Sosok Penemu Jalan Perdamaian Manusia Papua dengan Budayanya.
Sekilas Perjalan Lieshout
Pastor Frans Lieshout lahir pada 15 Januari 1935, di Kota Montfoort-Belanda. Ia menyelesaikan pendidikan Dasar dan Menengah/Gymnasim, di kota kelahirannya hingga masuk dan bergabung dengan “Ordo Fratorum Minorum” (OFM) pada tahun 1955. Kemudian, menerima Kaul kekal dan tabisan sebagai seorang Imam/Pastor pada tahun 1962. Pada usia yang ke-28, ia meninggalkan kota kelahirannya untuk misi ke Papua.
18 April 1963, Pastor Frans untuk pertama kalinya tiba di Tanah Papua. Sejak itu, ia menghabiskan masa mudahnya, seluruh hidupnya dan karya panggilannya di Tanah Papua. Lima pulu enam tahun ia mengabdikan hidup di tanah Papua. Pada 1964-1967 ia berkenalan dengan manusia Balim-Wamena, perkenalan itu lebih intensif ketika menjabat sebagai Dekan Dekenat Lemba Balim dari tahun 1985-1996. Ia juga pernah bertugas di Bilogai (Moni-Intan Jaya), Jayapura, Biak (menjadi Pastor Paroki), Rektor pendidikan Guru dan Dekan Dekenat Jayapura. Awal tahun 2007 ia kembali ke Lemba Balim untuk menikmati masa pensiunnya, sekaligus menuliskan banyak hal tentang Papua dan Manusia Hubula. Jadi, dilihat dari konteks karya dan kehidupannya, Tanah Papua menjadi cinta pertama dalam panggilan hidupnya menjadi seorang misionaris.
Lieshout sebagai Sosok Penemu jalan perdamaian manusia Papua dengan Budaya.
Banyak buku yang ia tuliskan tentang sejarah dan nilai-nilai budaya manusia Balim-Papua. Banyak ide atau konsep kehidupan yang ia temukan berdasarkan refleksinya. Dari sekian banyak konsep itu, dalam tulisan ini, penulis menyoroti dua konsep saja yang ia menyebutkan dalam Bahasa Wamena.
Pertama, “Eyu leget awit misalaga, he yokal nokodek, ap holim palek sabokhogon hagatlaga, san en howalogo binaniginta”? yang artinya “pagar-pagar kehidupan yang mengatur kehidupan orang Balim-Papua sudah hancur, hidup ini terasa telanjang, siapa yang mengatur dan membawa kami keluar dari situasi ini?
Kedua, “Suguluk Pilamo losak” artinya “kembali ke Honai”. Konsep pertama mau mengambarkan situasi Papua dulu dan sekarang. Dalam artian berkaitan erat dengan pedoman hidup baik manusia Papua yang diwariskan oleh para leluhur dan disempurnakan oleh nilai Injil (wene hano).
Dulu kita hidup baik, sekarang sudah hancur. Pastor Frans dapat menyaksikan kehidupan situasi dulu yang baik itu hingga perubahan kehidupan saat ini di Papua-Hubula. Misalnya, dalam aspek ekonomi, dulu mencari nafkah hidup di kebun dan mendatangkan segala kebutuhan perlengkapan hidup dari kebun seperti makanan, tetapi kini kita tidak mau mengolah tanah lagi, mencari nafkah hidup hanya mengharapkan uang padahal uang juga ada di kebun; dalam aspek sturuktur kepemimpinan, dulu pemimpin memfasilitasi rakyatnya untuk berkebun, menghidupkan budaya, kesuburan alam dan juga memimpin perang yang baik dan benar tetapi sekarang pemimpin menjual rakyat dengan rupiah, tidak memfasilitasi alias domba tanpa gembala; dalam aspek sosial, masyarakat memprioritaskan nilai “nabua-habua” (kasih sayang) tetapi sekarang saling menjual, saling membunuh, dan saling tidak suka; aspek budaya, dulu masyarakat suka hidup dalam budaya karena budaya seakan-akan melindugi dan menghidupkan mereka, tetapi sekarang kita melepaskan budaya, bahkan merasa budaya sudah asing lagi; dan dalam aspek agama, dulu nenek moyang tau dalam ritual adat, saat acara pasti ada persembahan untuk sang pencipta tetapi sekarang barangkali kita mengabaikan.
Pastor Frans mengajak kita untuk melihat dan merefleksikan kembali kehidupan situasi dulu dan realitas kehidupan sekarang. Kenapa dulu kita hidup baik tapi sekarang kita punya kehidupan semakin hancur? Kenapa kita semakin terancam? Kenapa kita semakian diabaikan oleh dunia? Kenapa kita selalu hidup dalam situasi buruk? Kenapa Papua selalu menangis dan lain sebagainya. Dengan konsep dan pertanyaan diatas, penulis merefleksikan bahwa kita manusia Papua sudah dan telah melepaskan budaya, tidak mau hidup lagi dengan budaya, tidak mau memegang pedoman hidup baik, sudah melupakan leluhur, sudah lupa mama “tanah”, merasa asing dengan Bahasa daerah, dan lain sebagainya alias kebingungan.
Melihat dari latar belakang situasi yang demikian, Pastor Frans menemukan jalan perdamaian dengan budaya, leluhur, pedoman hidup dan tanah itu sebuah istilah “Kembali ke Honai”. Kembali ke honai bukan berarti kita memakai busana adat, mengembalikan situasi kehidupan dulu tetapi yang dimaksudkan adalah kita semua bersama-sama membangun pagar kehidupan yang sudah rubuh.
Membangun pagar kehidupan berarti membangun kembali nilai-nilai budaya yang ada, membuat leluhur senang dengan melestarikan alam lingkungan, menjaga tanah, mengelolah tanah (bukan menjual), dan bersatu untuk Papua. Kita sudah saksikan situasi sekarang, maka membagun kesadaran dalam harapan yang besar, optimisme yang kuat, karena kita memiliki great power untuk mebangun Papua.
Papua kita orang kulit hitam dan keriting rambut punya bukan siapa-siapa. Artinya, kitalah yang terlebih dahulu membangun kesadaran bukan orang lain yang datang menyadarkan kita. Pastor Frans sudah menunjukkan jalan kehidupan baru dengan memberikan pesan terakhir “Hiduplah Papua”. Mari kita membagun Papua dalam berbasis budaya. Editor: Siorus Degei
Penulis adalah Lewi Pabika Mahasiswa Sekolah Tinggi Filsafat Teologi, Fajar Timur, Abepura-Jayapura
*bersambung……….*