OTSUS JILID II: Malapetaka bagi Eksistensi Manusia dan Alam Papua
Oleh: Florentinus Tebai)*
Sejak dahulu hingga kini, terlrbih khusus selama Otsus berlaku di tanah Papua, Pemerintah Indonesia (Selanjutnya baca Jakarta) mengklaimnya bagi bangsa Papua bahwa Orang Asli Papua (Selanjutnya baca OAP) itu, bodok, bau, terbelakang, KKB (Kelompok Kriminal Bersenjata), Teroris, aniing, babi, Monyet dan Sampah. Sikap dan kelakuaan inilah yang sudah terbangun dan tertanam dalam Negara Kesatuaan Republik Indonesia (NKRI). Ringkasnya bahwa perlakukan diskriminatif dan budaya rasis terhadap OAP masih subur terjadi di Wests Papua (Papua Barat).
Tidak hanya itu, pelanggaran HAM di seluruh antero tanah Papua menjadi sorotan Internasional. Artanya bahwa tanah yang dijuluki sebagai tanah damai, indah, memiliki kekayaan sumber daya alam (SDA) melimpah, elok, dan nan mempesona itu (Tanah Papua) telah ditumpangi oleh beragamam tulang-belulang korban pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) di tanah Papua. Banyak pihak menilainya bahwa di erah otus yang merupakan solusi semua persoalan sosial Politik, Ekonomi, Pendidikan, Kesehatan, Budaya, dan Pelanggaran HAM di tanah Papua, tetapi pada realitasnya, implementasi UU Otsus No 21 Tahun 2001 tidak dapat menyelesaikan beragam persaolan mendasar HAM di tanah Papua. Justru, Otsus menjadi gula-gula manis bagi OAP di atan tanah Papua. Karena, implementasi Ostus tidak menjawab semua persoalan mendasar secara maksimal (Menyeluruh) di atas tanah Papua. Otsus justru mendatangkan malapeta bagi kehidupan OAP dalam segala aspek kehidupan di tanah Papua.
Diantaranya seperti yang terjadi dalam bidang Pendidikan (Minimnya kesediaan sarana dan prasarana serta fasilitas Pendidikan yang kurang memadai, tenaga guru yang tidak berpotensial, angka butah huruf yang tinggi), Kesehatan (Sarana-prasara, serta fasilitas rumah sakit yang minim, tenaga medis, tenaga dokter, kurannya pelayanan protein, dan angka kematiaan bayi dan anak serta dewasa yang paling tinggi) terus terjadi di tanah Papua.
Dalam bidang ekonomi, walau terkesan bahwa tanah Papua dikenal sebagai tanah yang subur, memiliki tenaga dan kesediaan sumber daya alam (SDA) yang paling kaya dan menjadi paru-paru dunia, tetapi realitas (Kenyataan) hidup orang Papua, masih jauh dari harapan dan kerinduaan untuk mendapatkan kehidupan yang layak di atas tanah warisan leluhur OAP di atas tanahnya sendiri (Tanah Papua). Angka kemiskinan yang paling tinggi dan dominan di Indonesia adalah di tanah Papua. Walau, OAP telah mendapatkan Otsus sebagai solusi atas persoalan ekonomi (Demi Kesejahteraan dan Kemakmuran), tetapi pada kenyataannya Otsus yang berlalu di tanah Papua hanya menjadi sebuha slogan. Otsus tidak menjawab persoalan kebutuhan ekonomi dan persoalan mendasar lainnya bagi OAP di tanah Papua.
Dalam bidang sosial-Politik, OAP tidak mendapatkan kedudukan penting di tempat-tempat strategis dalam birokrasi pemerintahan di tanah Papua. Justru OAP disingkirkan dan semakin termarjinal atas nasib dan harapan hidup dalam birokrasi pemerintah. OAP semakin tidak dihargai akan harkat dan martabatnya sebagai manusia yang bermartabat dan berbudi luhur di atas negerinya. Artinya bahwa OAP semakin sampah di atas negirinya dan bukan menjadi tuan di atas tanah warisan leluhurnya yang penuh dengan susuh dan madu.
Dampak lainnya, juga disebabkan oleh adanya konflik kerusakan lingkungan hidup yang masih terus terjadi di tanah Papua. Misalnya, PT. FI (PT. Freeport Indonesia) yang sedang beroperasi di Timika-Papua. Sejak berlakukanya kotrak kerja PT. FI pada tahun 1967, dan beroperasi sejak tahun 1991, PT FI telah merusak ekosistem di wilayah kamorao. Hutan Sagu, beserta keanega ragam hayati lainnya telah membawa dampak buruk bagi kehidupan Orang Asli Kamoro di tanah Kamoro. Babi hutan, sagu, ikan, dan beragam jenis binatang lainnya telah dihancurkan oleh limbah talling buatan PT FI di wilayah kamoro. Akibatnya, Orang Kamoro pada khsusunya dan Orang Papua pada umumnya semakin termarjinal di atas tanah hak ulayatnya.
Apa arti semuanya ini? Semua bentuk dinamika persoalan yang sudah dan sedang dihadapi oleh OAP di atas tanah Papua merupakan sebuh penderitaan, luka batin, dan kekecewaan yang sudah dan sedang di alami oleh OAP di atas tanah Papua. Semua HAK-HAK dasar hidup OAP telah dirampas, ditindas, dan diambil oleh orang lain demi kepentingan elit politik dan kepentingan lainya. Akibatnya, rakyat Papua yang tidak bersalah sudah dan sedang menjadi korban kekerasan, penindasan, dan menderita di atas tanah warisan leluhur alam bangsa Papua.
Akhirnya diharapkan, supaya semua pemangku kepentingan, terkhusus pemerintah dan Gereja serta lembaga-lembaga pendidikan keagamaan, Yayasan, dan lainnya yang berkarya di tanah Papua, mempunyai peranan penting dalam menyuarakan situasi krisis identitas kemanusiaan dan alam di tanah Papua. Dalam hal ini, Gereja Universal dan denominasi Gereja Lokal lainnya yang berkarya dan berdiri secara independen (Sendiri) untuk membela dan menyuarakan terus atas krisis dan identitas harkat, martabat, kebenaran dan kedamaiaan serta kebahagiaan di bumi pada umumnya dan di tanah Papua pada khsusunya.
Gereja di tanah Papua, mempunyai tanggungjawab besar untuk terus menyuarakan, mengangkat segala bentuk penderitaan, ratapan, dan keriduaan atas persoalan kemanusiaan di tanah Papua sudah sejak dini dilakukan dan ditindak lanjuti. Kiranya, krisis identitas OAP pada masa kini menjadi tantangan Gereja sendiri atas dinamika persoalan HAM di tanah Papua. Untuk menyelesaikan persoalan segala persoalan di tanah Papua, Jakarta mesti membuka mata hati dan terbuka serta berdialog bersama ULMWP sebagai representasi perjuangan politik OAP di tanah Papua.
Jika otsus menjadi malapetaka, maka solusinya adalah Jakarta mesti membuka ruang Dialog Damai (Jakarta-Papua) yang dimotori oleh JDP (Jaringan Damai Papua) bagi West Papua, dan bukan Jakarta meluncurkan beragam bentuk program lainnya, seperti program “Kita Cinta Papua”, Otsus Jilid II, Pemekaran DOB (Provinsi dan Kabupaten, Pengiriman Personil TNI dan pembanguna Kodim-Kodam, dll, di tanah Papua), sebagai jawaban atas persoalan sosial politik di tanah Papua. Jawaban persoalan sosial politik di tanah Papua adalah, Jakarta mesti membuka ruang dialog bersama ULMWP bagi bangsa Papua, sehingga dengan begitu, visi Papua “tanah damai” pun terbuka lebar.
)*Penulis adalah Mahasiswa dan Anggota Kebadabi Voice Group di STFT “Fajar Timur”, Abepura, Jayapura, Papua.