Sejarah Misi Katolik Di Wilayah Vogelkop (Daerah Kepala Burung)

 

1. Pengantar Misi Katolik Di Papua

Kehadiran Misi Katolik di Papua tidak terlepas dari kehadiran Pater Le Cocq d’Armandville, SJ. Waktu Pater Le Cocq d’Armandville, SJ masih berada di Pulau Geser, ia sudah mendengar tentang Pulau Papua. Ia mendengar cerita-cerita itu melalui informasi dari pemerintah Belanda saat itu dan juga dari warga setempat yang ada di Geser.  Pater Le Cocq d’Armandville, SJ seorang misionaris yang tangguh dan pemberani. Mungkin bisa dikatakan ia mempunyai kemiripan dengan Rasul Paulus sebagai rasul bangsa-bangsa.

Pater Le Cocq d’Armandville, SJ, akhirnya memutuskan untuk melaksanakan misi ke Tanah Papua. Ia berangkat dengan menumpang  kapal laut dari Geser. Pada tanggal 28 Mei 1894 Pater Le Cocq d’Armandville, SJ menginjakkan kaki untuk pertama kali di Tanah Papua, tepatnya di Kampung Sekeru, Fakfak. Setelah sampai di Papua, ia mulai berkontak dengan penduduk setempat. Ternyata Sekeru tidak dapat disebut sebagai kampung (saat itu). Gubuk-gubuk warga berdiri agak jauh satu dengan yang lain.

Pater Le Cocq d’Armandville, SJ, mulai mendaki pegunungan dengan tujuan mencari warga yang tinggal di daerah itu. Pada umumnya daerah itu tidak terlalu terjal untuk didaki, sudah ada jalan-jalan yang dibuat oleh warga setempat. Perjalanannya ke daerah pegunungan Fakfak tidak membuahkan hasil yang baik. Ia sendiri jarang bertemu dengan warga setempat. Akhirnya pada malam hari, ia memutuskan untuk kembali ke wilayah pantai.

Di situlah ia bertemu dengan beberapa orang yang sedang duduk bercerita. Ia sendiri mulai menggabungkan diri dengan mereka, lalu ia mulai berbicara tentang Tuhan dan karya keselamatan-Nya.  Baru satu hari di Papua, tepatnya di Sekeru, Pater Le Cocq d’Armandville, SJ, sudah membaptis 8 anak, disusul 65 lagi selama 9 hari berikutnya (R. Kuris, SJ, “Sang Jago Tuhan” Red, hal. 170). Selain Kampung Sekeru, Pater Le Cocq d’Armandville, SJ juga berkarya dan tinggal di Bomfia.

Dikisahkan bahwa Pater Le Cocq d’Armandville, SJ meninggal karena tenggelam diterpa ombak besar di Pantai Mimika pada 17 Mei 1896. Pada waktu cuaca di daerah pantai Mimika tidak bersahabat. Namun Pater tetap memaksa diri untuk pergi ke pantai, untuk bertemu warga. Tujuannya ke pantai untuk membayar utangnya kepada warga dan menjemput anak-anak yang akan dibawa ke Kapaur untuk sekolah. Namun di saat seperti ini, situasi berkata lain.

  1. Awal Misi Katolik

Dalam tahun 1934 Dr. Bauke Haga menjadi Residen Maluku. Tidak ada gubernur, sebab tingkat Gubernuran Maluku yang dibentuk pada tahun 1925 (di dalamnya Keresidenan Ambon dan Ternate termasuk juga Irian Jaya), dikembalikan pada tingkat Keresidenan. Doktor Haga memang seorang yang ambisius, lincah dan tegas dalam tindakannya, tetapi dengan pendapat sendiri mengenai kedudukannya terhadap gereja-gereja. Dia akan berusaha mati-matian, memegang teguh kendali atau menghapus kembali gejala Zending berganda itu.

Dalam hubungan dengan Misi Katolik persoalan yang paling meruncing terutama mengenai izin untuk masuk ke wilayah Vogelkop. Permohonan untuk menemui sudah bertahun-tahun lamanya berada di atas meja, tanpa suatu keputusan, dan dari pihak pemerintah daerah ini tidak dapat diharapkan peluang dalam hal suatu misi baru. Hal ini lebih menyedihkan lagi, sebab dalam tahun-tahun itu diberi izin kepada sebuah perusahan minyak untuk memulai pekerjaan penyelidikan di Vogelkop.

Ternyata kedatangan perusahaan itu dipandang tidak membahayakan keamanan dan ketertiban. “Benar-benar diadakan permainan yang jujur dalam hal ini dan tidakkah orang mengukur dengan dua ukuran?” tanya Mgr. Aerts, MSC kepada kantor misi Katolik di Batavia. Uskup itu sekarang ingin melihat suatu keputusan yang prinsipil, berdasarkan ketentuan undang-undang yang manakah suatu persekutuan gerejani dilarang memasuki suatu daerah tertentu. Jika tidak berdasarkan suatu garis pemisah, bagaimana telah dinyatakan oleh pemerintah, maka pastilah tidak bisa lain daripada berdasarkan pasal 177 I.S. (Indische Staatsregeling). Padahal, di dalam pasal ini hanya dikatakan tentang pemberian izin kepada pribadi-pribadi yang konkret, bukan mengenai persekutuan-persekutuan gerejani.

Dalam perundingan-perundingan mengenai hal ini di Batavia ternyata, bahwa pemerintah bersedia mengambil sikap yang liberal. Hal itu sesuai dengan pernyataannya mengenai izin masuk bagi Misi dan Zending ke Bali. Di dalamnya dinyatakan bahwa menurut pasal 177 I.S, maka pada prinsipnya tidak boleh ada keberatan terhadap pemberian izin masuk pada umumnya. Pasal ini dimaksudkan hanya untuk secara insidentil mengadakan pengawasan preventif demi kepentingan keamanan dan ketertiban dan sekali-kali tidak boleh dipergunakan untuk menghalang-halagi kebebasan kaum pribumi, yang dengan suka rela ingin berkenalan lebih dekat ataupun berpindah kepada agama Kristen.

Ketika sudah jelas bagi Residen Haga, bahwa Gubernur Jendral mau memberikan izin masuk umum tanpa pembatasan-pembatasan lebih jauh, maka ia mengusulkan kepada Mgr. Aerts, MSC supaya diadakan suatu persetujuan. Dia bersedia memberikan advis yang baik bagi pemberian izin masuk secara umum, asalkan uskup mau berunding dulu, sebelum memulai suatu karya misi di daerah. Karena uskup mengira, hal demikian telah disetujui di ibu kota, maka beliau pun menyetujuinya sesudah ada sedikit keraguan. Inilah yang dinamakan gentlemen’s agreement dari tahun 1935. Suatu perjanjian lisan, yang kemudian dicantumkan di atas kertas oleh Haga secara sepihak.

Pada 1 Mei 1936 Gubernur Jendral memberi kepada semua misionaris yang bekerja di dalam vikariat izin masuk khusus menurut pasal 177 untuk seluruh Keresidenan Maluku. Dengan demikian, untuk pertama kalinya seluruh wilayah Irian Jaya terbuka bagi misi. Dari pihak pemerintah pusat tidak ada lagi rintangan-rintangan, tidak ada daerah-daerah yang dibatasi, tidak ada garis pemisah lagi. Akan tetapi, dalam bulan-bulan berikutnya makin jelas kelihatan, persetujuan yang dicapai antara residen dan uskup itu malahan mengancam akan menjadikan izin masuk ke seluruh wilayah itu suatu dokumen yang tidak ada gunanya.

Haga memperhitungkan antara lain untuk bahan pertimbangan suatu penyelidikan yang saksama di tempat sebelum izin dikabulkan. Oleh karena itu, Mgr. Aerts mengajukan permohonan kepada gubernur jenderal, “supaya berkenan mengambil suatu keputusan mengenai karya misi Katolik di daerah Vogelkop.” Jawaban dari gubernur tidak hanya menyinggung keadaan konkret di Vogelkop, tetapi juga pada umumnya hubungan antara pemerintah setempat dengan misi dalam membuka wilayah-wilayah baru. Dikehendaki, agar misi dan zending menjelaskan kepada pemerintah dengan seksama mengenai maksud mereka. Dari pihak lain tidaklah dimaksudkan untuk terlalu banyak mengikat mereka dalam kegiatan-kegiatannya.

Perundingan, dalam persetujuan itu, dimaksudkan sebagai pemberitahuan, sehingga pemerintah setempat dapat mempunyai gambaran mengenai keadaan yang baru. Kecuali karena keadaan-keadaan yang sangat istimewa, “Pemerintah akan secepat mungkin dengan baik menjawab pemberktahuan semacam itu. Memang harus diadakan pengecualian untuk keadaaan-keadaan yang sangat istimewa, namun hanya saya sampaikan dengan hormat kepada yang mulia, bahwa keadaan zending berganda tidak termasuk di dalamnya,” tulis gubernur jenderal di Batavia.

Dengan ini keputusan pada tingkat tertinggi lebih dijatuhkan. Maka persetujuan ini tidak dapat lagi untuk menghalang-halangi perluasan karya misi atau zending, juga tidak untuk mencegah ada zending berganda. Sekolah misi yang pertama di Vogelkop dibuka pada bulan Februari 1937 di tepi sungai Muturi, untuk penduduk Manebui.

  1. Berdiri Prefektur Manokwari

Tahun 1959 adalah tahun yang bersejarah, karena pada tahun yang sama wilayah sekitar Manokwari dipisahkan dari wilayah Jayapura dan berdiri menjadi prefektur Apostolik sendiri, yang berpusat di Manokwari dengan Prefek Apostolik Mgr. Petrus van Diepen, OSA sebagai Prefek Apostolik yang pertama. Prefektur Apostolik ini meliputi kota Manokwari dan seluruh daerah Kepala Burung, serta sekitar kota Fak-Fak. Daerah ini awalnya dilayani oleh MSC, kemudian hari diserahkan kepada OFM dan dari OFM diserahkan kepada OSA.

Sebelum datangnya Ordo Santo Agustinus (OSA) di wilayah Kepala Burung (Vogelkop), Para Fransiskan (OFM) telah lebih dulu berkarya di situ. Dimana meraka berkarya di Manokwari, Sorong, Fak-Fak, Babo, Bintuni, Maybrat dan daerah lainnya. Para Fransiskan (OFM) ini telah membuka banyak stasi, sekolah dan asrama. Tugas ini kemudia dilanjutkan oleh Ordo Santo Agustinus (OSA). Dari kota-kota yang sama, para Agustinian mengembangkan karya misi Katolik.

Stasi Sorong mulai berkembang setelah selesainya Perang Dunia II. Pada tahun 1956 di pulau Doom didirikan sebuah Gereja pada tanggal 01 Januari 1958, kemudia menyusul sebuah pastoran mini. Pada tahun berikutnya (1959) Pater Rijven mendirikan sebuah Sekolah SD dengan enam kelas di Remu, yang jaraknya kira-kira 8 Km jauhnya dari kota Sorong. Kemudianya menyusul pembangunan sebuah gereja. Gereja ini diberkati oleh Mgr. van Diepen, OSA pada tanggal 12 Februari 1960. Perkembangan stasi Sorong tak terlepas dari kehadiran perusahan minyak. Pada tahun 1962, jumlah orang Katolik di Sorong sebanyak 607 jiwa dan jumlah anak sekolahpun menurun.

Paroki Fak – Fak sesudah Perang Dunia II masih dilayani oleh para Fransiskan (OFM). Pada tahun 1962 datanglah beberapa anggota OSA, mereka adalah Pater van Beurden, Pater Neyzen dan kemudian Pater Gonzales. Dengan kehadiran para Agustinian (OSA) ini maka paroki Fak-Fak diserahkan secara penuh kepada OSA. Pada waktu itu di Fak-Fak tinggal tiga saudara Fransiskan (OFM), mereka adalah Pater van Maanen, Pater Peters dan Pater Nerius Louter.

Di Manokwari sesusah Perang Dunia II, tepatnya pada tahun 1950, Pater van de Pavert (Fransiskan) masih menjadi pastor paroki di sana. Pada tahun 1956 datanglah Pater van Diepen (Agustinian) di Manokwari dan pada tahun yang sama Manokwari sudah dilayani oleh OSA. Pada tahun berikutnya Pater van Diepen pindah tugas ke Sorong, dan Manokwari dilayani oleh Pater Alex  Snelting. Di Paroki Manokwari sudah ada SD, Asrama Vincentinus, dimana puluhan anak tinggal di situ. Kemudian hari, pada tahun 1959 paroki Manokwari dibantu oleh para Suster Konggregasi Darah Mulia.

Stasi lain yang ditinggalkan oleh para Fransiskan (OFM) ialah, stasi Bintuni. Stasi ini sudah sekian lama tak dilayani oleh para misionaris. Pater Agustin yang pertama tinggal di Bintuni ialah Pater van Baarsen. Beliau tiba dengan selamat di Bintuni pada tahun 1957. Dibawah pelayanannya gereja dan sekolah yang baru dapat didirikan, demikian pula sebuah asrama. Pada tahun 1960 ia digantikan oleh Pater Noerds.

Para Agustin (OSA) tidak hanya tinggal diam atau singkat kata, hanya melanjutkan misi yang sudah dikerjakan oleh para Fransiskan (OFM) saat itu. Para Agustin (OSA), mulai membuka stasi-stasi baru. Pada tahun 1955 Pater van Beurden membuka stasi di Ayawasi. Tiga tahun kemudian, tepatnya pada tahun 1958 Pater van de Kraan membuka lapangan terbang. Pada tahun 1960 ia mendirikan sebuah gereja baru. Ia dibantu oleh para suster yang mengurus poli-klinik dan Asrma. Dikemudian hari Pater van de Kraan pindah tugas, ia digantikan oleh Pater van Baarsen dan Pater van de Grinten. Di paroki Ayawasi ada Sekolah Dasar beserta asrama dengan jumlah anak sekitar 75. Empat tahun berkarya di Ayawasi, akhirnya Pater Kraan pindah tugas ke tempat yang baru. Ia ditugas sebagai pator di Mardei.

Pada tahun 1958 Pater Hulshof mendirikan sebuah stasi di Snopi. Lima tahun ia bekerja sebagai pastor di Snopi, pada tahun 1963 ia digantikan oleh Pater van de Grinten dan Pater Peral. Sejak tahun 1962 para suster sudah membantu pelayanan di wilayah paroki Snopi dengan mengurusi asrama dan mengajar di  Sekolah Dasar dan membantu pelayanan kesehatan untuk warga di sebuah poli-klinik.

Berkat pengorbanan, kesabaran dari para misionaris, maka pada pertengahan 1962, Prefektus dapat membuat statistik sebagai berikut : Jumlah imam 10 orang, Bruder 1 orang, Suster 6 orang, stasi dengan pastor berjumlah 6, stasi tanpa pastor 42, Guru agama sebanyak 26 dan jumlah orang Katolik di wilayah Prefektur Apostolik Manokwari berjumlah 3.590 jiwa.

Sekilas tentang sejarah gereja Katolik di Prefektur Apostolik Manokwari. Perlu diakui bahwa dalam menjalankan karya misi, ada banyak tantangan dan hambatan yang dihadapi, namun semua itu tidak menjadi satu kendala yang berarti bagi perkembangan misi Katolik di wilayah Prefektur Apostolik Manokwari. Meskipun demikian Mgr. van Diepen, OSA  tetap optimis.  Pada tahun 1962 beliau membeli sebidang tanah yang luasnya 25 Km2 . Br Paulus ditugaskan  untuk mengurusi tanah tersebut dengan sebuah lahan pertanian. Pada tahun yang sama misi Katolik membeli rumah baru, yang didiami oleh Mgr. van Diepen sendiri.

 

Oleh, Sdr. Vredigando Engelberto Namsa, OFM

Biarawan Fransiskan (OFM) Provinsi Fransiskus Duta Damai Papua

Sumber:

  1. Arsip Saudara-saudara Fransiskan yang berkarya di Papua, catatan harian dan refleksi.
  2. Ikhisar Kronologis Gereja Katolik Irian Barat Jilid II, Tahun 1970.
  3. Jan Sloot, “Fransiskan Masuk Papua’’, Jilid I, Kustodi Fransiskus Duta Damai, 2012.
  4. Kuris, SJ, “Sang Jago Tuhan”, Kanisius, 2001.
  5. Sejarah Gereja Katolik Keuskupan Manokwari-Sorong, Bahan Ajar STFT Fajar Timur, 1970.
  6. Van Egmond, “Terug in het erfogt”. (semacam catatan harian), Tahun 1949.

Leave a Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *