Oleh: Siorus Degei
Secara resmi Pimpinan Pusat TPNPB-OPM telah mendeklarasikan bahwa bagi siapa saja bupati, DPR, Gubernur, dan pejabat publik lainnya yang mendorong dan mendukung pemberlakuan Program Pemekaran/DOB di Papua akan DITEMBAK MATI.
“Karena itu kami keluarkan peringatan keras. Kami siap perintahkan pasukan TPNPB untuk siap tembak bupati-bupati ini jika mendapat kesempatan yang baik. Jika tidak dapat kesempatan yang baik, setelah Papua merdeka, maka kami akan tangkap Anda. Karena anda mendukung pemusnahan bangsa Papua, pemusnahan bangsa kami. Kami punya hak hidup. Kami tegas,” katanya,(https://www.gatra.com/home, TPNPB-OPM Ancam Tembak Bupati Pendukung Pemekaran Provinsi Papua, Kamis, 27 Februari 2022, Pukul. 08:13 WIT).
Kendati pun demikian, rupanya salah dua Bupati di Meepagoo, khususnya Bupati Paniai dan Mimika (kemungkinan besar semua Bupati dan pejabat publik lainnya hari ini) sama sekali tidak menampik seruan pimpinan TPNPB itu, mungkin kedua bupati tersebut ketinggalan informasi sehingga mendukung Program Pemekaran/DOB Provinsi Papua Tengah, atau memang mereka tahu namun hanya pura-pura tidak tahu, atau mereka merasa akan kebal serangan TPNPB lantaran ratusan militer Indonesia melindungi.
Keduanya saling berperang mulut prihal Ibu Kota Provinsi Papua Tengah, (https://www.odiyaiwuu.com/2022/02/14/eltinus-omaleng-provinsi/, Kamis, 17 Februari 2022, Pukul. 08:34 WIT). Menurut Eltinus Omaleng, Ibu Kota Provinsi Papua Tengah harus di Kota Mimika.
“Kami sudah ketemu dengan Menteri Dalam Negeri dan timnya di Jayapura. Jadi ibu kota tetap ada di Kabupaten Mimika,” ujar Bupati Omaleng mengutip kabartanahpapua.com, Kamis (9/9/21).
Klaiman Bupati Timika ini mendapat tabrakan klaim dari Bupati Mecki Nawipa, bahwa Mecki mengklaim ia dan Bupati Meepagoo lainnya telah sepakat dihadapan Menteri Dalam Negeri, Tito Karnavian, bahwa Ibu Kota Provinsi Papua Tengah adalah Kota Nabire.
“Saya bersama Bupati Dogiyai, Deiyai, Intan Jaya, Puncak dan Bupati Nabire sepakat ibu kotanya Provinsi Papua Tengah di Nabire,” kata Meki mengutip mediaindonesia.com, Minggu (13/2).
Menurut Mecki Nawipa, Bupati Timika saja yang masih arogan dan ambisius dengan pandangannya, bahwa ibu kota Provinsi Papua Tengah di kota Mimika, padahal semua Bupati Meepagoo sepakat ibu kotanya berada di Nabire.
Kembali lagi ke Pernyataan Tegas Pimpinan Pusat TPNPB/OPM. Kita bisa menuding buta bahwa ini hanyalah ancaman dari pihak TPNPB, tapi secara serentak kita tak bisa membendung kemungkinan-kemungkinan tragis yang pasti terjadi. Para elite saat ini mesti sadar, bahwa hanya segelintir pihak saja yang mendukung Pemekaran/DOB sementara mayoritas masyarakat Papua menolak program Genosida dan Ekosida tersebut. Dan TPNPB jelas dalam komitmennya, yaitu menolak segala bentuk agenda Jakarta atau Pemerintah Pusat, Otsus, Pemekaran dan pelbagai kebijakan Jakarta lainnya, sebagimana yang sudah disampaikan oleh Mayor Jenderal Arnoldus Kocu dalam aksi pembakaran perusahaan kayu pada tanggal 1 Desember 2021 lalu, (https://www.suara.com/news/2021/12/02/142147/peringati-1-desember-tpnpb-opm-klaim-bakar-satu-perusahaan-kayu-di-papua, Kamis, 17 Februari 2022, Pukul. 10:53 WIT).
