(Sebuah Refleksi Kritis)
Oleh: Novilus K. Ningdana
Tragedi Papua menemui kematiannya dengan cara yang berbeda dari semua orang di dunia yakni mati di pangkuan tangannya sendiri karena konflik-konflik yang tak terdamaikan; yang lain mati bahagia dan yang lain mati tragis. Jika kematian dengan meninggalkan keturunan merupakan bahagia namun kematian tak meninggalkan keturunan merupakan kesia-siaan. Itulah tragedi lahir dan batin orang Papua di atas tanah sendiri.
Ketika asli orang Papua (OAP) bersuara di atas tanahnya sendiri suaranya dibungkam oleh OAP sendiri maupun representasi Negara (TNI/Polri). Setiap orang memberikan ide, pendapat, masukan, dengan segala kepentingan, motivasi dan kehendak sehingga tak menemukan “harmoni suara” dari beberapa nada. Di sinilah letak ketidakharmonisan suara. Ada yang sopran, alto, tenor dan bass. Suara orang Papua masuk pada salah satu suara dan mendominasinya sehingga egoisme dan kesombongan seni suara “aku” penting daripada suara “mereka”. Kebisingan suaranya tidak mendengar suara lain. Ketika yang lain mulai menaikan satu oktaf ia menjadi seribu oktaf. Sehingga suara yang kecil, lemah, terpinggirkan, menderita hampir tidak sampai telinga sang penguasa suara.
Dari suara muncul konflik, iri hati, kedengkian, ketamakan, pembunuhan, kesombongan, egoisme dan otoriter. Bagaimana suara bisa memunculkan konflik? Ketika satu suara ingin mendomina maka muncul konflik “egoisme suara” dan ketika beberapa suara berlomba-lomba ingin mendominasi maka muncul konflik “kompetisi suara”. Egoisme suara bekerja dan berjuang untuk diri sendiri tanpa menghiraukan suara kaum tertindas, lemah dan terpinggirkan. Seolah-olah ia menjadi representasi suara rakyat. Namun ia memiliki paduan suara yang berbeda yakni kekuasaan, harta, dan reputasi diri. Kompetisi suara terdiri dari suara-suara yang berbeda bahwa “aku, aku lain”. Mereka ini memiliki posisi yang sejajar namun memiliki misi yang berbeda. Tak terlepas dari egoisme duara bahwa “aku” melawan “aku, aku lain” sehingga kompetisinya lebih bergengsi, bersaing dan hot. Apapun konsekuensinya mereka tetap pada “misi ideal” yang diagungagungkan dan diharapkan. Ironisnya ialah kehendak untuk berkuasa dan menguasai orang lain. Maka dalam egoisme dan kompetisi suara-suara muncul tragedi paduan suara sebab ketiadaan ketidakharmonisan suara untuk menghancurkan sebab-sebab tragedi.
Suara OAP
Suara orang Papua merupakan suara anak negeri, pemilik hak ulayat yang bernyanyi, berteriak, menangis, dan bahkan membisu di tengah suara-suara lain. Suara OAP terdiri dari 270 suku, 7 wilayah adat dan sekitar dua juta penduduk yang mendiami tanah ini. Dari beragam manusia muncul representasi suara yakni suara orang asli Papua. Artinya OAP dari sejuta suara ini menjadi satu suara yakni suara OAP. Ini suara tunggal dan satu, bukan jamak atau banyak. Ketika OAP satu suara maka semua orang di dunia akan mendengarkan dan emberikan ruang untuk duduk dan berbicara. Representasinya ialah suara OAP. Bagaimana orang lain mau mendengarkan suara OAP jikalau masih ada suara-suara individu yang berkompetisi? Kesatuan suara menjadi satu merupakan kekuatan untuk menyelesaikan akar persoalan politik dan sosial orang Papua.
Awal Tragedi suara Orang Papua
Suara orang Papua memasuki babak tragedi sejak PEPERA (Penentuan Pendapat Rakyat) 1967 hingga kini. Beragam dan ketidaksatuan suara orang Papua menentukan masa depannya sendiri menjebak dirinya dalam penyakit, penderitaan dan kematian. Oleh karena suara dibungkam dengan moncong senjata orang Papua mengalami kebisuan normal. Itulah awal mula histori tragedi suara orang Papua yang terpecah menjadi “ya” dan “tidak”. Dalam berjalannya waktu suara orang Papua terus dibungkam dengan moncong senjata, terror, penjara, pemalakan, hingga kematian jiwa.
Dalam ketakutan ini sebagai manusia suara ini terus bergema dalam ketakutan dengan mengatakan “merdeka, harga mati” atau “lawan”. Namun muncul pula suara “NKRI, harga mati”. Dualisme suara ini merupakan suara Orang Asli Papua. Pertanyaannya suara yang mana secara hakikat bersuara demi kaum tak bersuara? Manakah suara kesejahteraan, pembangunan, jalan tall, perumahan sosial, dana desa, otsus, dan pemekaran. Dan suara kemerdekaan, kebebasan, referendum, dialog, dan revolusi. Dari dua dualism suara ini, Manakah suara hakikat orang Papua? dualism suara ini ialah suara orang Papua. inilah problem yang masih terus menjadi pertanyaan kebulatannya. Bahwa suara orang Papua terjebak dalam perbedaan suaranya sendiri. Mengapa orang Papua tidak satu suara? Karena egoisme dan kompetisi individu dan kaum yang bersuara mengatasnamakan orang Papua memiliki motif-motif, harapan, dan ideal diri sehingga terpecah menjadi dualisme. Di sinilah dinamakan “Tragedi Paduan Suara Orang Asli Papua”. Dari sekian banyak OAP saya boleh mengatakan bahwa orang Papua belum satu suara melainkan orang Papua menjadi paduan suara yang masing-masing mempertahankan individuasi diri di dalam kelompok dan individualisme.
Maka bagaimana menghancurkan tragedi ini merupakan satu catatan dan tugas orang Papua sendiri. Bahwa harapan semua orang Papua ialah satu suara. Maka atas dasar keinginan itu, orang Papua perlu menyatakan sikap, dan berani mengatakan “ya” dan serentak juga “tidak” kepada realitas kehidupan. Saya berpikir menentukan sikap dan prinsip orang Papua merupakan langkah awal untuk menjadi satu suara sehingga eksistensi orang Papua sebagai manusia yang memiliki hak berbicara dan bersuara tidak padam atau membisu di atas tanahnya sendiri.
(Tulisan ini sudah Pernah muat di Jubi dan jelata n)
Penulis adalah Anggota Kebadabi Voice dan Anggota Aplim Apom Research Group di STFT “Fajar Timur” Abepura-Papua