Penderitaan Menurut St. Agustinus Dari Hippo
(*Sdr. Vredigando Engelberto Namsa, OFM
Agustinus dari Hippo adalah seorang pemikir Kristen abad ke-4. Pada masa Agustinus berkembanglah filsafat “Stoa dan Neoplatonisme” yang menjadi aliran filosofi yang dominan. Keduanya berangkat dari pengandaian akan sebuah dunia yang teratur, sebuah kosmos yang dikuasai oleh sebuah logos yang merencanakan dan melaksanakan sesuatu. Pada tahun 383, dalam usia 29 tahun, Agustinus melepaskan paham dualistik dari aliran manikeisme yang dianutnya. Ia mulai mendalami aliran Neoplatoisme kristiani di Milano bersama uskup Ambrosius.
Pada saat itu dia menaruh ketertarikan pada konsep keteraturan dan keindahan segala sesuatu, yang juga memberi tempat pada yang buruk. Dengan pandangan yang sudah dipengaruhi oleh monoisme neoplatoistik, Agustinus mengimbau kita tidak mengikuti contoh seseorang yang berdiri di atas mosaik, namun karena pandangannya terlampau sempit tidak sanggup melihat yang jauh dari batu-batu lepas yang ada di lantai itu. Orang seperti itu tidak dapat melihat keindahan, sebab keindahan hanya mungkin dipandang dalam keseluruhan. Dia cuma melihat dan berkonsentrasi pada elemen-elemen lepas dari pengalaman, tanpa ada kesanggupan merangkainya menjadi sebuah bentuk yang indah. Orang seperti ini tidak mengenal sebuah keteraturan yang bekerja di dalam sebuah hidup manusia. Sebagaimana lukisan yang baik memiliki sisi yang kurang terang pada sebuah bagian lukisan.
Demikian sesuatu yang ada di dalam dunia. Kalau orang memperhatikan keseluruhannya, maka dunia ini lebih harmonis, juga dengan dosa dan penderitaan di dalamnya.
Memang jika dosa dan penderitaan itu diperhatikan secara khusus, maka mereka akan merusakkan lukisan tersebut. (bdk. Paul Budi Kleden, SVD, “Membongkar Data”, Maumere; Ledalero, hlm. 90-91). Maka, menjadi terang pemikiran dari Agustinus bahwa penderitaan itu adalah suatu bagian dalam keseluruhan lukisan kehidupan. Penderitaan itu tidak hanya boleh dilihat sebagai sebuah bagian kehidupan yang terpisah melainkan sebuah kesatuan yang membentuk harmoni kehidupan.Dapat pula dikatakan bahwa penderitaan dalam kerangka pemikiran Agustinus tidak perlu terlalu disesalkan dan dibebankan karena penderitaan itu sendiri adalah bagian yang membuat kehidupan menjadi suatu yang utuh.
Dalam analoginya, ia menilai penderitaan itu sebagai sebuah bagian lukisan yang kurang bagus. Kekurangan dalam lukisan itu tetaplah sebuah harmoni dalam keseluruhan lukisan itu. Bila hanya memperhatikan kekurangan lukisan itu, maka lukisan itu akan kehilangan keindahannya. Bagian yang kurang itu merupakan bagian yang mesti dilihat dari sudut pandang keseluruhan tentang lukisan itu. Kekurangan lukisan itu adalah hal yang tidak dapat dipungkiri dan bila ia tak ingin dijadikan beban, maka penderitaan itu harus dilihat dari sudut pandang keseluruhan tentang lukisan itu. Pandangan tentang keseluruhan lukisan itulah yang membuat lukisan itu menjadi indah yang walaupun ada bagian yang kurang sempurna di dalamnya.
Hemat saya bahwa pandangan Agustinus ini berusaha untuk meniadakan perasaan sakit akan penderitaan. Ia berusaha untuk memaklumi penderitaan dan mencoba memahi penderitaan itu dan membuang rasa sakit akan penderitaan itu. Analogi tentang lukisan itu menggambarkan bahwa penderitaan adalah sesuatu yang kurang dari lukisan. Namun kita mesti memandang lukisan itu secara keseluruhan lukisan itu sebagai sebuah cara adalah cara untuk mengatakan bahwa masih banyak sesuatu yang baik dan bagus dari lukisan. Sesuatu yang baik dan bagus itu akan menutupi kekurangan dalam lukisan itu dan menjadikan lukisan itu bagian yang indah bila dilihat dari sudut pandang keseluruhan.
Pada waktu paskah tahun 387, dalam usia 33 tahun, Agustinus membiarkan diri dibaptis. Saat itu Agustinus membuat catatan demikian “Allah tidak menghendaki dan mencintai keburukan. Namun, Dia mempunyai kesanggupan untuk mengangkat keburukan itu dan memadukannya kedalam keteraturannya. Penderitaan tidak lagi terjadi atas keputusan Allah. Baru ketika sudah ada keburukan, Allah memasukannya kedalam tatanan-Nya. Allah menciptakan segala sesuatu, termasuk segala sesuatu yang dapat berdosa: namun bukan saya supaya mereka berdosa, melainkan mereka dapat memperindah universum, entakah dengan atau tanpa dosa”. (Ini adalah kutipan dari: Agustinus, De Gratia et Libero Arbitrio, 3 dlm. Paul Budi Kleden, SVD, hlm. 92-93).
Dari pandangan ini ditemukan distingsi antara konsep awal Agustinus dengan konsep yang baru. Bahwa dalam konsep baru atau yang kemudian penderitaan itu bukan kehendak Allah. Namun, keburukan itu Allah ambil dan merubuhnya dengan cara memadukan atau menggabungkannya ke dalalmNya sehingga penderitaan itu menjadi ada bersama Dia. Allah menciptakan segala sesuatu dan sesuatu itu dapat berdosa, tetapi Allah tidak pernah menghendaki sesuatu itu untuk berdosa. Dalam tataran ini kita menggantikan sesuatu itu dengan manusia bahwa Allah menciptakan manusia dan manusia dapat berdosa. Kejatuhan manusia atas dosa adalah sebuah konsekuensi atas kebebasan manusia. Namun, Allah tidak pernah menghendaki manusia untuk berdosa. Penderitan adalah sesuaatu yang terjadi di luar rancangan Allah tentang suatu dunia yang harmonis. Namun, uraian penderitaan oleh Agustinus hanya fokus pada malum morale dan malum metaphysicum. Penderitaan dalam konsep Agustinus adalah sebuah konsep penderitaan yang yang bertujuan sebagai jalan untuk bertobat.
Penulis adalah Mahasiswa Pasca Sarjana STFT Fajar Timur Abepura – Papua