(Refleksi atas KTTG 20 Bali)
Kini tinggal tiga hari lagi, di tahun 2022 laga olahraga terbesar, Piala Dunia itu juga kembali digelar di Qatar, Uni Emirat Arab yang akan berlangsung pada 20 November – 18 Desember 2022. Akan ada 32 Tim dari 32 negara yang bertanding untuk menjadi yang terbaik di atas karpet hijau dunia sepakbola global.
Antusiasme, hiruk-pikuk, gegap-gempita dan euforia menyongsong Piala Dunia tersebut sepertinya sudah menjadi suatu virus serta bius habitus dan habitat tersendiri bagi warga jagat raya.
Tidak mau ketinggalan, Indonesia juga menjadi negara yang sepertinya paling “seksi sibuk” untuk menyambut pesta olahraga sepakbola dunia yang berlangsung setiap empat tahun sekali itu.
Fakta, realita dan data kesemarakan warga Indonesia itu termanifestasikan dalam beragam rupa, seperti hiasan rumah, hiasan kompleks, hiasan jalan, Mall, Kota dan fasilitas umum, konten media sosial (FB, IG, TIK-TOK, You Tube, Tweetter, Messenger, Email) lainnya.
Rupanya, menjelang Piala Dunia ini bisnis atribut, busana, ornamen, hiasan, bingkai dan simbol-simbol Piala Dunia, terutama materi-materi bermotif Bendera Kebangsaan Negara Kebanggaan sangat laris manis di Pusat-pusat perniagaan dan perbelanjaan baik online maupun offline.
Hal ini membuktikan bahwa Piala Dunia itu menjadi sesuatu yang sangat sakral dan mahal sekali harganya jika tidak dirayakan.
Fenomena antusiasme dan euforia Piala Dunia juga bukan menjadi hal asing dan baru di Papua. Seperti halnya daerah lainnya, rupanya Papua juga menjadi daerah yang paling ribut, cerewet dan seksi sibuk dalam urusan Piala Dunia.
Hal ini memang tidak bisa dipreteli oleh siapa dan apapun, namun yang menjadi ironi di sini adalah bahwa sepertinya euforia dan antusiasme Piala Dunia di Papua pontensial menopang taktik, teknik dan strategi pemerintah pusat dalam melokalisir dan menihilisir kompleksitas problematika Papua.
Dengan kata lain Piala Dunia dapat menjadi salah satu provokasi isu dan wacana untuk meloloskan mou-mou atau konsesus-konsesus konspiratif ekonomi politik yang sudah disepakati Indonesia bersama negara-negara Neo-kolonialis, Neo-kolonialis, Neo-Feodalis dan Neo-liberalis di Papua dalam KTTG20 Bali yang sukses berlangsung alot itu.
Bahwa penulis hendak mengetengahkan suatu sendi dan pondasi referensi dan refleksi kolektif, komunal dan kolegial kepapuaan bahwa sejatinya Piala Dunia Yang sebenarnya itu adalah Papua itu sendiri sebagai “Pulau Emas, Tembaga, Uranium, Torium, Titanium, dan Cobalt”.
Sejarah Singkat Piala Dunia
Piala Dunia adalah kompetisi terpenting dalam dunia sepakbola internasional. Penyelenggara dari Piala Dunia adalah Fédération Internationale de Football Association (FIFA) alias badan internasional yang menetapkan berbagai hal tentang sepakbola dan induk asosiasi sepakbola negara-negara dasejarah Piala Duni.
Sejarah Piala Dunia berkaitan dengan situasi politik dan ekonomi negara-negara yang terlibat dalam Perang Dunia I dan Perang Dunia II.
Fakta lain menyebutkan bila Piala Dunia bukanlah kejuaraan sepakbola internasional pertama melainkan Olimpiade yang terselenggara pada tahun 1908.
Ide kejuaraan sepakbola dunia baru tercetus pada tahun 1904 di Paris saat Kongres I FIFA dan baru terlaksana pada tahun 1928. Presiden FIFA, Jules Rimet dan rekannya Henri Delaunay memutuskan untuk melaksanakan ide tersebut dan setahun kemudian FIFA resmi menyelenggarakan Piala Dunia yang berlangsung setiap empat tahun sekali, (https://www.google.com/Piala+Dunia, 16/11/2022).
Uruguay merupakan negara pertama yang menjadi tuan rumah Piala Dunia usai diputuskan pada Kongres FIFA pada 17-18 Mei tahun 1929 di kota Barcelona, Spanyol. Piala Dunia pertama berlangsung dari 13-30 Juli 1930 yang diikuti oleh 13 negara. Mereka terdiri dari 6 negara Amerika Selatan, 5 Eropa dan 2 dari Amerika Utara.
Trofi Piala Dunia merupakan trofi emas yang diberikan kepada pemenang Piala Dunia FIFA. Jules Rimet Trophy adalah hadiah asli untuk negara yang memenangkan Piala Dunia Sepakbola. Trofi yang digunakan sejak awal Piala Dunia ini dikabarkan hilang pada tanggal 19 Desember 1983 karena dicuri.
FIFA World Cup Trophy, Untuk menggantinya akhirnya diperkenalkan Trofi Piala Dunia pada tahun 1974. Trofi ini dibuat dari emas 18 karat dengan dasar perunggu yang menggambarkan dua sosok manusia memegang Bumi,(https://www.google.com/sejarah+piala+dunia&oq=sejarah+piala+dunia, 16/11/2022).
Papua Sebagai “Piala Dunia”
Lama sekali pulau Papua disebut “Terra incognita” artinya tanah yang tidak dikenal. Berikut hendak dipaparkan beberapa nama awal-awal yang diberikan oleh “orang luar” untuk Papua.
Pertama, Labadios, belum diketahui artinya, diberikan oleh seorang pakar geografi bernama Klaudius Ptolemaeus pada 200 sesudah Masehi.
Kedua, Samudrata atau Dwi Panta, artinya ujung Samudera atau Ujung Selatan, diberikan oleh para pedagang dan pelaut Persia, dan Gujarat India pada abad VII-VII Sesudah Masehi.
Ketiga, Tungki, diberikan oleh navigator dan pedagang China, Ghau Yua Kua.
Keempat, Janggi, sebutan para pedagang dan pelaut Sriwijaya, pada abad VIII.
Kelima, Os Papuas, diberikan oleh Antonio d”Abraw pada 1511. Dan, Ilha de Papo Ia, diberikan Francesco Serano pada 1521.
Keenam, Papua, diberikan oleh seorang Portugis bernama Don Jorge de Menetes.
Ketujuh, Papa Ua, diberikan oleh orang Tidore yang artinya “Anak Piatu Yang Tidak Bergabung” atau “Tidak Bersatu”. Dalam Bahasa Melayu, Pua Pua, artinya Keriting.
Kedelapan, Isla del Oro (Island of Gold), artinya Pulau Emas, diberikan oleh Alvaro de Savedra, seorang pelaut Spanyol pada 1528.
Kesembilan, Nueva Gunea, diberikan oleh pelaut Spanyol bernama Ini Go Oertis de Retes karena penduduknya memiliki kemiripan dengan penduduk Guinea di Afrika Barat. Dalam bahasa latin dikenal dengan nama Nova Guinea.
Kesepuluh, Irian, diberikan oleh Frans Kaisiepo, Corinus Krey dan Yan Waromi pada 1945. Irian berasal dari bahasa Byak yang berarti “Tanah Panas”. Namun sejatinya di balik penamaan ini terbesit sebuah kepentingan doktrinasi dan Indonesiasi Papua, bahwa Irian adalah akronim dari Ikut Irian Anti Nederland.
Hal ini tidak terlepas dari lobi-lobi doktrinasi anak-anak muda Papua yang dilakukan oleh Soegoro Atmoprasodjo, seorang Tapol Pejuang Indonesia yang dibuang ke Boven Digul, namun berhasil kabur ke Australia, dan dipercayakan untuk menjadi direktur di Sekolah Pamong Praja di Kota NICA (Kampung Harapan, Sentani) demi pelolosan misi Aneksasi 1962 dan PEPERA 1969, (Alua, 2000; 17). Hal terbukti dengan adanya tekanan untuk menyebut Irian dalam salah satu pilihan bebas pada saat PEPERA berlangsung.
Kesebelas, Nederlands Nieuw Guinea, diberikan oleh Pemerintah Belanda Nasional Papua pada 1951. Papua Barat, diberikan oleh Komite Nasional Papua pada 1961. West Nieuw Guinea diberikan oleh Pemerintah Sementara PBB (UNTEA) pada 1962.
Kedua belas, Irian Barat, diberikan oleh Marthen Indey dan Silas Papare pada 1963. West Papua, diberikan oleh Pemerintah Indonesia pada 1971, kemudian diganti dengan nama Irian Barat.
Ketiga belas, Irian Jaya, diberikan oleh Presiden Suharto pada 1974. Papua Barat, diberikan oleh David Heremba. Melanesia Barat, diberikan oleh Thomas Wanggai pada 1988, namun masih tetap dipakai Irian Jaya.
Keempat Belas, Papua, diberikan oleh Presiden Abdurrahman Wahid alias Gus Dur pada 1999, (Bobii, 2020; 5-6).
Dari 14 (Empat Belas) kali pergantian dan perubahan nama Papua secara evolusif dan historis di atas ini terlihat sekali bahwa sudah sedari awal pula Papua itu menjadi perimadona di mata para bangsa-bangsa besar.
Bahwa bukan baru Papua itu menjadi “Kanaan” dan “Taman Eden” di mata para kapital, kolonial, feodal, dan liberal, singkatnya para mafia dan genster ekologis dan humanis sejak kontak dan kontrak awal-awal hingga detik ini Papua selalu menjadi “Surga Kecil” yang senantiasa diburu oleh para Iblis dan Lucifer para konglomerat global, nasional dan lokal.
Penulis Adalah Siorus Degei Mahasiswa Sekolah Tinggi Filsafat-Teologi “Fajar Timur”, Abepura-Papua.
Editor: Admin