(PENGALAMAN KEGELISAHAN FEMINIM) Sa Tramau Kalau Sa Laki Nanti Dapat Ampas

 

 

Dalam tulisan ini, sa sharing pengalaman sendiri tentang hubungan sa dengan seorang perempuan, yang punya kesan sangat menarik sehingga terpanggil untuk sa menulis. Sa tidak tahu seperti apa laki-laki lain dengan pandangan mereka dalam dunia cinta. Kemudian, seperti apa model perempuan yang mereka suka. Sa tidak tahu itu, dan kembali kepada kita seorang laki-laki dengan tiap-tiap dan masing-masing karakter dalam merespon cinta. Ini sa punya, kalau tidak suka kembali pada pribadi.

Di lorong masuk jalur B, waktu menunjukan sudah mau sore, dekat magrib. Sa menelusuri lorong dengan langkah yang sedikit lambat-laun. Dalam perjalanan itu ada seorang perempuan duduk di pondok  pinggir jalan. Ternyata dia sedang menjaga jualannya, yakni pinang dan bensin lalu Sa menghampiri dia untuk beli pinang. Saat itu, kebetulan dia sendiri dan sa ajak berbicara seputar “bagaimana hasil jualan pinang dan bagaimana perasaannya ketika jaga jualan, walaupun kurang ada pembeli”.

Komunikasi yang sedikit akrab, akhirnya sa dengan dia saling tukar nomor telepon. Mulai dari situ, komunikasi kita mengarahkan ke hal-hal perasaan. Pada akhirnya, sa dengan dia jadian ( pacaran). Komunikasi kita dua jalan lancar dan mulus. Sering juga kita jumpa tetapi di tempat yang sama, pondok jualan. Disitu kita dua banyak cerita-cerita tentang masalah HAM di tanah Papua. Juga, Sa banyak tanya dia tentang kehidupan dalam keluarga dan lingkungan sekitarnya. Sekaligus, kita saling terbuka terkait masa-masa yang sudah lalu. Dia banyak merespon pertanyaan sa dengan baik adanya dan penuh antusias. Sepertinya, dia bukan perempuan yang terlalu pandai dalam hal intelektual, tetapi soal sopan dan rajin, itu jangan ragu lagi. Dan hal itu sa jamin!

 

Dalam sa punya perasaan, secara pribadi sa baru lihat perempuan kaya dia. Kelihatannya, dia sangat irit perasaan; tidak gampang untuk jatuh cinta. Tetapi kenapa dia bisa terima sa? Entahlah..!

Tanpa disadari, hubungan asmara kita hampir menjelang tiga bulan lebih, dua minggu lagi genap masuk empat bulan. Karena menjalin hubungan yang sudah lama, kita dua sudah bisa saling menaruh perhatian dan kepercayaan yang cukup baik antara satu sama lain. Sehingga pada suatu hari sa ajak dia pergi main-main di pantai Amban, Manokwari, Papua barat. Anehnya, sampai disana tiba-tiba dia seperti kaku untuk berbicara. Seolah-olah mau terima saja apa yang sebentar akan terjadi. Sa juga bingung dengan ekspresi wajah dan suara yang datar dan tersendat-sendat, tidak seperti biasanya.

Sa belum bicara atau meminta sesuatu dari dia, apalagi berkaitan dengan hubungan intim (seksual). Tetapi, dengan tulus dia bicara: “Sa Tramau Kalau Sa Laki Nanti Dapat Ampas, Kk!” Karena keadaan yang secara spontanitas dia bicara begitu, walaupun hal yang situasional (sementara)  meksipun, sa tidak kecam balik, tetapi hal itu sungguh terpukul dalam hati. Justru, sa minta dia untuk kita pulang ke rumah saja, daripada hal-hal lain akan terjadi. Dalam perjalanan pulang, suasana menjadi hening dan pasif. Tidak ada yang dapat bicara lagi antara kita berdua, seakan-akan tadi ada masalah yang serius.

Saat itu sa ajak berbicara, dia menghiraukan semua, padahal biasanya dia sangat peka dan responsif, Seolah dia orang mono/ bisu (penyandang disabilitas) di saat itu. Dalam hati, Ahh.., mungkin karena keadaan begini jadi, kalau sudah di rumah pasti dia bicara, tetapi masih tetap sama, tidak berubahSyukur! Keesokkan harinya kita jumpa dan dia ceritakan semuanya. Dalam cerita yang kali ini, sa rasa pertemuan yang sungguh genit dan gesit dalam perdebatan sekitar kasus yang terjadi kemarin di pantai Amban. Kelihatannya, hari ini dia sangat tangguh dan frontal dalam berargumen.