“Arnold Kocu mengatakan bahwa aksi kami ini salah satu bentuk penolakan pembangunan maupun perusahaan apapun yang beroperasi di tanah Papua,” kata Sebby dalam keteragannya, Kamis (2/12/2021).
Terlepas dari dua kotomi di muka, maka Penulis hendak menegaskan beberapa hal ikwal.
Elite Meepagoo Tidak Hargai TPNPB
Walaupun Sebby Sambon dan jajarannya sudah mengeluarkan pernyataan keras, tegas dan jelas kepada para pejabat di Papua agar tidak mendukung dan mendorong program Pemekaran/DOB. Namun lagi-lagi seruan tersebut sama sekali tidak digubris oleh Bupati-Bupati di wilayah Meepagoo; Bupati Nabire, Bupati Paniai, Bupati Deiyai, Bupati Dogiyai, Bupati Intan Jaya, Bupati Puncak dan Bupati Timika.
Jika kita tilik dan telisik secara saksama, maka sejatinya Sebby dan jajarannya telah menyentil beberapa Bupati Meepagoo.
“Kami tegas menolak. Kami peringatkan terutama para bupati di Pegunungan Tengah, di sana ada Bupati Willem Manik, di Kabupaten Puncak. Ada Spei Yan Bidana di Pegunungan Bintang, Hengki Kayame di Paniai, Dogiyai, Daiyai, Timika. Bupati Dogiyai, Yakobus Dumupa, pernah menolak pemekaran provinsi Papua Tengah. Anda-anda semua harus mengikutinya,” katanya.
Dari pernyataan Sebby di atas, tercernah jelas bahwa TPNPB sudah mengikuti gerak-gerik pejabat-pejabat Papua yang pro dan kontra program Pemekaran, dan sudah punya semacam Daftar Pencarian Orang (DPO). Ironisnya, nama bupati-bupati Meepagoo yang rakus Pemekaran/DOB terpajang jelas.
Semisal Bupati Dogiyai, Yakobus F. Dumupa, yang hari-hari ini sangat viral di media Sosial; Facebook, You Tube, dan Tik-tok. Sebelumnya, dihadapan seluruh rakyat Dogiyai, dengan tegas layaknya seorang panglima perang, secara terang-terangan beliau mengemukakan bahwa jika rakyat menolak program Pemekaran Provinsi Papua Tengah, maka dirinya sebagai Bupati akan menolak. Jadi Bupati Dogiyai, sudah mengeluarkan Statement Public bahwa dirinya bersama rakyat menolak Pemekaran Provinsi Papua Tengah pada hari Senin, 3 Mei 2021.
“Kalau masyarakat Meepagoo tolak Pemekaran, maka saya juga 100% tolak Pemekaran Provinsi Papua Tengah” Ujarnya disambut tepuk tangan massa aksi yang menuntut penutupan Miras di kabupaten Dogiyai, (https://suarapapua.com/2021/05/05/bupati-dogiyai-tolak-pemekaran-provinsi-papua-tengah/, Kamis, 17 Februari 2022, Pukul. 08:55).
Dari sini terpampang jelas bahwa Bupati Dogiyai telah meninabobokan rakyatnya sendiri, ia telah menipu rakyatnya secara habis-habisan dengan orasi kabualan yang mengecewakan.
