Mengimpikan pendidikan ala Freirean di Papua
(*Oleh: Marius Goo
PENDIDIKAN di Papua terlihat cukup memprihatinkan. Kesadaran rakyat Papua untuk pendidikan pun masih terlalu minim. Ketika memahami lebih jauh proses pendidikan, terlebih niat orang Papua berpendidikan, tidak lain hanya demi nilai, hanya demi ijazah. Sistem pendidikan yang dijalankan ini tidak salah, karena Indonesia mencetak sistem yang demikian. Sistem pendidikan Indonesia bukannya membuat pelajar (mahasiswa) berinovasi, berkreasi, namun hanya tunduk pada peraturan pendidikan yang kaku, bahkan membodohi. Pendidikan Indonesia yang diskriminatif terhadap rakyat Papua, membuat rakyat Papua korban dan terus berada dalam kebodohan sepanjang zaman.
Dalam situasi ini, rakyat Papua, khususnya mereka yang telah mengenakan label pengajar (guru), harus mampu membenahi diri (mengenal diri) untuk membenahi sekolah, atau para siswa. Di mana para siswa kelak menjadi pribadi yang berkarakter, yang bisa berinovasi, berkreasi dan menjadi pembebas bagi bangsanya sendiri. Dalam usaha ini, Paulo Freire menjadi seorang tokoh pendidikan kritis yang dapat kita jadikan sebagai sokoh guru. Bagaimana konteks pendidikan Papua? Siapa Paulo Freire? Bagaimana membangun pendidikan ala Freire di Papua? pertanyaan-pertanyaan ini akan menjadi ulasan dalam tulisan ini.
Pendidikan di Papua
Ketika kita melihat pendidikan di Papua, hampir semua jenjang pendidikan dijalankan karena paksaan, terpaksa. Para pendidik mengajar karena paksaan, apa lagi siswa belajar juga karena paksaan. Karena katerpaksaan ini, sistem pendidikan yang dijalankan juga secara paksa. Pendidikan sebagai jalan menuju kemerdekaan, pendidikan sebagai jendela dunia, pendidikan sebagai bentuk pembebasan, pendidikan sebagai bentuk penyelamatan tubuh dan jiwa, masih belum dipahami secara baik. Bukti sistem dan praktek pendidikan yang dijalankan secara terpaksa adalah:
Pertama, pemerintah (dinas terkait) belum secara serius menangani konflik-konflik yang terjadi dalam bidang pendidikan. Misalnya, tidak memberikan teguran kepada pengajar (guru) yang tidak mengajar serius (malas-malas), malas tahu dengan sekolah-sekolah yang tidak menjalankan Kegiatan Belajar Mengajar (KBM) secara efektif, tidak melakukan monitoring untuk semua sekolah terkait sarana-prasarana, sering menjadikannya sebagai lahan bisnis.
Kedua, sekolah terkait belum menyadari pentingnya pendidikan. Hal ini akan membuat pengorganisasian atas pendidikan tidak berjalan baik. Misalnya, Kepala Sekolah membiarkan sekolah terkocar-kacir, yakni satu guru dengan guru yang lain saling bermusuhan, ada guru yang tidak aktif ke sekolah (tidak mengajar), sarana dan prasarana tidak diperhatikan secara serius, kompetensi guru tidak diukur, siswa dibiarkan berbangga dengan kebodohan.
Ketiga, guru menjadi perangkat terpenting di dunia pendidikan. Misalnya di kota Hirosima dan Nagazaki, ketika dibom-bardir pertanyaan pertama yang dimunculkan adalah “berapa guru yang masih tersisa?”, bukan berapa orang yang telah menjadi korban. Betapa berharganya kehadiran seorang guru. Karena itu, guru diharuskan untuk hadir di sekolah membimbing jiwa anak muridnya. Tanpa guru, jiwa murid tak tertata dan sekaligus akan menjadi pengacau di tengah masyarakat. Guru menjadi pendidikan yang unggul, akan mencetak siswa menjadi pemimpin yang handal.
Keempat, murid ada di sekolah untuk studi. Murid harus belajar. Memuat siswa harus belajar, sarana dan prasarana harus didukung. Misalnya, gedung, perpustakan, ruang lap, buku-buku juga ruang kelas. Siswa harus dibuat betah datang ke sekolah dan dapat belajar secara tenang dan bersemangat. Semua stakeholder harus mampu menciptakan suasana hati, budi (jiwa) anak sebagai seorang pelajar di sekolah. Semua bertanggung jawab agar murid mampu belajar dan sukses di sekolah, sebab merekalah pemimpin bangsa masa depan.
Kelima, perangkat terpenting dalam mengembangkan pendidikan (studi) adalah orang tua. Orang tua baik orang tua murid, maupun masyarakat luas harus mampu membimbing anak-anaknya menjadi terdidik. Keseriusan mendampingi anak dalam studi akan membentuk anak menjadi seorang yang cerdas dalam berpendidikan. Kehadiran orang tua dalam studi membantu anak secara moral dan kejiwaan, sehingga anak dengan tenang menyelesaikan studi secara tenang pula. Karena itu, orang tua wajib mendapingi anak dalam seluruh proses studi. Sebab, kegagalan studi seorang anak, pertama dan paling utama adalah kegagalan orang tua sendiri. Untuk kesuksesan anak, pendidikan pertama harus dimulai dari rumah.
Kenyataannya, rakyat Papua masih belum memahami sistem pendidikan yang terbaik. Karena itu, setiap satuan pendidikan yang didirikan masih bersifat abal-abalan. Pendidikan masih setengah matang dan terlihat bolong di mana-mana. Manusia jatuh dalam bolong-bolong ini. Hal terpenting dalam mengatasi adalah memagasi semua, sehingga tidak terjadi bolong-bolong. Pagar secara fisik, maupun non fisik (semua yang berwenang) bertanggung jawab memagari sekolah. Filsuf pendidikan kontemporer Paulo Freire sedikit membantu melihat konteks pendidikan di Papua dan pengembangannya.
Sistem Pendidikan Freirean
Paulo Freire
Paulo Regrus Freire lebih dikenal dunia dewasa ini dengan sebutan Paulo Freire. Anak dari Joacqim Freire dan Edeltrudes Neves Freire. Dilahirkan 19 September 1921 di Recife, sebuah kota pelabuhan miskin di Brazil. Freire dilahirkan dalam keluarga klas menengah, yakni ayahnya polisi militer dan ibunya seorang ibu rumah tangga. Ia hidup dalam situasi krisis ekonomi di Amerika serikat tahun 1929 yang imbasnya terkena di Brazil. Ayahnya meninggal saat Freire berumur 11 tahun. Saat itu juga Freire mengalami kesulitan dalam memenuhi finansial. Dia bertekat untuk melawan kelaparan (A. Agus Nugroho:1982,9). Kondisi Ekonomi membaik dan ia menyelesaikan pendidikan di Universitas Recife di Fakultas Hukum.
Membangun sebuah Pendidikan Pembebasan
Freire berjuang menciptakan pendidikan sebagai praktik pembebesan. Dia memperjuangkan pendidikan yang membebaskan karena yang dipraktekan adalah “gaya bank”, di mana siswa dianggap belum tahu apa-apa, masih bodoh dan apa pun yang dimiliki oleh siswa harus ditransfer. Para guru kepanikan kalau-kalau ilmu yang dimiliki tidak ditransfer ke peserta didik. Dengan itu, semua pendidikan hanya satu arah, yakni dari guru ke siswa. Di mana siswa dianggap tidak tahu apa apa, tidak bisa buat apa-apa dan hanya seorang guru.
Hal ini dikritik Freire bahwa pada saat tertentu siswa harus menjadi guru. Dia mengatakan pendidikan harus “dialogis”. Siswa harus mendapat tempat dan waktu untuk mengekspresikan diri, menerangkan pengetahuannya kepada guru. Sehingga saat tertentu guru juga diajar oleh siswa, atau siswa juga mempunyai tempat untuk bertanya, mempunya waktu untuk menjawab dan membagi ilmunya.
Freire berjuang menciptakan sebuah kesadaran pendidikan. Bahwa pendidikan itu milik semua orang. Pendidikan itu milik orang yang dengan hati berjuang untuk pendidikan. Ketertindasan, kemiskinan dan kekurangan pun dapat dibebaskan, diatasi dengan pendidikan. Karena itu, menurutnya, pendidikan tidak lain adalah upaya atau sebuah praktik pembebasan. Manusia harus dimelekkan dari buta angkah dan aksara. Membuat semua orang tahu baca dan tulis. Dengan tahu baca dan tulis, disitulah membuat seseorang menjadi manusia politik. Memenusia-politikan manusia melalui pendidikan adalah usaha yang diperjuangkan oleh Paulo dikala negerinya dilanda penindasan dan kemiskinan.
Untuk mengubah wajah ketertindasan Papua, orang Papua membutuhkan sosok seorang Freire. Yakni orang yang berkecimpung di dunia pendidikan dan mampu mengubah nasib bangsa yang tertindas. Hanya dengan pendidikan dan sekaligus satu-satunya jalan menuju pembebasan. Semua stakeholder pendidikan, mulai dari jejang pendidikan paling rendah (PAUD/TK) hingga yang paling tertinggi, semua harus bertanggung jawab mengembangkan pendidikan di Papua. dengan pendidikan kita akan merdeka.
Penulis adalah salah satu guru Sekolah Dasar Meeuwodide
Editor: Erick Bitdana