(Sebuah Catatan Kritis terhadap Rasisme di Indonesia)
(*Oleh: Andy Denatalis
Sejarah perkembangan manusia tidak pernah terlepas dari rasisme. Rasisme ini bisa terjadi di mana saja, baik itu dalam negara maju maupun dalam negara yang sedang berkembang, dan pelakunya pun bisa seorang aparat negara maupun anggota masyarakat. Rasisme ini sebetulnya sangat berakar pada persoalan biologis dan antropologis. Secara khusus yang paling menonjol adalah perbedaan warna kulit antara orang kulit putih dan kulit hitam. Dalam dunia internasional, kausalitas utama dari tindakan rasis ini adalah keyakinan dalam suatu kelompok (mayoritas) yang menganggap diri atau kelompok mereka sebagai yang paling superior dari pada kelompok lain (minoritas). Keyakinan ini membawa mereka kepada sebuah cara pandang yang keliru terhadap kelompok lain sehingga di sana terjadilah tindakan rasis.
Kematian George Floyd pada 25 Mei yang lalu merupakan pertanda baru bahwa rasisme masih terjadi di dunia secara international maupun rasisme yang menimpa Natalius Pigai baru-baru ini menjadi penyakit kolektif di tanah air Indonesia. Rasisme yang sering kali dialami oleh kaum minoritas di Amerika Serikat (dalam hal ini orang-orang kulit hitam), menjadi sebuah gambaran umum betapa rendahnya penghargaan terhadap keluhuran nilai-nilai humanisme orang-orang kulit hitam yang mendiami wilayah Pasific lebih khususnya ras Melanesia di Pulau Papua. Kematian Floyd pun menjadi sebuah tanda, bahwa hukum tidak menjadi jaminan akan adanya toleransi antar orang kulit putih dan orang kulit hitam di Amerika Serikat. Dalam konteks ini, kita boleh saja berasumsi bahwa negara yang demokratis akan sepenuhnya mejamin hak-hak warganya, dan jauh dari segala praktik diskriminasi rasial. Tetapi sekali lagi bahwa tindakan rasis itu tidak akan pernah hilang selama ada perbedaan, sekalipun dalam negara yang demokratis dan intensitas toleransinya tinggi yang berdasar pada Bineka Tunggal Ika, Pancasila dan Undang-Undang 1945 menjamin kehidupan bernegara .
Posisi Indonesia sebagai negara yang demokratis pun tidak memberikan jaminan yang penuh bahwa rasisme dan intoleransi tidak akan terjadi. Tak dapat dipungkiri, bahwa rasisme sering kali terjadi dan dialami oleh kaum minoritas (suku bangsa Papua). Dalam presentasenya, ras melayu lebih dominan dari pada ras melanesia. Hal ini pun berpengaruh pada presentase pemeluk agama, pemeluk agama Islam lebih banyak (mayoritas) dari pada pemeluk agama lain di Indonesia. Hal lain yang dapat kita lihat adalah bahwa ras melayu hampir menguasai seluruh aspek kehidupan berbangsa di Indonesia. Secara biologis, ada perbedaan yang mencolok antara ras melayu (mayoritas) dan ras melanesia (minoritas). Lebih tepatnya “dua jenis gen yang menyatuh, tak dapat dipisahkan”. Jika ciri ras melayu adalah berkulit putih dan berambut lurus, maka ciri khas dari ras melanesia adalah berkulit gelap dan rambut keriting.
Rasisme: Pelecehan terhadap Humanisme
Pelecehan terhadap Humanisme Secara filosofis, humanisme dapat diartikan sebagai sebuah pemikiran filsafat yang mengutamakan nilai serta kedudukan manusia dan menjadikannya sebagai kriteria dalam segala aspek kehidupan. Humanisme sangat menekankan harkat, peran, tanggung jawab manusia. Dalam humanisme ini, manusia memiliki kedudukan yang istimewa dan kemampuan yang lebih dari makhluk lain karena memiliki aspek rohaniah. Humanisme ini pun telah menjadi sebuah doktrin beretika dan memiliki cakupan yang luas karena mencakupi seluruh entitas manusia yang equility. Humanisme juga berlawanan dengan sistem etika tradisional yang cakupannya hanya berkaitan dengan kelompok-kelompok etnis tertentu. Secara umum, humanisme modern dibagi menjadi dua aliran, yakni humanisme religi dan humanisme sekuler.
Konsep humanisme religi atau keagamaan ini berakar pada tradisi renaisans (pencerahan), kemudian diikuti oleh para seniman, umat kristen garis tengah dan para cendikiawan dalam kesenian bebas. Humanisme religi ini berfokus pada martabat dan keluhuran serta keberhasilan yang dihasilkan oleh manusia sendiri. Sementara humanisme sekuler, menunjukan kebangkitan globalisme dan teknologi dan dengan sendirinya menjatuhkan kekuasaan agama. Dalam humanisme sekuler, peran logika sangat diutamakan, karena orang-orang yang menganut konsep humanisme sekuler ini menganggap dirinya sebagai jawaban atas pentingnya sebuah pengetahuan filsafat umum yang tidak dibatasi oleh perbedaan kebudayaan yang diakibatkan oleh adat-istiadat serta agama setempat.