Berkaca dari fenomena arogansi dan ambisiusnya para Bupati, khususnya para Bupati Meepagoo, untuk memekarkan Provinsi Papua Barat Daya, Provinsi Papua Selatan dan Provinsi Papua Tengah ini, sejatinya hendak menegaskan bahwa eksistensi TPNPB adalah sebuah lembaga kaleng-kaleng di Papua. Bahwa dihadapan para pejabat yang getol memperjuangkan Pemekaran Provinsi di Papua, TPNPB adalah Organisasi yang tidak punya pengaruh penting dan lebih dalam proses pengambilan keputusan besar di Papua, dalam hal Pemberlakuan Program Pemekaran atau tidak di Papua. Sehingga hemat penulis, secara tidak langsung para pejabat ini, khususnya para Bupati Meepagoo yang hari-hari ini lagi ramai membahas soal Pemekaran di Papua, sama sekali tidak menghargai dan menghormati sepak terjang perjuangan gerilya dari TPNPB di Papua. Bupati, DPR dan pejabat publik lainnya yang lagi getol, vokal dan frontal mendukung program Pemekaran/DOB ini harus segera mendapatkan perhatian tegas dari pimpinan TPNPB, baik di pusat maupun daerah berdasarkan pernyataan yang telah dikeluarkan secara resmi. Bahwa saat ini semua pejabat di Meepagoo telah masuk dalam Daftar Pencarian Orang (DPO) dari pimpinan TPNPB-OPM.
Hal ini sangat penting, yakni menegur para elite pendukung Pemekaran/DOB di Papua, sebab bila tidak, maka siklus penderitaan dan penindasan yang telah berlangsung dalam dan melalui dua provinsi hari ini, akan semakin menggurita ke daerah lainnya. Sehingga sekali lagi, sesuai pernyataan resmi Pimpinan TPNPB, para bupati Meepagoo, khususnya Bupati Paniai dan Mimika mesti mendapatkan teguran keras dari pihak TPNPB, bila perlu ditembak mati, mungkinkah?.
Belajar Dari Pejabat Jujur Yang Gugur di Papua
Hemat penulis, di sisi lain, TPNPB mesti belajar banyak dari pengalaman meninggalnya pejabat publik jujur yang melayani masyarakat Papua dengan sepenuh hati. Pejabat-pejabat ini telah mengorbankan seluruh hidupnya untuk mengabdi kepada kepentingan rakyat. Rupanya, kejujuran pelayanan seperti itu sangat tidak sejalan dengan agenda Jakarta di Papua. Sehingga secara misterius, pejabat-pejabat tersebut satu persatu pergi menghadap Sang Kahlik.
Penulis sama sekali tidak menuduh Pemerintah, dalam hal Badan Intelejen Negara (BIN), Badan Intelejen Strategis (BAIS), dan komplotannya sebagai aktor utama di balik kematian pejabat-pejabat ini. Namun, Penulis melihat ada motif yang mengindikasikan bahwa kematian para pejabat ini telah didesain atau disetting sedemikian rupa. Sehingga pada kesempatan ini penulis hendak merekomendasikan bahwa sudah sebijaknya mungkin pemerintah mengijinkan badan Investigasi Independen untuk mempelajari motif kematian para pejabat Papua yang terjadi secara misterius tersebut. Hal teramat urgen, sebab telah terbangun opini kuat dalam masyarakat Papua bahwa kematian para pejabat ini dilatarbelakangi oleh sikap mereka yang konsisten untuk membelah dan melayani masyarakat kecil daripada mengabdi kekuasaan lalim.
Kita ambil contoh kematian Wakil Gubernur Papua. Menurut Anak kandung pertama Wakil Gubernur Papua Klemen Tinal, Lidia di Rumah Duka Sentosa Jumat (21/05/2021), dua Minggu sebelum meninggal, bapaknya sempat berobat di Rumah Sakit Abdi Waluyo, Jakarta Pusat (riwayat sakitnya belum diketahui pasti), dari situ keadaannya sudah stabil. Namun tiba-tiba pada 21 Mei 2021, malam Jam 03:30 WIB, dada Wagub terasa nyeri dan segera dibawa ke rumah sakit yang sama, akhirnya beliau berpulang, diduga beliau terserang serangan jantung, (https://www.inews.id/news/nasional/wagub-papua-meninggal-dunia-diduga-akibat-serangan-jantung, Kamis, 17 Februari 2022, Pukul. 09:41 WIT).
“Tuhan berkehendak lain, semalam itu dari malam sampe jam 1 itu masih ok. Tiba-tiba jam 03.30 WIB kita bawa lari ke RS Abdi Waluyo karena bapa tiba tiba nyeri dada yg hebat,” tuturnya.
Berikut ada Bupati Yahukimo, Abock Busup, seorang pemimpin yang dikenal berintegritas dan jujur dalam menjalankan amanah rakyat sebagai kepala daerah Yahukimo. Peristiwa kematian Bupati Abock Busup ini sempat menyebabkan konflik horizontal di Yahukimo. Betapa tidak, jika kita bersandar pada kronologi yang disampaikan oleh Karo Penmas Divisi Humas Polri Brigjen Rusdi Hartono dalam jumpa pers di kantornya, Jakarta Selatan, Senin (4/10/2021), maka tertegas bahwa kematian Bupati paling jujur ini teramat sangat misterius, (https://news.detik.com/berita/d-5752836/polri-jelaskan-kronologis-kematian-abock-busup-yang-diduga-picu-rusuh-yahukimo, Kamis, 17 Februari 2022, Pukul. 09:59).
“Keterangan dari para saksi-saksi ini, tidak ditemukan kekerasan pada tubuh korban. Tidak diketemukan benda-benda lain, tidak ditemukan obat-obat pada sekitar jenazah,” terang Rusdi.
Mengapa penulis mengangkat dua isu kematian dua pejabat Papua di atas? Pertama, penulis mau menegaskan bahwa peristiwa kematian para pejabat publik di Papua yang terjadi secara misterius itu mesti segera dikupas tuntas oleh negara melalui suatu badan Investigasi yang independen dan otonom. Sebab fitrah aparat keamanan kita semakin tercoreng, TNI-Polri (BIN dan BAIS).
Kedua, ada indikasi besar berdasarkan wacana yang hangat dalam di ruang publik Papua, bahwa kematian para pejabat publik Papua yang terjadi secara misterius selama ini dilatarbelakangi oleh arogansi Jakarta atau Pemerintah Pusat, yang acuh tak acuh agendanya ditolak oleh pejabat-pejabat yang berkerja Jujur ini. Penulis tidak bermaksud menuduh pihak pemerintah pusat atau Jakarta sebagai pelaku utama atau aktor di balik kematian para pejabat publik itu, tetapi penulis hendak mengemukakan pendangan kahlayak ramai di Papua. Sehingga, agar wacana ini tidak menjadi semacam tuduhan terhadap pemerintah sebagai aktor dibalik kematian para pejabat Papua, maka sudah seyogyanya penuntasan motif kematian mereka mesti segera dilaksanakan, dan memang inilah andil dasar dari sebuah negara itu.
Ketiga, Penulis hendak mengenaskan bahwa memang pejabat yang tidak becus bekerja mesti dihukum, tetapi apakah sampai menghilangkan nyawa? Dalam hal ini penulis hendak menyoroti fenomena kematian para elite Papua yang terjadi secara misterius, jika mereka dianggap tidak becus meloloskan program nasional, mengapa mereka mesti dibunuh (ingat penulis tidak hendak menuduh pihak tertentu sebagai pelaku, tetapi penulis hendak mengangkat wacana yang selama ini dibahas di ruang bawah tanah secara diam-diam, agar semua misteri ini lekas tesingkap pasti) secara sadis seperti itu?
Berkaca dari pola pendekatan Jakarta atau Pemerintah Pusat dalam menyikapi para pejabat Papua, yang jujur dan baik di mata rakyat kecil dan bandel dan bahaya di mata negara, maka pola yang sama juga mesti diterapkan oleh Intelijen TPNPB-OPM. Bahwa semua pejabat publik Papua yang tidak becus mengakomodir kepentingan rakyat, tetapi lebih condong mematuhi komando lalim Jakarta, mesti sesegera mungkin mendapatkan teguran dan hukuman. Dalam hal ini, seperti yang telah kita teropong di muka, bahwa Bupati-Bupati yang hari-hari ini tengah mengupayakan kesusksesan Pemekaran/DOB, Otsus, KKR, dan pengadilan HAM di Papua mesti ditegur keras dan tegas. Bila perlu, jika ada pejabat yang masih laju arogan dan ambisius, maka tidak tanggung-tanggung mereka mesti ditembak mati. Kita harus tegas terhadap yang mau memperparah keadaan penjajahan dan pendudukan “Neo-Kolonialis Indonesia” di Papua. Hal ini jelas, berdasarkan temuan ilmiah Dr. Agus Samule, bahwa Pemekaran bukan untuk orang Papua, tetapi itu untuk orang non Papua, (https://opsiplus.wordpress.com/2022/02/04/akademisi-unipa-pemekaran-provinsi-akan-jadi-peluang-transmigrasi-non-papua-dalam-skala-besar-ke-tanah-papua-suara-papua-opsiin-https-bit-ly-34vhquz/, Kamis, 17 Februari 2022, Pukul. 10:19 WIT).
