(Refleksi Atas KTTG20 Bali)
Penulis sengaja mengangkat evolusi dan historitas penamaan Papua di atas ini sebab seperti pepatah Yunani Kuno “Nomen Est Omen” yang berarti nama adalah tanda atau dalam Filsafat Tiongkok Kuno Nama memiliki peran dan fungsi yang besar dalam memahami dan memaknai kehidupan. Sebab setiap perubahan nama Papua menyisipkan peristiwa dan sejarahnya lika-likunya tersendiri.
Gagasan di Balik Peristiwa atau Ide di belakang sejarah selalu membayangi dan menghantui perabadan Papua. Bahwa hal subtansial, esensial, fundamental dan eksistensial yang hendak penulis ketengahkan dan pertegas ke hadapan publik adalah bahwa Papua itu suatu atau sebuah “Piala Dunia” berharga, bernilai, dan bermakna bagi bangsa-bangsa besar di dunia.
Bahwa Papua adalah latar belakang dari negara-negara yang ngotot dan Keukeh sebagai yang adikuasa, adidaya dan super power di dalam kancah pertarungan politik, ekonomi, sosial dan dimensi kehidupan global lainnya, semisal Amerika, Jerman, Belanda, China, Jepang, Rusia, Inggris dan lainnya.
KTTG20 : “Turnamen Investasi” Demi “Trofi SDA Papua”
Konferensi Tingkat Tinggi Kelompok 20 atau KTTG20 adalah kelompok yang terdiri dari 19/20 negara dengan perekonomian besar di dunia ditambah dengan satu organisasi antarpemerintah dan supranasional yaitu Uni Eropa.
Secara resmi, G20 dinamakan The Group of Twenty (G20) Finance Ministers and Central Bank Governors atau Kelompok Dua puluh Menteri Keuangan dan Gubernur Bank Sentral.
G20 merupakan forum internasional yang fokus pada koordinasi kebijakan di bidang ekonomi dan pembangunan. G20 merepresentasikan kekuatan ekonomi dan politik dunia, (https://id.wikipedia.org/wiki/G20, 16/11/2022).
Seperti sudah kita bahas dan gubris di atas bahwa sebenarnya selain turnamen sepakbola dunia yang empat hari kedepan akan digelar, konflik kepentingan ekonomi-politik di Papua yang mempertemukan 56 negara adidaya di dunia dalam pertemuan G20 di Denpasar, Bali.
Sejatinya hal di muka merupakan manifestasi konkrit dari sebuah “turnamen investasi” atau “olimpiade kepentingan ekonomi-politik” negara-negara adidaya dunia yang notabenenya secara defacto dan dejure berotak, berwatak dan berkedok “Kotak Pandora” Neo-kolonialisme, Neo-kopitalisme, Neo-Imperialisme, Neo-feodalisme, Neo-liberalisme dan “Neo-kanibalisme”.
Warga negara Indonesia mungkin bertahun-tahun atau mungkin berabad-abad lama senantiasa “bermimpi basah” bahwasanya Indonesia akan masuk dalam kandidat Piala Dunia. Namun sayangnya, seperti hakekatnya sebuah mimpi siang bolong, hal tersebut tak kunjung tiba dan terjadi dalam lembaran sejarah peradaban bangsa Indonesia.
Indonesia hanya tercatat sebagai negara paling “udik, mati viral, dan mati naik daun” di ruang digital di kala euforia Piala Dunia mulai menghangat dan memanas bersemi, padahal negara-negara kandidat Piala Dunia hanya duduk manis tanpa terlalu “berkoar-koar”, bahkan bertumpahan darah dan nyawa layaknya potret antusiasme Indonesia mania.
Kendati pun demikian, sebenarnya dalam konteks Papua sebagai “Piala Dunia”, tidak terpungkiri bahwa Indonesia merupakan satu-satunya negara yang konsisten selalu hadir dalam setiap laga “turnamen investasi” dan atau Pekan “olimpiade kepentingan ekonomi-politik” negara-negara kapital-kolonial di Papua.
Namun yang sangat disayangkan di sini adalah bahwa walaupun selalu masuk dalam dominasi “perhelatan perampokan SDA Papua” toh Indonesia tetap saja berada di posisi paling bawah dalam “kelasemen-kelasemen” negara perampok paling terbaik di Papua.
