Oleh: Erik Bitdana
Didalam sejarah Yunani kuno, racun pernah digunakan sebagai hukuman mati yang disebut Racun Negara (State Poison). Salah satu tokoh filsuf yang pernah dihukum mati dengan Racun adalah Socrates. Dengan tuduan, bahwa Socrates merusak generasi muda karena cara berfilsafatnya dalam mencari kebijaksanaan dianggap aneh dan menyesatkan. Kematian Socrates dalam ketidakadilan peradilan hukum negara menjadi salah satu peristiwa paling bersejarah dalam sejarah dunia Yunani Kuno hingga pengaruhnya di Romawi. Selama masa pemerintahan kekaisaran Romawi, keracunan di saat santap malam, terutama di kalangan kelas atas menjadi suatu hal yang biasa. Hal tersebut merupakan salah satu cara untuk menyingkirkan anggota keluarga yang tidak disukai, seperti yang pernah dilakukan oleh Nero sekitar tahun 246 SM. Memasuki abad pertengahan, pada tahun 8 Sesudah Masehi, praktek racun ini semakin berkembang dengan hadirnya ilmu pengetahuan. Dengan demikian, racun termasuk salah satu bahan yang diperdagangkan secara luas di apotek dan didapatkan oleh publik dengan muda diberbagai tempat umum lainya. Dan dalam proses berjalanya waktu, racun digunakan sebagai senjata gelap terbaik untuk membunuh musuh secara misterius ‘tanpa jejak”. Sehingga pengalaman ini mengundang perhatian dari berbagai akademisi, ilmuan maupun kaum religious pemerhati humanis untuk menulis tentang manfaat dan bahaya dari racun itu sendiri. di lain sisi muncul suatu usaha besar dari para pemimpin negara dan para raja untuk mengentikan penjualan racun tersebut karena dinilai buruk bagi warga negaranya seperti raja Francis Louis XIV yang membatasi penjualan racun yang tengah dilakukan dengan mengeluarkan aturan pelarangan apotek untuk menjual senyawa beracun pada tahun 1662. Namun praktek ini masih berlangsung terus hingga Pada abad ke-20 dengan mulai diteliti untuk digunakan sebagai senjata gelap “Racun Negara” yang digunakan oleh para pengusa secara individu maupun kelompok hingga saat ini (The Book of Venoms, 1424).
Menurut Socrates negara mesti memiliki asas etika kenegaraan yang baik agar dapat menjamin kebahagiaan warga negaranya. Denga jaminan bahwa negara mempunyai tugas untuk mewujudkan kebahagiaan warga negaranya dengan membuat jiwa mereka sebaik mungkin, dengan segalah kuasa kepandaianya . Oleh karenanya, penguasa harus tahu yang baik dan benar bagi warganya. Maka tindakanya keliru kalau negara menggunakan kuasa untuk membunuh dan meniadakan warga negaranya walau dianggap musuh atau pemberontak.
Jika kita melihat riwayat Socrates, seorang filsuf Yunani Kuno yang dikenal sebagai bapak pembelah kebenaran. Sebab ia bersedia mati diracuni karena tetap membelah dan mempertahankan kebenaranya. Maka persislah dengan Kebenaran yang orang Papua perjuangkan sekarang ini bahwa kebenaran menyangkut kebahagiaan jiwa yakni keadilan, kebahagiaan, persahabatan dan kebebasan adalah benar-benar bijaksana luhur. Karena menurutnya kebahagiaan jiwa adalah inti sari manusia dan hakekat manusia yang bernilai mulia. Maka wajib bagi orang Papua dalam mengutamakan kebahagiaan jiwa (eudaimonia) yang baik lebih dari pada kebahagiaan tubuh yang lahiria seperti halnya kekayaan hedonistic belaka.
Dalam situasi perjuangan kebahagiaan jiwa “Kebebasan” bagi orang Papua dan konteks sistim pemerintahan Indonesia saat ini di Papua dengan masa pemerintahan yang di hadapi Socrates pada zamannya tidak jauh berbeda. Karena yang terjadi adalah pembunuhan secara kuasa negara secara hukum dan dengan cara lain pembunuhan secara ideology terus berjalan, pembunuhan secara pskologi dalam pendekatan militerisme di Papua sedang gencar, pembunuhan dan pemusnaan ras dan budaya secara pemekaran maupun mobilisasi penduduk terus meningkat di tanah Papua dan politisisasi birokrasi dalam demokrasi bahkan pembunuhan secara system dalam pemerintahan sudah berlangsung. Beragam tindakan ini dinilai tidak benar karena berujung pada kematian, pemusnaan, genoside secara ras, budaya, psikologi dan karakter yang dinilai dan mematikan serta memusnakan orang papua dari tanahnya sendiri.
Dengan perkembangan teori dan ilmu pengetahuan yang semakin modern, orang Papua semakin mempelajari berbagai ilmu pengetahuan yang manfaatnya membantu manusia Papua untuk hidup baik. Hidup baik bagi orang papua tentu tidak hanya dimengerti secara harafia dan memberikan porsi untuk jaminan kesehatan tubuh dan kekayaan melainkan, hidup baik, benar, adil dan sejaterah dalam “Kebahagiaan jiwa” sebagai manusia Papua. Dengan demikian, masyarakat papua yang dianggap miskin dan terbelakang namun sudah memiliki pengetahuan yang baik dan benar dalam menentukan hidupnya dan melaksanakan tugasnya dengan baik dan benar atas dasar tahu dan mau secara otonom.
Maka tidak benar jika orang yang dianggap memiliki kualitas pengetahuan yang baik dengan gelar Doctor, Professor, Insinyur, Guru, Tentara Pangkat Kolonel dan berbagai sarjana , lainya yang dapat melakukan tindakan dan merencanakan kejahatan yang jauh melampaui pengetahuan masyarakat. Maka patut dipertanyakan dan dikatakan sebagai racun karena berbahaya bagi kehidupan organisme makhluk hidup lainya karena mematikan. Dalam hal ini dibenarkan paham racun secara umum merupakan suatu ideologi, hukum, undang-undang, dan beragam sistim lainya yang mengagu proses kehidupan suatu organisme, maka dianggap adalah racun. Sehingga racun didefenisikan sebagai segalah sesutau yang dapat berakibat fatal atau berbahaya dalam makhluk hidup secara fisik maupun non fisik (Paracelsus bapak Toksikologi).
Dalam hal ini racun tidak hanya dimengerti sebagai sebuah zat kimia yang membunuh senyawa makhluk hidup melalui zat adiktif maupun makanan melainkan lebih dari pada itu yakni cara bagaimana orang berpendidikan menyusun suatu strategi jahat sejenisnya dengan target khusus untuk membasmi, menghilangkan dan menyingkirkan nyawa dan makhluk hidup terutama sesama manusia dengan sadar tahu dan mau. Maka benarlah bahwa “Racun Negara atau Poison State” adalah cara bagaimana negara merencanakan dan bertindak dengan tujuan membunuh, meniadakan dan menyingkirkan anggota warga lain yang dianggap penghalang atau pemberontak yang harus dibasmi atas dasar kuasa kehendaknya. Hal itu nampak dalam hukum yang diterapkan, program yang ditawarkan, bantuan yang di luncurkan dan bergama pendektakan militerisik, pendekatakan agamaisme, politisme, sistim pendidikan yang diterapkan dan sosio ekonomi kapitalisme investasi yang di kembangkan.
Dilihat dari berbagai pengalaman perjuangan dan kematian yang menimpa para tokoh-tokoh gereja, tokoh masyarakat dan masyarakat sendiri maupun para ribuan pejuang kebebasan lainya mati dibunuh dengan adanya beragam ancaman lainya, orang Papua selalu diberi peringatan untuk selalu waspada. Waspada untuk orang Papua tidak hanya dimengerti sebagai cara untuk meghindari dengan tangan kosong tetapi lebih pada tindakan nyata dengan sadar tahu dan mau atas semua pengalaman pahit. Dengan sadar, sejarah pengalaman ini mengajarkan kita untuk mencari solusi untuk mmenghindari racun negara ini. Ada pun para pemerhati memberi beragam anjuranyang diberi, dengan melihat, mengalami beragam kondisi sosial yang memprihatinkan ini, maka beberapa hal menjadi perluh sebagai bagian dari waspada.
Pertama , Dengan melihat maraknya kematian orang Papua akhir-akhir ini dengan adanya bahaya kearacunan melalui makanan di warung makan , gorengan, dan berbagai bahan makanan lainya, orang papua selalu diberi peringatan untuk kembali ke alam. Bekerja, berkebun, berburuh, bercocok tanam, beternak. Dengan harapan bahwa orang Papua bisa mengolah dan memenghidupkan kembali hidup keluarga sekaligus menghindari bahaya kematian “racun itu sendiri”. Karena dengan bekerja kita sehat, membangkitkan semangat hidupa, disana muncul cinta tanah air, dan alam sekitarnya. Dengan demikian orang Papua bisa menghindari penjualan tanah yang kini marak terjadi, menolak beragam illegal; fishing, loging, mining dan lain sebagainya. Dan juga orang Papua bisa memerangi sikap ketergantungan terhadap dana –dana pemerintah yang disalurkan yang sifatnya membunuh karakter kerja orang papua dan menciptakan sikap ketergantungan yang terus-menerus. Akhirnya, demi uang dan jabatan, kehormatan orang Papua memintah daerah pemekaran dan lain sebagainya.
Kedua ialah, Orang Papua dianjurkan untuk membeli segala jenis kebutuhan lainya seperti sayur dan umbi-umbian lainnya di pasar khusus mama -mama Papua yang sering berdagang di pinggir jalan. Hal ini menjadi salah satu alternatif bagi mereka yang merantau di kota-kota besar di Papua untuk menghindari racun mematikan. Dengan harapan, orang Papua bisa menghindari makanan siap saji di kios, tokoh dan warung makan. Dan mengandalkan masakan keluarga sendiri di rumah. Dengan begitu dapat mengurangi angka kematian.
Ketiga adalah orang papua sudah seharusnya menghindari bahaya kematian melalui minuman beralkohol. Karena diketahui kadar level tinggi dan memiliki lebel khusus untuk Papua. Dengan kesadaran ini orang papua semakin sukses dalam mengatur hidupnya tanpa mengharapkan bantuan dari pemerintah dengan kata lain memerangi sikap ketergantungan yang sekarang sudah mengakar dalam benak dan tindakan orang Papua.
Keempat adalah orang Papua waspada untuk penjualan jatih diri, harkat dan martabat yang telah diwarisi nenek moyang dalam identitas budaya, suku, etnis, bahasa dan sombol-simbol warisan dan beragam lainya kepada orang luar. Karena inilah inti eksistensi orang Papua dalam karakter, jiwa, emosional, fisik dan memiliki tubuh yang unik dengan ras melanesoid di negeri Cenderawasih dan wilayah pasifica.
Hal terakhir yang perluh diwaspadai adalah sistem pemerintahan yang sekarang menuju pemusnaan. Banyak dari kita kaget ketika diumumkan pemerintahan kursi DPR, DPRD maupun DPR Pusat yang dominannya adalah pendatang. Kalau demikian, kapan aspirasi kita bisa sampai dan didengarkan oleh pemerintah pusat? Kapan orang Papua Sendiri duduk membuat hukum dan undang -undang untuk melindungi hak-hak masyarakat? Kapan orang papua bisa terhindar dari bahaya kematian? kapan orang papua sadar akan nasib perjuangan kebahagiaan hidup? Kapan orang Papua menolak bergam tawaran dan mengambil sikap tegas atas hak-haknya sebagai warga negara dan manusia di negeri ini? dan beragam harapan lainya menjadi terkendala. Orang Papua selalu diberitahu waspada, waktu terus berputar (*).
(Penulis adalah Anggota Kebadabi Voice dan Mahasiswa di STFT-Fajar Timur Abepura-Papua)
Tulisan ini sudah pernah muat di Cenderawasih Pos