(*Sdr. Vredigando Engelberto Namsa, OFM
Leibniz lahir pada tahun 1646, dan dalam usia yang sangat muda menjadi yatim piatu. Dalam usia 15 tahun dia telah masuk lingkungan Universitas Altdorf. Sebuah kota kecil di Jerman. Gagasan tentang harmoni awal yang mencerminkan optimisme bahwa kehidupan mesti dihadapkan dan diuji pada pengalaman akan penderitaan. Penghadapan ini diuraikan Leibniz dalam korespondensinya dengan Ratu Sophia Charlotte dari Perusia. Dalam korespondensi itu Leibniz untuk pertama kalinya menggunakan pengertian teodice.
Teodice berasal dari ungkapan Yunani yakni Theodicea. Kata ini berakar dari kata theos yang berarti Allah dan dike yang berarti keadilan, pembenaran, atau pembelaan dalam sebuah proses pengadilan. Sebab itu toedice berarti pembelaan Allah: hal membela Allah berkaitan n keburukan yang dialami di dunia. Teodice pernah dipakai sebagai pengganti ungkapan teologia naturalis, yakni pandangan teologis yang mengatakan bahwa manusia sanggup membuktikan Allah dari permenungannya tentang alam dengan memakai rasio alamiahnya, tanpa bantuan wahyu ilahi. Karena itu dapat dikatakan bahwa teodice sebagai sebuah cabang filsafat yang menjelaskan Allah atau filsafat ke-Tuhanan. (bdk. Paul Budi Kleden, SVD Membongkar Derita. Ledalero: Maumere, 2006, hlm.14).Dan sitz im leben dari korespondensi ini mewarnai seluruh pemikiran teodice Leibniz: berpikir dari sebuah distansi terhadap penderitaan dalam bentuk surat-menyurat dengan pihak yang berkuasa.
Leibniz berpendapat bahwa sejak awal mula Allah telah memilih untuk menciptakan dunia yang terbaik dari segala kemungkinan. Hakikat Allah adalah kebaikan, sebab itu Dia menciptakan yang terbaik (optimal). Seandainya dunia yang tercipta bukanlah dunia yang terbaik, berarti masih ada kemungkinan lain yang lebih baik. Konsekuensi dari pengandaian ini adalah: atau Allah tidak mengenal kemungkinan terbaik itu. Namun ini tidak bertentangan dengan kemahatahuannya: atau Dia tidak sanggup menciptakan yang terbaik itu tetapi ini bertentangan dengan kemahakuasaan-Nya: atau Dia tidak mau menciptakan yang terbaik itu. Ini bertentangan dengan kemahakebaikanNya. Namun, kalau yang dicipta itu adalah yang terbaik, mengapa ada sekian banyak penderitaan? Pandangan Leibniz ini mengandung dua hal penting yang perlu diperhatikan dalam pembicaraan teologis dan filosofis tentang Allah. Allah yang mahatahu, mahabaik, dan mahakuasa menciptakan dunia yang terbaik dengan catatan yang sangat penting dari segala dunia yang diciptakan. Itu berarti, hal pertama, bahwa Allah menciptakan dunia sebagai suatu kesatuan, dan dunia sebagai kesatuan itu adalah terbaik dari segala kemungkinan dunia yang dapat diciptakan.
Leibniz tidak mengatakan bahwa dunia yang diciptakan terdiri dari unsur-unsur terbaik yang dapat diciptakan, yang diciptakan secara individual dan ditempatkan di dalam dunia. Sebaliknya, Leibniz berpikir dalam suatu kesatuan. Hal ini mengandung konsekuensi bahwa hal-hal yang dapat diciptakan di dalam dunia mesti bersama-sama membentuk dunia sebagai kemungkinan terbaik. Konsekuensi dari catatan ini adalah hal kedua, yang patut kita perhatikan. Hal-hal terbaik yang mungkin diciptakan, sebab yang terbaik dapat saja bertolak belakang dengan hukum yang harus dipatuhi Allah. Hukum ini adalah keharusan untuk mengkomposisikan. Jadi, Allah menciptakan dunia yang terbaik dari semua kemungkinan yang dapat dikomposisikan.
Hal-hal yang tidak dapat dikomposisikan bukanlah kemungkinan riil bagi Allah. Sesuatu tidak dapat diperoleh tanpa menerima konsekuensi yang melekat padanya. Allah tidak dapat menciptakan sesuatu, sambil memangkas apa yang menjadi konsekuensi dari hakikat ciptaan itu. Allah sebagai kebaikan tertinggi tidak dapat bertindak sebagai diktator. Sebagai kebaikan tertinggi Dia tidak dapat membiarkan kesewenang-wenangan meluas didunia. Allah akan melawan diri-Nya sendiri sebagai kebaikan tertinggi apabila Dia bertindak bertentangan dengan hukum bebas dari kontradiksi. Allah menciptakan dunia yang terbaik dari kemungkinan penderitaan yang Dia miliki. Penderitaan yang merupakan bagian dari dunia tercipta bukanlah hasil dari ciptaan Allah. Allah membiarkan ketidakadilan moral lahir dari penyalahgunaan kebebasan manusia. Allah menciptakan kebebasan manusia dengan kebebasan tidak dapat sekaligus menutupi kemungkinan penyalahgunaan tidak dapat dikombinasikan. Namun, menurut Leibniz bahwa hanya Allah yang bebas dari penderitaan dan sanggup memberikan jalan keluar untuk menyelamatkan manusia yang berdosa.
Melihat kebaikan dan penderitaan di dunia ini bahwa kebahagiaan total lebih banyak, dan kebahagiaan dapat dicapai bila seluruh penderitaan harus dijauhkan. Tanpa penderitaan fisis, kita tidak akan mampu menikmati saat-saat bahagia hidup kita. Penderitaan seporadis yang kita alami jangan sampai menghantar kita pada sebuah kesimpulan bahwa perkembangan di dunia tidak ada gunanya.
Penulis adalah Mahasiswa Pasca Sarjana STFT Fajar Timur Abepura – Papua