Amerika, PBB, Belanda, dan Vatikan-Roma senantiasa tampil sebagai Championship atau Sang Juara sebagai “Perampok Terbaik” sepanjang sejarah eksploitasi, eksplorasi, dan ekstraksi sumber daya alam Papua, Indonesia hanya menjadi “Sapi perahnya” atau “bidak budaknya”.
Di tahun ini Indonesia mendapatkan penghargaan dan penghormatan sebagai presiden KTTG20 di Denpasar Bali. Seperti halnya Qatar, yang menjadi Tuan Rumah Piala Dunia 2022. Indonesia juga terpilih sebagai Tuan Rumah “Piala Dunia Emas Papua”, bahkan kali ini tidak seperti dulu lagi.
Kini seperti halnya trofi piala dunia yang sudah berganti dari Piala Jules Rimet ke FIFA World Cup Trophy lantaran Piala Jules Rimet sudah hilang lantaran dicuri orang. Trofi “Piala Dunia Emas Papua” juga sudah berganti, sebab menjadi “Piala Torium, Uranium, Titanium, Timah Hitam, Nikel Berlian, dan Cobalt” lantaran “Piala Dunia Emas Papua” itu sudah hilang dan nihil lantaran dirampok secara radikal, brutal dan fatal oleh negara-negara adidaya secara legal maupun ilegal. Bahwa selain itu ada juga trofi tambahan lainnya seperti trofi “Minyak Sawit, Karet, Coklat, Kopi, Gaharu, Kayu, Ikan, Laut dan Hutan”.
Disposisi OAP: Penonton, Pemain atau Wasit?
Kira-kira dalam laga “turnamen investasi” atau Pekan “olimpiade kepentingan ekonomi-politik” yang mengkonfrontasikan dan mengkompetisikan 56 negara G20 dalam merebut Trofi “Piala Dunia SDA Papua” apa disposisi ideal yang semestinya dan seharusnya ditampilkan oleh Orang Asli Papua? Apakah orang asli Papua mesti tampil sebagai penonton, pemain atau Wasit?
Pertama, jika orang Papua menjadi penonton itu berarti orang asli Papua hanya duduk, diam, dengar, lihat, kadang-kadang marah, stress, depresi dan “baku pukul sendiri”.
Atau orang asli Papua akan menjual tanah, hak ulayat, hutan, laut, rawa, sungai, gunung, tambang, sawit, emas, dan semua sumber kekayaan alamnya hanya untuk membeli tiket, karcis, pulsa paket untuk bisa menyaksikan secara langsung “turnamen investasi” yang mempertemukan negara-negara perampok handal, terkenal dan fenomenal.
Kedua, jika menjadi pemain, maka ada beberapa posisi sentral yang mesti dikuasai dan didominasi oleh orang asing Papua sendiri tanpa teralienasi oleh oknum dan pihak luar;
1). Kiper/Penjaga Gawang, OAP mesti dan wajib hukumnya untuk mampu menjaga, melindungi, mengayomi, merawat, dan memproteksi sumber daya alam, seperti tanah, hutan, gunung, bukit, Lembah, Sungai, kali, rawa, muara, Pantai, Laut, Minyak, Gas, Tambang, Batubara, dan lainnya.
Orang asli Papua juga mesti mampu untuk secara mandiri untuk menjaga diri, keluarga, marga, wilayah adat, dusun, kampung, Distrik, kabupaten, Provinsi, Suku, adat/budaya, Agama lokal, Ras, Gender, Bahasa dan seluruh rakyat bangsa Papua dengan nasionalisme dan patriotisme kepapuaan yang kental dan puritan.
Dalam konteks laga merebut trofi “Piala dunia SDA Papua” itu bangsa Papua diharapkan untuk tidak menjual atau membeli tanah, hidup dari hasil olah atau produksi tanah dengan cara berkebun, bertani dan berternak seraya menolak pembangunan jalan, tian listrik, Telkomsel, jaringan, bandara, dan pelabuhan;
2). Pemain Belakang, orang asli Papua mesti secara konsisten, disiplin, ketat, konsen, dan bertanggung jawab untuk menjalankan tugas dan tanggungjawabnya untuk memastikan bahwa produk, proyek dan target spiritsida (Pemusnaan Mental Spiritual), etnosida (Pemusnahan Kebudayaan), genosida (Pemusnahan Kemanusiaan) dan ekosida (Pemusnahan Ekologi) tidak lolos, pupus, gagal dan nihil terealisasi dan terimplementasi di seluruh teritori tanah Papua;
3). Pemain Tengah, orang asli Papua secara mendesak dipanggil untuk bisa saling mengkader antara satu dengan yang lain, antara satu budaya dengan budaya lain, satu suku dengan suku lain, satu wilayah adat dengan wilayah adat lain, satu Agama dengan Agama lain, dan lainnya secara proporsional dan profesional.
Semisal, dalam konteks laga “turnamen investasi KTTG20” orang asli Papua mesti mampu saling mendukung, bahu membahu, bersama, bersatu, bergerak, berjuang, melawan dan merebut kemenangan, yakni kemerdekaan;
4) Pemain Samping (kiri-kanan), orang asli Papua diharapkan untuk bisa secara jeli, gesit dan lincah untuk bisa membaca peluang-peluang dan menghasilkan terbosan-terobosan yang baru.
Semisal dalam konteks “turnamen investasi KTTG20” di Papua ini orang asli Papua dipanggil untuk bisa membaca potensi-potensi bencana yang akan datang dan segera mencari jalan keluarnya;
5). Pemain Depan atau Penyerang, orang asli Papua diharapkan untuk tampil gagah, berani, frontal, radikal, dan vokal untuk mencetak gol kebenaran, keadilan dan kedamaian bagi alam, leluhur dan Tuhan bangsa Papua.
Semisal, dalam konteks perhelatan merebut “Piala Dunia SDA Papua” orang asli Papua mesti berani untuk mengelabuhi semua lawan, tantangan, hambatan, gangguan, ancaman dan godaan baik dari dalam maupun dari luar dan maji dengan gagah berani untuk mencetak gol-gol kemerdekaan bagi bangsa Papua merdeka dan berdaulat.
Ketiga, jika menjadi wasit. Sebagai Wasit orang asli Papua kadang-kadang bersikap abu-abu atau netral. Tidak memihak dan memposisikan diri sebagai penonton dan pemain.
Namun yang jelas Wasit mempunyai peran dan andil yang fundamental, seperti memastikan proses permainan itu berjalan secara jujur, adil, sportif, dan humanis.
Ada dua tipe Wasit biasanya, yakni jujur dan tidak. Kebanyakan Wasit selalu tampil jujur dan bijaksana, namun yang tidak sedikit juga yang bersikap tidak jujur dan bijaksana, senantiasa ceroboh dengan sengaja.
Sehingga wasiat itu selalu menjadi posisi yang netral dan dilematis. Namun, perlu dipahami bahwa netral yang dimaksudkan di sini juga mesti jelas yakni berpijak dan berpihak pada pihak yang lemah, papa, kecil, sakit dan miskin. Maka, wasiat adalah para pejuang dan penjaga nilai-nilai universal, seperti kebijaksanaan, kebaikan bersama, kebahagiaan bersama, keadilan dan kedamaian.
Kurang lebih demikianlah beberapa hal ihwal yang terlintas dalam pikiran dan nurani penulis ketika menyikapi situasi dan kondisi yang terjadi di Papua ini. Terlebih ketika melihat dan merefleksikan potret realitas, fenomena dan panorama Papua dalam hiruk-pikuk KTTG20 Bali dan respon mahasiswa dan rakyat Papua atas.
Sekaligus juga fenomena antusiasme dan euforia Piala Dunia yang tinggal tiga hari lagi itu. Bahwa penulis menegaskan agar daripada energi, tenaga, jasa, pikiran, dan daya tahan serta materi fisik dan psikis bangsa Papua terbuang sia-sia hanya untuk “masalah rumah tangga orang lain” melalui euforia Piala Dunia yang terjadi secara tempo dalam rangka meloloskan agenda-agenda kepentingan ekonomi global melalui KTTG20 Bali di Papua.
Sudah sebaiknya sedini mungkin bangsa Papua juga sibuk, resah dan gelisah dengan “masalah rumah tangganya sendiri”, yakni laga “turnamen investasi” dan Pekan “Olimpiade Kepentingan Ekonomi-politik” global dalam merebut trofi “Piala SDA” guna keluar dari cengkeraman resesi ekonomi pada 2023 yang sedang menanti.
Penulis Adalah Siorus Degei Mahasiswa Sekolah Tinggi Filsafat-Teologi “Fajar Timur”, Abepura-Papua.
Sumber
BOBII SELPIUS. 2020. Bergulat Menuju Negara Suci Papua. Port Numbay; Wirewit Study Centre.
ALUA ALUE AGUS. 2000. Papua Dari Pangkuan Ke Pangkuan. Abepura-Papua; Biro Penelitian STFT Fajar Timur
Aditor: Admin