TOLERANSI MENJADI MERCUSUAR

Pringgolayan, Yokyakarta November 11 2022. Hari mulai senja dan petang, saya melihat kota ini masih saja banyak orang yang lalu-lalang baik petani, pengusaha, maupun manusia yang dihuni bumi ini. Kala itu, saya orang asing yang ingin menutup hari dalam perjalanan  yang semakin lelah  di persimpangan jalan Malibor menanti Dewi Fortuna untuk memberi sapaan khas jawa. Sayangnya, Dewi Fortuna memandang saya sebagai orang asing di tanah ibu Pertiwi yang katanya menjunjung tinggi nilai toleransi. Petang pun telah usahai dengan sekumpulan keraguan dan berkelimapahan pilu saya melangkahkan kaki menepi sampil mencucurkan air mata yang terus menerus menjampu saya pulang dalam lorong-lorong kesepian. Meskipun hati ditampar kekecewan dan pilu, tetapi saya tak buru-buru memutuskan kembali ke rumah. saya memutuskan untuk berhenti sejenak melepaskan penat setelah mengalami badai kenyataan di persimpangan jalan Maliboro kota tua yang memiliki banyak sejarah. Sebelum malam datang menjemput pulang, saya sejenak menikmati bakso kota di pingir jalan, sejak itu saya  merasa suasanan begitu hangat, karena ada sepasang kekasih yang berbeda secara fisik sedang menikati romantisnya cinta di seberang jalan di mana saya sebelumnya duduk tanpa di temani oleh siapapun. Dan ada pula keluarga yang saling bercengkeraman bersama anak-anak yang sedang menikmati suasana sore nan indah di temani oleh jingga yang begitu aggung. Sejak itu aku berpikir bahwa betapa romantisnya hidup ini, jika nilai-nilai ketuhanan dan toleransi di tanamkan sejak dini pada setiap pribadi manusia.

Matahari sudah tinggi di ufuk barat, ada suara hening seraya menyapa, kala itu para pengelana yang sibuk pulang dari masing- masing tempat yang mereka mengabdikan setiap momen, baik luka, pilu dan sukacita. Lalu aku yang duduk menepi di tempat  keramaina pun beranjak meninggalkan tempat hendak mengistirahatkan tubuh yang lelah karena menuai sejumput pengalaman tentang hidup. Saya berjalan menuju lorong-lorong kota itu, wajah  saya yang sebelumnya muram kini spontan berubah ketika menjumpai orang di pinggir jalan dan suara-suara sontak menyapa serta matahari yang sudah tenggelam di ufuk barat meniringi pulangku. Tidak hanya itu saja, warna langit yang sedang biru pun berpadu dengan jingga kuning keemasan, merah muda, dan sedikit corak putih mengiringi setiap langkah kakiku. Seketika di hantam oleh badai kekcewan karena Dewi Fortuan yang tak mengangap saya sebagi pemiliki negeri terobati oleh kesungguhan alam yang begitu indah di hadapanku. Saya mengabadikan potretan momen ini sebagai mercusuar indah seperti senja di langit biru di dalam memori kalbuku. Kisah ini adalah kisah yang paling membakar hatiku dari semua kisah yang pernah saya jumpai dalam hidup ini, mungkin saya datang sebagai orang asing di tempat ini, tetapi kata ibu pertiwi kamu adalah anak negeri dan pemilik bangsa maka pergi menjumpai yang lain untuk hidup bersatu serta mempertahankan nilai kesatuan dan ketuhanan di negeri ini.

saya adalah seorang pencinta toleransi yang datang dari ufuk timur. Dan saya sangat senang hidup berguru pada toleransi serta memotret setiap kisah hidup menyimpan di dalam galeri ketuhanan sebagai satu tubuh yang mempersatukan seluruh cakrawal ini. Karena cakrawala yang indah nan merona selalu saja memikat mata dan hatiku, demikian pun hidup toleransi membuat saya  gelisah untuk senantiasa merasakan indahnya kehidupan, sebab toleransi tercipta dari berbagai lartar belakang untuk merangkai warna yang dapat membuatnya  menawan dan menyatu di bumi persada ini. Ketika alih-alih beradu argumen tentang agama , tiba-tiba saya teringat akan frasa lima sila  yang mengetarkan hatiku dan bergema di pikiranku adalah sebuah semboyan  dari para pendahulu  yang disematkan dalam lima sila  alinea pertama untuk bangsa Indonesia dengan “ Tuhan yang Maha Esa”. Ternyata terdapat benang hijau untuk toleransi beragama di atas pangkuan ibu pertiwi dengan menghargai dan menghormati satu terhadap yang lain dalam kungkungan Bhnneka Tunggal Ika.

Jika senja yang aku kagum tapak indah nan mempesona karena percampuran berbagai warna- warni, maka Indonesia tak kalah  mempesona dengan beragama bahasa, ras, suku, agama, dan budaya. Indonesia bukan hanya sejahtera akan sumberdaya alam, melainkan juga sebuah bangsa yang unik karena memiliki banyak corak  dan unsur. Juga pluralitas membentuk Indonesia sebagai bangsa yang meriah dari sabang sampai merauke. Setiap daerah memiliki kekhasannya masing-masing dengan keberagamaan yang merupakan kekuatan dan kekayaan bangsa Indosesa. Ironisnya, ada pihak-pihak tertentu yang hendak menjadikan bangsa Indonesia sebagai negara miliki mereka lalu mengekspoloritasi kekayan yang ada di bumi pertiwi ini dengan sewenang-wenangnya.

Mari, kita sama-sama membuka lembaran sejarah bangsa ini. Ternyata  tak menemukan fakta yang mengatakan bawah negara Indonesia berteguh hati untuk melakukannya bahkan perbedaan pun tak  menghelakan. Justru yang kujumpai adalah semboyan Bhineka Tunggal Ika sebagai roh bagi bangsa dan negara ini. Negara Indonesia berdiri bukan karena satu suku atau rumpun tertentu bahkan kelompok, melainkan berdiri atas dasar pertumpahan darah para pahlawan yang berjuang demi kemerdekaan sejati tanpa melibatkan pihak tertentu atau gologan. Lantas apa yang memilukan? Kita kembali menyimak pernyataan berikut ini. Katanya Negara Indonesia adalah rumah kita bersama dengan berbagai macama beragam budaya, suku, bahasa dan agama. Tetapi, masih saja terjadi pembedan bahkan sampai ada sebagaian anak pribumi  yang di anaktrikikan oleh ibu pertiwi. Kata mereka, kita berbeda-beda, tetapi tetap satu. Toh pada kenyataannya ada julukan-julukan antek maupun kafir. Julukan ini masih bergema di pangkuan ibu pertiwi. Akibatnya, anak pribumi Indonesia merasa terancam dari rumahnya sendiri. Sebagai anak manusia menjadi angkuh dan seolah-olah menyelakan Tuhan Yang Maha Esa sebagai sang pencipta konflik kemajemukan di tanah ini.

Jika berbicara  status agama dan mengenai adanya mayoritas atau minoritas membuat aku bernostalgia pada salah satu mata kuliah, yaitu kelas pendidikan pancasila. Pada hari jumat lalu, dosenku mengajak kami para mahasiswa berdiskusi tentang toleransi beragama dalam bingkai kesatuan untuk membuka tiraian mayoritas dan minioritas sebagai mercusuar dalam membangun ketuhanan di bumi pertiwi.  Satu penyakit yang tengah berwabah di bumi pertiwi dan sungguh sangat apik adalah mayoritas sebagai penguasaha dan saya adalah salah satu korbanya. Singkat cerita, pada tahun 1997 saya di lahirkan di Indonesia bagian Timur, tepatnya yaitu kepulauan NTT. Di sana aku tinggal bersama kedua orang tuaku yang sejatinya adalah petani. Saya  bertumbuh dan berkembang di lingkungan yang sangat kental dengan kebudayaan Flores-Flobamora. Nostalgia masa kecil adalah perihal tentang kisah-kisah indah bersama teman-teman dan sahabat-sahabat yang merupakan penduduk asli setempat, sehingga tak ada diskriminasi di antara masyarakat dan bahkan soal perbedaan halal juga haram pun aku tak sering jumpai di kalangan masyarkat kami. Sampai pada akhirnya cakrawala nalar dan mataku pun terbuka. Semenjak SD, SMP, hingga SMA saya  menimba pengetahuan atau ilmu di sekolah suasta, suatu intitusi yang bermaksud untuk membina, menata, serta membentuk karakter dan moralitas pribadi dari berbagai latar belakang untuk menjadi pribadi yang baik dari sejak dini hingga   dewasa. Dan dengan tujuan intitusi bawah demi mencerdaskan penerus bangsa yang andal dalam berbagai bidang di negeri ini . Tetapi, realitas hidup memang tak seindah ekspektasi.

 

Namun kata “negeri” kini hanya sekedar kata formalitas belaka dari fakta yang terjdi dilapangan karena justru memperlihatkan bahwa usaha yang di lalukan untuk membagun negeri ini, dari gologan atau pihak tertentu dapat membisukan  tunas-tunas muda harapan bangsa di negeri ini, dengan memdapatkan doktrin untuk menjadikan agama lain sebagai kafir. Penilaina di atas ini, di kertas putih tak lagi menjadi objek melainkan subjek yang menghalalkan yang lain. Peraturan-peraturan yang buat di sekolah maupun di instansi manapun, sekarang bukan lagi mendisiplinkan untuk berpikir kritis untuk membagun kesatuan melanikan terlihat homogen dan saling mendiskriminasi di mana-mana.

Negeri ini, saya hanya membangun sebuah komunitas kecil dari populasi mayoritas Muslim di negaraku. Di mana-mana aku mendapat perlakuan diskrminasi bahkan gerejaku pun ikut terbakar karena statusku sebagai seorang Nasrim di daerah ini. Pada suatu ketika aku pernah tersinggung saat ada teman yang menganggaku haram terhadap makanan yang saya  santap. Ada juga pernah aku merasa sunyi ketika doaku pada Tuhan hanya bisa kulafalkan dari dalam hati, tetapi sewaktu saja lalu yang lain sibuk mengucapkan doa bertele-tele sendiri. Saat-saat seperti ini, hati kecilku mulai memberontak melihat mereka yang memasung serta merasa diri paling layak dan pantas di negeri ini, tetapi aku pikir bahwa mereka inlah menjadi jurang pemisah di atas tanah air ini. Dan aku pun tiba-tiba berilusi, jika nanti aku menjadi bagian dari mayoritas tak mungkin lagi ditindas dan di diskriminasi oleh meraka yang menganggap benar.

Pertengahan bulan juni 2022, aku berangkat dari tempat misi di tanah Borneo menuju Yogyakarta. Konon kota yang katanya adalah kota para pelajar dari berbagai daerah. Ada cita-cita sejak itu yang membelai pikiranku adalah saya bisa menempuh pendidikan di kota ini merupakan salah satu impian besar bahkan yang paling berharga di dalam hidupku sebelum menginjakan kaki di kota ini. Dan akhirnya impian itu pun terwujud. Saya  kuliah di salah satu Universitas terbaik dan ternama  di Indonesia yang ada di Yogyakarta, yakni Universitas Sanata Dharma.  Sebuah universitas katolik yang bertujuan untuk mempersiapkan dan melahirkan generasi muda bangsa dengan semangat humanis dan kecerdasan. Setelah melakukan tes ternyata aku lolos seleksi di Program Studi Pendidikan Agama Katolik. Dalam benakku bertabur ucapan Syukur pun hadir, Tuhan sungguh sangat baik kepadaku. Impian untuk bergabung bersama dengan yang lain  melalui universitas ini pun dikabulkan oleh Sang Khalik. Saya tak berpikikir ada resah mampun gelisah yang datang memperlaukan aku bagaikan pohon yang di tiup angin semenan-mena pun tak ada. Akhirnya, saya  merasa bahagia menjadi mayoritas yang lepas bebas tanpa harus ditindas maupun di takuti oleh mereka. Dan disini babak kehidupan baru mulai bertumbuh.

Seperti biasanya, awal tahun ajaran baru 2022/2023 dibuka dengan serankaian acara penerimaan mahasiswa baru atau yang biasa dikenal dengan istialah Inisiasi Sanata Dharma (INSADHA). Kegiatan ini dilangsungkan selama tiga hari dan berpuncak pada malam Inagurasi. Awalnya, saya  berpikir mengenai Insadha tak jauh berbeda dengan aktivitas ospek yang sudah menjadi tradisi tahunan di setiap universitas. Tapi, pikiran tersebut di patakan oleh fakta di lapangan dengan berbeda. Materi selama Inisiasi menyajikan dengan begitu lezat sehingga menimba sebuah pengetahuan dan pengalaman yang sangat berharga bagiku. Pengalaman ini aku tak akan melupakan sampai kapanpun. Selama saya  menjalani proses Insadha sampai puncak  malam Inagurasi menjadi kisah menarik yang akan kugengam erat-erta.  Selama proses ini saya  bertemu dengan banyak kerabat senasib yang berasal dari berbagai daerah di Indonsesia, bahkan orang yang tak pernah saya  jumpai di kampung halamanku, seperti suadara-saudari dari pulau jawa, sumatera, dan papua. Sanata Dharma adalah  rumah pertemuan para generasi muda dari pelosok negeri. Saya  sangat bersyukur karena kami datang untuk berdinamika bersama dalam kemajemukan dan saya senang karena aku bisa mengenal teman baru serta menambah pengetahuan juga mengenal tentang karakteristik pribadi orang dari berbagai daerah di Indonesia. Kisah yang sangat menyahat hatiku dari kegiatan Insadha adalah ketika setiap pengantu agama diberi kesempata untuk memimpin doa  sebelum memulai kegiatan dan sesudah kegiatan menurut kepercayaan masing-masing. Umat muslim membuka dengan Bismillah, umat katolik dengan Signum Crucis (Tanda Salib), umat Hindu Om Swastiastu, dan buddha dengan mengucapkan mengucapkan Namaste sotthi hotu. Semua di sampaikan dalam corak bahasa beragam sehingga terpadu menjadi melodi senandung nan indah untuk memuliakan Tuhan Yang Maha Esa. Saya  merasa terpukul dengan hal ini dan aku pikir bahwa inilah Indonesia yang sejati, karena bukan satu rupa saja melainkan banyak rupa yang dapat terpadu menjadi satu kesatuan di negeri ini. Universitas Sanata Dharma bukan sekedar merajut masa depan, tetapi juga mercusuar Indonesia.