Pada siang hari itu, di pondok pinang terlalu ribut kiranya orang baku pukul. Yeah, tetapi semuanya berjalan dengan aman-aman saja. Akhirnya, sa tahu sendiri mengapa dia bisa bicara demikian? Yang sa mengerti dari situ, dia bilang bahwa setiap perempuan yang melakukan seksual, dia tidak mungkin mau berpaling dari laki-laki yang pertama. Karena kadang-kadang perempuan juga dapat ejekan dari kalimat yang bernuansa diskriminasi dan teror dari laki-laki pertamanya. Sering kali, bila perempuan itu baku bawa dengan laki-laki lain, maka narasi yang dilontarkan dari mulut laki-laki pertama adalah, “ah, kasih tinggal dia. Intinya yang sana dapat sa pu ampas.” Demikian, dia juga cerita pengalaman saudara perempuan yang diperlakukan oleh suaminya, bahwa sering laki-laki itu mengeluarkan kalimat seperti, “ko kawin dengan sa itu, sudah rusak, hancur jadi ko ( perempuan) Jagan macam-macam.” Karena hal ini yang membuat dia trauma dalam dunia percintaan, dan tengah hubungan ini dia juga masih ragu sa sampai detik ini. Sungguh ee..!!

Poin disini adalah bagaimana seorang laki-laki memandang perempuan sebagai teman hidup atau ukuran kelamin sebagai target kepuasan seksual.

Bagaimana pendapat saya?

Mari kita telaah kembali di berapa awal kalimat di atas. Saya sendiri sudah mengatakan bahwa: “sa tidak tahu seperti apa laki-laki lain dengan pandangan mereka dalam dunia cinta. Kemudian, seperti apa model perempuan yang mereka suka.” Tetapi disini yang saya perlu garisbawahi adalah, masalah seperti pengalaman di atas itu merupakan suatu kejahatan terhadap perempuan dalam membatasi hak hidup dan hak untuk memilih. Secara pribadi saya benci sifat laki-laki yang bengis dan kejam begitu. Artinya, masalah begini, kita jadikan perempuan semacam benda yang ada, tidak dipandang sebagai sesama manusia. Seakan-akan laki-laki lah yang paling superior atas perempuan. Apapun yang dapat dia bicarakan, semuanya benar tanpa mempertimbangkan hak perempuan.

Dalam konteks ini, kita melihat kebahagiaan dalam pandangan laki-laki di dunia cinta bukan suatu relasi dari akhlak perempuan secara kemanusiaan, tetapi lebih patokan pada alat kelaminnya. Sehingga, perempuan yang tidak ada perawan, secara otomatis dalam pikiran laki-laki seperti itu bahwa perempuan itu sudah tidak layak. Fokusnya, saya pikir masalah seksual adalah privasi dan hal yang sensitif, bukan di umbar-umbar, apalagi seksual dijadikan senjata untuk Serang perempuan atas aibnya. Ini amat keterlaluan; tindakan biadab.

Berangkat dari sini, kenapa kekerasan terhadap perempuan kerap terjadi?

Seorang penulis Anna Mariana dalam tulisannya: PERBUDAKAN SEKSUAL; Perbandingan antara masa fasisme Jepang dan neofasisme Orde baru.

Menurut Mariana, saat menelusuri kisah para korban, termasuk  pengalaman saya di atas, kepercayaan dari perempuan mutlak diperlukan. Sangat sulit bagi perempuan untuk mengungkapkan peristiwa yang mereka alami, mengingat pengalaman yang sangat traumatis. Kondisi itu kadangkala kita jadikan historiografi kita untuk tidak mencantumkannya sebagai narasi sejarah feminim dan bangsa. Dengan demikian kekerasan pun justru seolah dikukuhkan; tidak bisa mengubahnya

“Persoalan kekerasan yang menimpa perempuan baik dalam situasi ‘damai’ maupun ‘perang’ haruslah dilihat dari beragam perspektif. Satu hal yang mudah ditemukan dalam sejarah kekerasan adalah posisi perempuan sebagai korban; yang sangat rentan terjadi. Namun jika hanya melihat perempuan sebagai korban semata-mata tentunya kita tidak mampu menguak struktur yang lebih besar demi menjawab mengapa kekerasan terhadap perempuan selalu saja terjadi. Hal itu tak lepas dari salah satu akar permasalahan utamanya, yaitu Budaya patriarki tempat perempuan dibesarkan.”

Di Indonesia, terlebih khusus kita di Papua budaya patriarki jelas tidak kondusif bagi perempuan yang korban kekerasan. Dalam kasus pemerkosaan misalnya, perempuan enggan menyuarakan kekerasan yang menimpa mereka karena rasa malu tak tertanggungkan jika mengungkapkan pengalaman tersebut. Pemerkosaan dianggap sebagai aib, bukan kejahatan dan termasuk narasi dalam pengalaman di atas. Bahkan perempuan yang sudah jadi korban seringkali justru dituding sebagai akar penyebab terjadinya pemerkosaan. Dan stigmatisasi ini terus melekat sampai waktu yang lama. Yang menjadi masalah  lagi, kadang perlakuan itu dianggap sebagai kodrat: apapun yang menimpa perempuan, mereka terima saja. Anggapan bahwa, karena itu sudah dari Sononya di atur oleh Tuhan.

Penulis adalah Theo Esyah mahasiswa Fisip Uncen Jayapura

 

 

Leave a Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *