“Yimeke Timeke Agatma Yoma Welagarek”
Dasar teologis dalam tulisan ini adalah Kitab Suci, Kejadian pasal 1 tentang “Allah menciptakan langit dan bumi serta isinya”. Setelah Allah meciptakan semuanya, Ia berfirman siapa yang dapat merawat, memelihara, dan berkuasa atas semua ciptaan ini? Berdasar itu Allah menciptakan manusia sesuai dengan citra-Nya, supaya manusia menjadi peguasa atas ciptaan-Nya. Kemudian, Allah menepatkan manusia itu disebuah taman yang disebut taman Eden. Taman Eden tersebut merupakan gambaran umum tentang bumi yang diciptakan oleh Allah. Meskipun demikian, karena Allah memberikan manusia kekebasan eksistensial sehingga manusia itu diusir dari taman Eden karena melanggar hukum larangan yang telah dubuat oleh Allah. Setelah diusir dari taman Eden manusia mencari tempat dan juga memikirkan bagaimana nasib hidupnya.
Dunia semakin luas dan berkembangan sehingga Allah menepatkan manusia di masing-masing tempat supaya manusia boleh bertangungjawab atas tempat itu. Misalnya, secara garis besar letak tempat manusia di dunia dibagi dalam tiga ras yaitu ras Mongoloid, ras Negroid dan ras Kaukasoid. Dari ketiga ras ini, penulis ingin menuliskan ras Negroid saja karena yang dipersoalkan dalam tulisan merupakan bagian dari ras Negroid. Yang disebut ras Negroid adalah manusia yang memiliki warna kulit hitam dan berambut keriting. Salah satunya adalah manusia yang disebut ras Melanesia. Ras Melanesia letak di kawasan Pasifik. Bersadarkan Pulau, salah satunya adalah Pulau Papua.
Dalam refleksi teologis, menurut artis Papua, Edo Kondologit mengatakan bahwa “Papua sebagai surga kecil yang jatuh ke bumi”. Jelas bahwa Pulau Papua tersohor di mata dunia karena keidahan alam yang mempersona dan kekayaan alam yang melimpah. Oleh karena itu, tak salah juga jika dikatakan Papua bukan tanah kosong. Konsep ini dalam pandangan dan refleksi leluhur manusia Balim-Wamena-Papua melahirkan sebuah konsep yang disebut “Yi meke timeke agatma yoma melagarek” yang artinya “segala sesuatu ada didalam bumi “tanah”
Yi meke timeke agatma yoma welagarek
Konsep segala sesuatu ada dalam bumi, sangat berkaitan erat dengan Kitab Kejadian yang sebagaimana Allah memisahkan bumi dan langkit, kemudian menciptakan segala sesuatu yang ada di bumi dan di langit. Allah tidak mau kalo bumi dan langit kosong. Semua yang ada di atas langit mengindahkan dunia dimalam hari, dan bumi mengindahkan dunia di siang hari. Meskipun demikian, karena pada dasarnya manusia jatuh kedalam dosa sehingga yang merusakan keindahkan dunia itu adalah manusia. Oleh karena itu, ada salah satu dokumen Gereja Katolik yang dikeluarkan Puas Fransiskus pada tanggal 18 juni 2015 yaitu Ensiklik Laudato Si (Latin) yang artinya Terpujilah Engkau. Ensiklik ini dengan tujuan mendarkan manusia pentingnya melestarikan, menjaga dan merawat bumi.
Barangkai, pada umumnya dan khsususnya manusia Hubula tau makna yang terselumbungi balim konsep yimeke timeke agatma welagarek, tetapi makna itu diabaikan saja, pura-pura tidak tau!. Oleh karena itu, untuk menyadarakan konsep tersebut Unskup Timika alm. Yohanes Saklil Pr, mengatakan bahwa “Tanah itu mama yang memberi kita makanan, jadi ko jangan jual tanah, kita tidak bisa hidup dengan perekonomian modern, juga tidak bias hidup tanpa tanah”. Apakah peryataan ini, manusia Papua umumnya dan khususnya manusia Humula mengerti atau tidak? Pasti sebagai manusia yang punya akal tentu mengerti sebagai pengetahuan saja tanpa memaknai.
Kehadirannya DOB sangat mengacam dan sangat membingunkan kita sehingga manusia Papua (Manusia Hubula) dibagi dalam dua kelompok besar. Kelompok pertama, memaknai isi Kitab Kejadian dan konsep “Yimeke timeke agatma yoma welagarek” sehingga berusaha melindungi tanah. Sedangkan, kelompok kedua adalah tidak memaknai kedua hal diatas sehingga berkeinginan alias dorongan nafsu menjual tanah begitu saja tanpa tanpa kedasaran. Sebenarnya bagi kita yang menjual tanah itu harus sadar bahwa tanah itu Tuhan yang buat untuk manusia, bukan manusia yang buat untuk Tuhan. Tuhan mebuat kita dari tanah, menghidupkan kita dari tanah dan akan kembali pula ke tanah. Apa kita manusia Papua-Hubula menyadari hal ini!
Uskup Timika menyatakan “kita jual tanah berarti kita jual kehidupan masa depan Papua”. Konsep yimeke timeke agatma yoma welagarek itu adalah kehidupan. Kita sering mengeluh, Papua diambang kepunahan. Memang jelas bahwa jual tanah berarti jual kehidupan menuju kepuhanan. Oleh karena itu, jika kita tidak mau punah jangan jual tanah kepada manusia lain, karena manusia lain itu Tuhan sudah berikan tanah untuk menghidupi kehidupan masing-masing. Selain itu, jika kita manusia Papua punya hati kecil ingin “MERDEKA” lebih baik jangan jual tanah, ketika kita juah tanah kepada manusia belahan dunia lain disitulah harapan kemerdekaan itu dimabil orang.
Adanya bumi maka kita manusia Papua-Hubula ada. Tuhan menepatkan kita di Pulau Papua untuk itu bukan untuk menjual belikan. Oleh sebab itu, disini penulis ingin memberikan saran. Saran adalah yang pertama khsusus untuk manusia Hubula. Awal kita sudah tolah DOB tetapi pada akhirnya kita terima secara paksa. Maka, jangan beri kesempatan kepada Negara. Negara hanya meindugi dengan hukum bukan milik. Kita orang Hubula juga harus dasar dengan kosnep yimeke timeke agatma yoma welagarek. Semua itu kalo diserahkan kepada negara, mau hidukan budaya dan manusianya dari mana? Kedua, kita sebagai pengaja tanah Papua jangan keliruh dengan senilai rupiah, rupiah itu kita bisa dapat jika kita melindungi dan merawat bumi “tanah”. Dalam hal ini Uskup Timika bilang “Manusia Papua bisa hidup tanpa uang tetapi tidak bisa hidup tanpa tanah. Dan yang ketiga, manusia belahan dunia lain juga harus sadar bahwa tempat ini “Papua” ada orang yang Tuhan tempatkan untuk menjaga. Maka, kalau anda ingin hidup dengan kami “manusia Papua” jangan sok tuan rumah. Bangunlah relasi yang baik agar Papua itu tetap dipandangan sebagai surga kecil yang jatuh ke bumi. Editor: Antonius Tebai
Penulis adalah Lewi Pabika Mahasiswa Sekolah Tinggi Filsafat Teologi Fajar-Timur Abepura -Jayapura