Hal lain yang dapat membuat saya  semakin yakin dan bangga  dari keluarga Sanata Dharma ialah menyangkut nilai-nilai toleransi yang menjnjung tinggi di univertitas ini. Meski Sanata Dharma adalah sebuah intitusi pendidikan yang berbasis nilai-nilai kekatolikan, namun tak semua berciri jingga, tetapi ada perpaduan warna-warni lain yang turut menghiasi citra universitas Sanata Dharma. Di dalamnya tersedia tempat  bagi umat Muslim, Hindu, Buddha, Kristen dan Kong Hu Cu. Tempat ini  bukan hanya  sebatas sujud , tapi tempat ini pun menjadi tempat di mana meraka merasa nyaman,aman  dan damai untuk diterima tanpa ada persoalan tentang “apa Agamamu? Siapakah Tuhanmu?”. Tempat ini menjadi sebuah panorma yang dipandang mata membuat aku tergoda. Jika jingga tak mendominasi motif Sanata Dharm, maka berbarulah dengan biru, merah muda, kuning keemasan, dan putih agar menjadi Sanata Dharma sebagai graha yang hangat dalam bingkai toleransi. Jika Indonesia terlalu luas untuk menyelami arti toleransi, maka Sanata Dharma menjadi rusukan khusus atau salah satu referensi untuk datang menibahnya.

Seuasi menikmati euphoria malam Inagurasi, esoknya aku mulai dengan kegiatan perkuliahan di kampus V, kota baru. Karena program studi yang kuambil memang istimewa sebab kampus pribadi yang tak bercampur baur dengan program studi lain. Ahk aku senang karena otomatis aku masuk ke dalam kelompok mayoritas yang selama ini aku dambakan. Di dalamnya tak ada diskrminasi karena mereka adalah bagian dari aku dan aku pun bagian dari mereka. Ternyata semua yang aku dambakan bermuara pada kejutan kejenjuah sebab akibat keseargaman dan justru aku terperangkap pada zona nyaman yang tak membuatku berkembag. Sangat mustahil tanpa tantangan membuat aku belajar mencari soluis. Jika aku menghilangkan perbedaan apakah aku menjamin kehidupan ini lebih tentrama? Semua itu sangat tak masuk di akal sehatku.

Aku berhenti sejenak di bahwa pohon di mana sekaum duduk bercengkraman. Merefleksikan bahwa  aku seorang minoritas bukan berarti mendiskriminasi dan menindas terus-menerus, begitu pula dengan yang mayoritas bukan berarti sewenang-wenangnya merampas. Jangan buru-buru berargumentasi tanpa mengolah diri secara kritis sebagai akademisi. Jangan pula  meninggikan hatimu dan bangga bawah dirimu memiliki status mayoritas mudah putus asa karena kamu  kaum minioritas  di negara ini. Tetapi bangga dan berbahagialah jika mayoritas dan minioritas bersatu dalam satu solidaritas atau komunitas. Sebab di sana akan terpancara cahaya yang lama sudah redup di bagsa ini. Maka sekarang adalah waktunya untuk bangkit dari tidur dan kebaskan ego lalu bergegas memberantas ketidakadilan yang sudah tertanama dalam diri manusia Indonesia yang sudah terbiasa ini. Kita generasi muda bangsa indonesia harus mempertahankan Bhineka Tunggal Ika,  jangan sampai kita membiarkan lalu orang-orang yang berambisi kekuasan menelanjangi dan memecah belahkan NKRI. Dan jangan pula menjadi pemuda-pemudi yang tidak tahu diri lalu melihat ibu pertiwi mencucurkan air mata, tetapi berusah melindungi ibu pertiwi dan jika kita belum bisa mengharumkan nama ibu pertiwi, setidaknya jangan mencemarkan nama oleh perseturuna yang tak kunjung padam. Jika  toleransi menjadi mercusura apabila ada solidarita. Sama halnya dengan Indonesia menjadi satu bukan karena aku atau, kamu melainkan kita.

Penulis adalah Maria  Gordiana  Fios Mahasiswi Programa Studi Pendidikan Keagamaan KatolikUniversitas Sanata Dharma

Editor Novilus Uropmabin

 

Leave a Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *