritaskan pastor katolik pribumi dan migran Papua untuk menjadi uskup di Keuskupan Jayapura dan Keuskupan Timika dalam waktu dekat. (*)
Penulis adalah umat katolik di tanah Papua
Editor: Erik Bitdana