“Kalau wacana pemekaran ditolak dan dipertanyakan oleh orang asli Papua, maka itu artinya orang Papua merasa pemekaran provinsi bukan untuk orang Papua. Itu jelas,” tegasnya kepada suarapapua.com, Selasa (2/2/2022) di Papua, Papua.
Pilihan Alternatif Bagi Elite Pro-DOB di Papua
Lebih baik kita mencegah daripada mengobati. Belum terlambat untuk memutuskan segala sesuatunya. Para elite lokal pro-Pemekaran/DOB, Otsus, KKR, dan Pengadilan HAM di Papua bisa mengubah arah dasar posisinya hari ini, dari yang pro Pemekaran bersama pemerintah pusat, menjadi kontra Pemekaran bersama rakyat. Ada beberapa pilihan alternatif yang bisa diambil oleh mereka.
Pertama, menarik kembali semua dukungan kepada pemerintah pusat dan menolak pemberlakuan Pemekaran/DOB, Otsus, KKR, dan pengadilan HAN di Papua.
Kedua, menghargai dan menghormati eksistensi TPNPB sebagai gerilyawan nasional Papua Barat dengan turut serta konsisten menjalankan subtansi pernyataan presnya. Tidak mendukung dan mendorong Pemekaran, tetapi menolak Pemekaran, apapun risikonya (Bernasib sama dengan pejabat Papua yang meninggal secara misterius lainnya).
Ketiga, segera mendukung, mendorong, dan mendesak kunjungan Komisioner Tinggi Dewan HAM PBB ke Papua untuk segera menuntaskan kasus pelanggaran HAM berat di Papua.
Keempat, masih bertautan dengan poin nomor tiga, pemerintah mesti segera mengilegalkan kebijakan-kebijakan parsial dalam menengarai konflik Papua, seperti; Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi buatan Jaringan Kerja Rakyat Papua (JERAT Papua), Pengadilan HAM, Tim Pencari Fakta, dan resolusi parsial lainnya.
Kelima, segera desak Jakarta gelar Dialog Damai antara pemerintah Indonesia dan United Liberation Movement For West Papua (ULMWP). Selain itu, kahlayak ramai di Papua juga mesti menyambut dengan baik Agenda Ibadah Raya dari Jaringan Doa Rekonsiliasi Untuk Pemulihan Papua (JDRP2) pada 28 Februari dan Agenda Doa-Puasa selama 40 hari, 40 malam pada pertengahan Juli hingga akhir Juli 2022.
Keenam, jika lima poin di atas tidak digubris sama sekali oleh Pemerintah Republik Indonesia, khususnya kaki tangannya di daerah Papua, Gubernur, Bupati, DPR dan sejawatnya, maka amat sangat legal kepala pihak-pihak dan oknum-oknum itu ditembak Mati oleh TPNPB. Sebab sama seperti militer Indonesia yang doyan beroperasi militer di Papua, menembak, bahkan membunuh orang Papua secara membabi buta . Maka, bukan sebuah kesalahan dalam paham hukum militer suatu negara, jika TPNPB sebagai militernya bangsa Papua menembak mati semua penjahat negaranya, West Papua.
Dengan demikian, mari kita berharap saja para elite Papua, terutama Bupati Paniai dan Mimika untuk bisa menarik semua dukungannya, sebab jangan heran dan sedih kemudian jika kepala entek-entek kolonial lokal itu ditembusi bedil panas. Moga-moga.
)* Penulis Adalah Mahasiswa STFT “Fajar Timur” Abepura-Papua.