Mengapa Perlu Konservatif Dalam Masalah Keluarga Katolik?

oleh : Vredigendo Namsa OFM

biarawan Fransiskan, alumnus STFT Fajar Timur


Memang dalam kenyataan hidup sehari-hari seringkali kata “konservatif” mempunyai makna ataupun arti yang “negatif”. Namun kalau dilihat dari asal katanya, kata ini menunjuk pada suatu yang positif. Kata konservatif berasal dari kata latin “conservare” yang berarti menyimpan, melindungi, menyelamatkan dan menjaga. Paus sebagai pemimpin Gereja Katolik, mewakili Kristus di dunia ini, suka tidak suka harus konservatif terutama dalam bidang iman maupun moral (termasuk ajaran tentang perkawinan dan keluarga).
Iman akan Yesus Kristus, yang didasarkan atas iman para Rasul, yang merupakan jawaban bebas manusia atas pewahyuan Allah yang ingin menyelamatkan manusia dalam dan melalui Tuhan Yesus Kristus, diakui Gereja sebagai anugerah Allah sendiri. Sedangkan ajaran moral merupakan pelaksanaan kongkret dari iman dalam hidup sehari-hari, yang didasrkan atas Sabda Allah, serta ajaran para Rasul. Karena pada prinsipnya, baik iman maupun ajaran moral diyakini sebagai suatu yang benar, Gereja Katolik meneruskan, menjaga, melindungi dalam seluruh hidup dan tradisi Gereja yang sudah berlangsung berabad-abad lamanya.
Kalau seorang Paus tidak menjaga dan melindungi iman dan ajaran moral maka Paus itu, hemat saya, tidak pantas lagi pantas menjada pengganti rasul Petrus, apalagi menyebut dirinya sebagai wakil Kristus di dunia ini. Karena dengan demikian mengkhianati kebenaran yang diterima dari Allah, dari Gurunya serta dari para rasul yang digantikannya. Karena itu, sifat konservatif seorang Paus muncul dari konsekuensi dirinya sebagai pemimpin tertinggi Gereja Katolik di dunia ini.
Perkawinan, menurut rencana Allah sejak awal mula manusia diciptakan, terjadi antara seorang laki-laki dan perempuan. Tidak ada ajaran Kitab Suci yang membenarkan perkawinan sejenis. Ajaran ini hingga kini tetap dianut, dijaga dan dilindungi Gereja Katolik. Karena itu Gereja Katolik, tidak hanya Paus Yohanes Paulus II, Paus Benediktus XVI dan Paus Fransiskus I, tetapi dalam sejarah tradisi Gereja selalu menolak perkawinan sejenis karena tidak sesuai dengan ajaran Kitab Suci. Perkawinan antara laki-laki dan perempuan membentuk antara mereka kebersamaan seluruh hidup, dari sifat kondratinya terarah kepada kesejahteraan suami istri, keturunan dan pendidikan anak-anak (bdk. KHK 1055).
Dalam persoalan KB sebenarnya Gereja Katolik tidak melarang KB, bahkan menganjurkan KB, dalam arti luas, yakni sebagai keluarga bertanggung jawab. Agar keluarga- keluarga Kristiani dapat hidup sejahtera, maka mereka harus memperhatikan bukan hanya soal jumlah anak saja, tetapi menyangkut seluruh aspek kehidupan rumah tangga, seperti kehidupan rohani, kehidupan iman, kehidupan fisik, kehidupan psikologis, kehidupan pendidikan, kehidupan sosial dan kehidupan ekonomi.
Menjadi masalah adalah alat atau cara melakukan KB (dalam arti sempit), yakni mengatur jumlah anak. Gereja Katolik melarang alat-alat buatan. Apalagi yang bersifat abortif. Gereja Katolik (melalui ajaran Paus) hanya membolehkan metode alamiah. Mengapa alat-alat KB buatan dilarang? Karena menurut ajaran Gereja, hubungan seksual dari kodratnya selalu mempunyai dua aspek: unitif dan prokreatif. Dua aspek ini tidak boleh dipisahkan dengan sengaja karena telah ditanamkan oleh Allah sendiri secara alamiah dalam diri setiap makluk hidup. Suatu rekayasa manusia dengan maksud memisahkan dua aspek itu dengan sengaja dan hanya mengejar satu aspek saja selalu diniali sebagai tidak bermoral. Ajaran tersebut tidak hanya ditekankan oleh St. Paus Yohanes Paulus II tetapi oleh bapa-bapa Gereja sejak dulu. Bagi Gereja Katolik, masalahnya bukan terletak pada suka atau tidak suka. Yang menjadi persoalan adalah kebenaran yang harus dipertahankan, ditaati, dan diwartakan umat beriman.
Kebenaran juga tidak sama dengan pendapat kebanyakan orang. Karena pendapat kebanyak orang dalam persoalan-persoalan tertentu, tidak tentu pasti menjamin kebenaran. Maka mesti, sebagai masyarakat dunia menolak ajaran Gereja Katolik tentang larangan memakai alat-alat kontrasepsi buatan, perkawinan homoseksual, aborsi dan lain-lain, Gereja akan tetap berjalan terus. Menurut hemat saya, justru saat ini dibutuhkan seorang pemimpin yang berani bertindak secara berbeda, bahkan itu perlu kalau bertentangan, demi mempertahankan kebenaran dan iman.

Leave a Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *