Oleh: Natalius Pigai
(Catatan ini ingin dibaca dan ditindaklanjuti oleh Presiden Ir. Joko Widodo 2019-2024)
Tulisan ini, saya tulis berdasarkan realitas yang dihadapi rakyat Papua selama 57 tahun . Saya dilahirkan di tempat terpencil di daerah pedalaman Papua, pusat perang dan Konflik. Akhirnya menjadi aktivis perjuangan hak-hak sipil dan sampai pada puncak karier menjadi Pimpinan Komisi Hak Asasi Manusia Indonesia 2012-2017. Hari ini pun saya masih aktif sebagai Aktivis Kemanusiaan.
Sejak saya kecil telah melihat langsung, memantau, mendengar dan mencatat dimana seluruh isinya cek langsung ke rakyat Papua juga cerita-cerita dengan tidak kurang dari 15 Bupati/mantan Bupati dan Pejabat masih aktif dan juga berdasarkan hasil penyelidikan dan Pemantauan. Saya menulis ini adalah kontribusi saya sebagai penyelidik profesional yang pernah menangani tidak kurang dari 15 ribu kasus di Indonesia.
Tulisan ini kontribusi saya untuk kebaikan dan perbaikan bersama (bonum commune).
57 Tahun Papua hidup dalam nestapa, ratusan ribu orang Papua ditangkap, disiksa, dibantai dan di bunuh didasari atas kebencian rasial terhadap bangsa Papua yang berkulit hitam dan rambut kriting.
Kata-kata yang mengandung kekerasan verbal dengan sebut monyet, kera, gorila, bahkan Kete, telah lama diterima orang Papua. Pelakunya tidak hanya rakyat sipil bangsa Melayu biasa tetapi justru dilakukan oleh aparat negara baik di Papua maupun di luar Papua. Makin lama pendatang bersikap, perilaku dan berbuat rasis dan dengan sikap segregatif rakyat Papua sebagai ungkapan sakit hati. Hari ini mereka mempertontonkan kembali perilaku rasial dan segregasi warta kulit, aparteit, zenopohibia dan anti zemitis yang pernah berkembang pada abad lampau di Afrika, Amerika dan Eropa. Hari ini, Indonesia adalah satu satunya negara di muka bumi ini yang membiarkan praktik praktik rasisme berkembang di rakyat sipil tetapi juga pemerintah sebagai aktor pelaku rasial khususnya kepada bangsa negro Papua Melanesia.
Lebih ironis lagi Aparat Intelijen, TNI dan Polri menjadikan kaum pendatang sebagai mitra untuk memuluskan politik pendudukan di Papua, informen informasi, bahkan secara nyata membentuk pasukan milisia ikut membacok dan membunuh rakyat sipil di Papua.
Secara sengaja atau tidak, Aparat menggiring Pendatang yang sebenarnya orang sipil tidak berdosa sedang mengadu nasib di tanah Papua sebagai kelompok milisia. Itulah pemicu kebencian akut rakyat Papua terhadap pendatang jadi kenapa hari ini bangsa Orang Papua dicaci maki, dicemooh, dimusuhi?. Jadi ketika orang Papua marah dan melakukan kekerasan terhadap Pendatang, Mengapa rakyat Indonesia tidak marah kepada aparat negara yang menggiring pendatang, rakyat sipil tidak berdoa bermain dalam bara api di Papua yang memang wilayah konflik.
Pernahkah kita tahu bahwa di Wamena, pusat kota dan di daerah lainnya HIV/AIDS berkembang cepat dengan pertumbuhan deret ukur mengancam kepunahan bangsa Papua Melanesia, bukan karena wanita-wanita Melayu Penjajah seks komersial menjual diri di “lokalisasi” karena memang tidak ada lokalisasi, tetapi mereka bikin gubuk2 kecil di kios-kios dan rumah makan pendatang, di rumah makan “ mas mau makan apa, daging mentah atau masak” daging menta berdagang seks, daging masak artinya makanan. Itulah ilustrasinya jika orang asli Papua makan. Dan itu dilakukan terang-terangan di pusat kota, aparat ikut menyaksikan tanpa mau melakukan pencegahan bahkan penertiban. Kita tidak pernah menyaksikan adanya operasi penertiban patologi sosial ataupun operasi justisia.
Ketika terjadi aksi protes oleh orang Papua di pusat-pusat kota, aparat sering kali intai orang Papua dari rumah- rumah pendatang atau kios2 dan rumah makan pendatang, bahkan seringkali memberondong peluru dari tempat2 kearah orang Papua. Sudah terlalu banyak orang Papua mati karena pola ini. Cara cara ini disaksikan oleh orang Papua, memang karena Papua ini kota2 kecil semua sehingga terjadi kasat mata, terang benderang.
Semua in dicatat memori derita orang Papua. Tutur lisan menyebar seantero orang Papua dan modus-modus ini diketahui luas. Sekali lagi bukan pendatang tetapi pendatang digiring aparat, mau tidak mau “manut” ikut serta keinginan negara atas nama integrasi di wilayah konflik.
Namun salah satu kelakuan yang tidak elok dipertontonkan para pendatang adalah dikala konflik atau cek cok mulut dengan orang Papua, para pendatang selalu meminta atau berlindung dibalik laras senjata, mereka tidak menempu jalur hukum, saya tidak pernah menemukan orang pendatang melapor atau mencari keadilan di pengadilan melawan orang Papua secara fair.
Orang Papua digiring dalam permainan judi Togel dimana2 di kota kota, simpanan dan jajan untuk keluarga habis karena habis bermain judi Togel. Sedangkan Indonesia telah melarang tegas bermain judi tetapi Papua justru judi togel merajalela. Para bandar-bandar Togel para Pendatang dibeckingi Aparat. Jual minuman keras dikelola pendatang dan dibeckingi aparat. Bahkan ada minuman keras yang Alkoholnya mencapai 40 persen tertulis khusus untuk Papua.
Apakah kita pernah tahu bahwa daerah penambangan liar dikuasai pendatang, dibekingi aparat, jual minuman keras, narkotika bahkan prostitusi seperti di Degeuwo, tembagapura, daerah mamberamo dll. Penduduk lokal membayar kepingan-kepingan emas untuk membayar minuman keras atau prostitusi dibawah tekanan dan todongan senjata.
Aparat membeckingi orang luar Papua untuk menguasai 3 sumber utama
Milik orang Papua;
1) merampas sumber daya alam dengan melakukan penambangan liar (ilegal mining), pengambilan ikan secara liar (ilegal fisihing) dan pengambilan kayu secara ilegal.
2). Merampas sumber daya ekonomi orang Papua di seluruh pusat2 kota, di papua distribusi barang dan jasa dikuasai pendatang, sumber2 ekonomi dikuasai. Kios, pasar bahkan angkot dan ojek dikuasai pendatang. Orang Papua hanya sebagai penjual sayur-sayuran di emperan tokoh atau di pinggir jalan. Itupun mama yang gesit, mereka berani menentang sakuat baja mental seorang wanita demi menyambung hidup dan mencukupi anak untuk pendidikan. Sebagaimana lazim di dunia ibu-ibu lebih militan karena orang Papua terkunci untuk bersaing sehingga tidak bisa mencukupi kebutuhan hidup.
3). Merampas hak politik rakyat Papua, perampasan hari ini sudah merambah ke dunia birokrasi dan politik. Pendatang terlalu haus kuasa, mau jadi Bupati, Wakil, DPR dengan cara sogok, hambur uang sini, hambur uang sana, Pemilu hari ini nyaris dikuasai pendatang. Ada kabupaten yang anggota DPRnya nyaris 100% pendatang, ada kabupaten yang satu keluarga 7 orang DPRD. Bahkan ada Penerimaan Taruna Militer, polisi juga APDN orang Papua terpinggirkan. Penerimaan yang penuh dengan korupsi, kolusi dan nepotisme.