Bertolak dari konsep dasar humanisme ini, kita bisa melihat bahwa rasisme benar-benar telah melecehkan manusia bukan saja dari aspek lahiriah melainkan juga secara rohaniah. Tindakan ini dilatarbelakangi oleh suatu intensi khusus yaitu, untuk merendahkan atau melecehkan sekaligus ingin menghapus ras atau etnis tertentu dalam suatu kelompok masyarakat. Dalam kenyataannya, rasisme ini justru diciptakan oleh realitas humanisme sekuler. Dalam realitas humanisme sekuler, kebangkitan globalisme dan kemajuan teknologi sesungguhnya berperan penting dalam menjatuhkan kekuasaan mayoritas suku, ras dan juga agama yang memandang mulia martabat keluhuran manusia. Sehingga dengan sendirinya manusia tidak lagi memandang orang lain sebagai yang sama dan sederajat dengan dirinya, tetapi sebagai yang lain atau tidak sederajat. Dalam kenyataannya orang-orang seperti demikian cenderung menganggap orang lain atau kelompok lain yang tidak sederajat dengannya, sebagai seekor binatang yang memiliki derajat berbeda dengan manusia meskipun sama ciptaan Tuhan.
Rasisme di Indonesia
Apabila ditinjau lebih dalam mengenai problem rasisme di Indonesia, kita dapat menemukan pokok persoalan yang tentunya turut menciptakan rasisme ini, terlepas dari sebuah sejarah kelam pada masa kolonial yakni keanekaragaman. Bangsa Indonesia sejatinya adalah negara kepulauan yang memiliki banyak perbedaan dalam banyak aspek kehidupan. Dengan kondisi yang demikian, tentunya sulit untuk menyatukan pemikiran banyak orang untuk menciptakan persatuan. Maka problem berkaitan dengan toleransi sebenarnya sangat sulit untuk dicerna jika dilihat dalam konteks keanekaragaman ini.
Secara historis, rasisme di Indonesia sudah terjadi sejak lama dan kemudian menjadi problem yang sangat sulit diatasi. Drs Irwan Martua Hidaya seorang dosen di Universitas Indonesia, menjelaskan sejarah panjang terjadinya rasisme di Indonesia. Irwan menjelaskan jika rasisme ini sebetulnya sudah terjadi sejak zaman kolonial. Rasisme ini merupakan sebuah warisan kolonial, sekaligus merupakan akibat dari sistem stratifikasi yang diterapkan oleh Belanda waktu itu terhadap masyarakat Indonesia. Dalam konteks indonesia, stratifikasi itu dibagi menjadi tiga bagian yaitu, golongan Eropa, golongan Timur Asing pada masa itu didominasi oleh keturunan Tionghoa dan Arab dan golongan pribumi. Pemberlakuan sistem stratifikasi ini sesungguhnya menjadi akar rasisme di Indonesia. Keadaan ini terus terbawa ke dalam masa orde baru ketika pemerintah melakukan “penindasan” terhadap etnis Tionghoa maupun wilayah Irian Jaya (Kompas.com, edisi 4 juni 2020).
Dalam konteks masyarakat Papua, diskriminasi menjadi sebuah problem yang sulit dilupakan. Tindakan ini setidaknya turut mencederai martabat orang-orang Papua sebagai makhluk ciptaan Tuhan yang memiliki entitas sama dengan orang-orang lain di Indonesia. Sejumlah kasus rasis dan diskriminasi sering terjadi dan dialami oleh orang-orang Papua. Hal ini didasari oleh cara pandang orang (kaum mayoritas) terhadap orang-rang Papua (kaum minoritas), bahwa perbedaan biologis, seperti ciri fisik yang dimiliki orang Papua; berambut keriting dan berkulit hitam, menjadi sebuah hal yang mutlak untuk dijadikan sebagai sebuah perbedaan dengan orang-orang kulit putih (kaum mayoritas dalam hal ini adalah ras melayu). Kenyataan ini berdampak pada adanya anggapan bahwa ras melanesia (minoritas) sebagai manusia yang rendah, bodoh dan paling tertinggal dalam segala aspek kehidupan.
Perlakuan ketidakadilan yang dialami oleh orang-orang Papua sebagai kaum minoritas di Indonesia sebetulnya menggambarkan sebuah keadaan di mana hukum dan keadilan di Indonesia belum sepenuhnya dirasakan oleh masyarakat Papua. Perlakuan ketidakadilan ini dapat berimbas pada kualitas hidup orang-orang Papua yang pada umumnya masih jauh dari kemajuan baik itu dalam aspek sosial kemasyarakatan maupun dalam aspek pemerintahan.
Dalam upaya untuk mengatasi diskriminasi ini, yang paling utama untuk dilakukan oleh semua orang adalah mengubah cara pandang dan pola pikir yang negatif terhadap orang-orang Papua khususnya. Cara ini pun ditempuh lewat pendidikan sejak usia dini dengan menanamkan nilai kesetaraan. Dengan cara seperti ini, kita pun sudah berpartisipasi dalam membangun kepercayaan diri orang-orang Papua di bawah payung kemanusiaan. Selain itu pemerintah bertanggung jawab untuk mengimplementasikan kebijakan-kebijakan anti-diskriminasi serta mengoptimalkan kerja instiusi penegak hukum yang menjamin kesetaraan hak dan keadilan bagi seluruh masyarakat indonesia.
Kiranya gagasan sederhana ini membantu untuk menyerukan keadilan dan kesetaraan bagi kaum minoritas (suku bangsa Papua), agar hukum yang berlaku di Indonesia mengutamakan perlindungan hak dan menjamin keadilan bagi seluruh masyarakat Indonesia, bukan hanya bagi kaum mayoritas melainkan juga bagi kaum minoritas. Sehingga dengan demikian, orang-orang Papua dapat mengalami sebuah iklim kehidupan yang lebih kondusif dan manusiawi serta jauh dari tindakan diskriminasi dan intoleransi.
(Tulisan ini sudah pernah publis di media Jubi dan Tribun Papua 2020)
Penulis adalah Mahasiswa STFK Ledalero, Flores Nusa Tenggara Timur
Publisher: Erick Bitdana