Penerimaan pegawai negeri di Papua pedatang sering tidak tega bahkan mereka seludupkan sanak saudara yang lahir, besar dan sekolah di Jawa, Sumatera, Sulawesi dipanggil ikut testing di Papua dengan sogok mereka bisa lolos. Ada juga yang sarjana pertanian testing lolos sebagai dokter dan diterima ketika di tempatkan di puskesmas dia protes setelah cek di daerah asal dan kampus ternyata dia sarjana pertanian. Itu terjadi di Kabupaten ntan Jaya. Ini salah satu modus mengambil lahan kehidupan orang Papua yang dilakukan oleh pendatang. Di kabupaten yang sama penerimaan pegawai awal kebetulan kepala kepegawaian orang pendatang menghadap bupati menyodorkan 60 orang pendatang dengan uang sogok senilai 50 juga seorang yaitu sebanyak 3 miliar tetapi bupati menolak mencoret semuanya. Inilah modus merampas hak rakyat Papua yang dilakukan oleh pendatang di Papua.
Kalau 3 sumber kehidupan utama orang Papua dikuasai, maka apakah ada harapan hidup bagi orang Papua? Masa depan tentu sudah suram. Tidak ada harapan hidup di atas tanah kelahiran mereka sendiri.
Apakah tahu bahwa Kepala Daerah dan Pejabat di Papua tersandera dan disandera oleh Kontraktor dan anak buahnya yang rata- rata pendatang. Kontraktor menggunakan aparat negara memuluskan proyek, bahkan pencairan terlebih dahulu sebelum proyek berjalan. Karena tekanan dan teror.
Bupati hampir dipastikan disandera Kepala Dinas yang anggarannya besar seperti PU dan Keuangan, kerja sama dengan Polisi dan Jaksa teror Kepala Daerah dengan bukti penyalagunaan seakan akan Bupati bermasalah, ditunjukaan surat panggilan palsu, SPDP Palsu, kepala daerah ketakutan sehingga selanjutnya hasil konspirasi merampok uang negara bermilyar2.
Di seluruh Papua, Auditor Badan Pemeriksa Keuangan datang atau didatangi pejabat daerah untuk menyogok agar BPK keluarkan sebuah surat yang bernama “ telah selesai melakukan pemeriksaan” sekali lagi surat itu bernama “telah selesa melakukan pemeriksaan” padahal BPK tidak pernah periksa dan tidak pernah ada realisasi. Akibatnya semua rakyat Papua ini heran kenapa hampir semua kabupaten di Papua tiap tahun dapat predikat WTP (Wajar Tanpa Pengecualian) merampok uang rakyat dalam jumlah yang besar tanpa pembangunan fisik. Aktor Intelektualnya (gurunya) itu pejabat non Papua.
Kalau boleh saya jujur “apa adanya”, maka Rumah Sakit di Papua sudah dicap sebagai “tempat kematian” bukan tempat persemaian manusia, bukan tempat kehidupan, apalagi rumah sakit pemerintah termasuk milik Kepoisian, sekarang rakyat Papua sudah mulai curiga rumah sakit swasta sekalipun milik gereja. Orang Papua sangat takut ke rumah sakit, mereka Lebih memilih pengobatan alami. Telah lama rumah sakit dicurigai orang Papua sebagai tempat pembersihan etnis Papua (etnic cleansing), rata-rata ibu muda yang pernah masuk rumah sakit saat hamil atau melahirkan selanjutnya tidak bisa melahirkan, ada juga ibu yang disuntik anti kesuburan tanpa persetujuan suami dan dirinya (mungkin ditanya saat mengalami kontraksi kesakitan saat melahirkan) sehingga tanpa sadar meng”iya” kan agar disuntik anti kesuburan. Maka hari ini rata-rata ibu-ibu muda tidak bisa melahirkan.
Memang rata-rata tampilan fisik bangunan dan didalam rumah sakit sangat “buluk” bahkan waktu saya dan Manager Nasution mantan Komnas HAM sekarang di LPSK melihat langsung air Kran di rumah sakit dok 2, RS satu nomor 1 se tanah Papua kran airnya mati seminggu. Padahal air itu vital, air kehidupan tanpa air manusia pasti mati, apalagi di rumah sakit. Memang di dunia ini tenaga medis dan para medis itu istimewa/ mereka wakil Tuhan di dunia tetapi untuk Papua tentu penilaian berbeda. Itu adalah hikayat lama. Salah satu indikator terancamnya orang Papua khususnya meningkatnya rasio kematian ibu dan anak karena sampai dengan detik ini tidak ada rumah sakit ibu dan anak seantero Papua. Berbeda dengan luar Papua tiap kabupaten memiliki rumah sakit ibu dan anak bahkan lebih dari satu.
Jangankan rumah sakit, orang Papua hari ini sudah kehilangan respek kepada Romo, pendeta apalagi Kiai, telah lama suara kenabian hilang di tanah Papua Melanesia. Gereja menjadi alat penguasa, menjadi alat milik klik-klik misterius. Hambah Tuhan yang membela orang Papua mati mendadak, di daerah pedalaman berhadapan dengan laras senjata.
Di daerah pedalaman dan terpencil pedatang seringkali menjual barang-barang kadaluwarsa, biskuit, sarden, supermi dll. Rakyat tidak paham karena mereka mayoritas tidak berpendidikan akibatnya banyak yang terkena penyakit dan meninggal.
Salah satu kejahatan pendatang di Papua adalah orang Papua dipaksa masuk agama Islam. Telah ditemukan banyak modus, di Wamena seorang anggota aparat menggiring satu kampung dibawah todongan senjata dan operasi intelijen, mengambil beberapa anak didik dan berbuat baik, kebaikan hanya sebagai kamuflase untuk menggiring agama yang bukan merupakan agamanya. Demikian pula beberapa wilayah lainnya pendatang dibeckingi aparat mengambil beberapa anak kecil dengan dalil menjadi orang tua asuh atau mendidik, dikirim ke luar Papua di sekolahkan di beberapa pondok pesantren dan menjadi mualaf. Modus-modus ini yang pernah dilakukan juga di Timor Leste saat masih di bawah jajahan Indonesia.
Tidak ada hukum negara di Papua, tidak ada keadilan Dihadapan hukum bagi orang Papua. Keadilan hanya berlaku bagi mereka yang pendatang kecuali orang Papua membayar “sogok” hakim. Orang Papua yang pejabat begitu saja muda dan cepat dapat keputusan pengadilan dan salinan keputusan hanya dalam hitungan hari, sementara orang Papua yang kecil dan miskin begitu sulitnya mendapat keadilan. Hampir 58’tahun pengadilan menghukum orang non Papua atau aparat kepolisian (belum pernah saya lihat dan baca dokumen), belum pernah melihat seorang anggota polisi yang dipenjara karena menyiksa dan membunuh di luar pengadilan (Extra Judicial Killing) dan selalu mendapat sorotan dunia.
Semua rintihan, ratapan, kesedihan orang Papua terbungkam di kalbu rakyat Papua. Rakyat Papua tidak punya ruang ekspresi, media masa dibungkam menjadi alat propaganda penguasa dan pendatang. Organisasi masyarakat sipil dan partai politik sebagai instrumen artikulator kepentingan rakyat Papua terbungkam, kekebasan ekspresi terbatas. Akibatnya apa yang terjadi hari ini adalah meledaknya puncak gunung es yang membeku begitu lama. Itu yang kurang di pahami negara dan rakyat Indonesia.
Bangsa (Tokoh2 Nasional Lintas Suku dan Agama) sepatutnya meminta negara untuk mencari solusi penyelesaian masalah Papua secara bermartabat dan lebih progresif, bukan memilnta represi militer di Papua. Kalau meminta operasi militer, maka tidak perlu minta karena sudah 58 tahun operasi militer telah berlangsung, rakyat Papua saban hari hidup dalam ancaman di tanah tumpa darah mereka yaitu tanah Papua milik bangsa Melanesia.
Saya harus jujur sampaikan bahwa kita ini 2 ras yang berbeda yaitu Ras Negro Melanesia dan Ras Mongoloid Melayu. Ibarat Minyak dan Air, tidak akan pernah bisa bersatu kecuali kalau Rasisme, Papua Phobia dan Diskriminasi dihilangkan dari negara ini dan itu terasa tidak mungkin karena diskriminasi di negeri ini sudah terlalu akut.
)* Penulis Adalah Pembela Orang Lemah / Komisioner Komnas HAM 2012-2017.
Publisher: Admin