Menganyam Perabadan Dari Pinggir Jalan (Sebuah Potret Emansipasi Mama-Mama Perajin Noken Di Papua)
*(Oleh: Siorus Degei
Dari pelbagai kebudayaan yang ada di Papua, noken menjadi satu kebudayaan yang sangat terkenal di Papua, noken menjadi kekhasan dan daya pikat tersendiri di sana. Pergi ke Papua tapi pulang tidak memakai noken itu adalah sia-sia. Noken itu sudah hadir dan bereksistensi bersama masyarakat asli Papua sudah dari Ahad-abad lampau. Keeratan dan kedekatan noken noken dengan orang asli Papua itu ibarat kedekatan seorang ibu dengan anak-anaknya.
Melalui perjuangan bebrapa aktivis kebudayaan di bawah pimpinan bapak Titus Pekey noken dapat terdaftar di Sekretariat UNESCO PBB sebagai salah satu sistus warisan dunia yang harus dijaga agar tetap bereksistensi sampai kapan pun pada Selasa, 4 Desember 2012 di Paris-Prancis, (https://travel.okezone.com). Menganyam noken itu sudah menjadi sebuah kebiasaan turun-temurun dari generasi ke generasi, dari tua muda. Bahkan tidak sedikit dan sangat banyak masyarakat asli Papua khususnya para mama-mama Papua yang cakap membuat noken, sebagian pria asli Papua juga cukup mahir dalam membuat noken, semisal noken Anggrek.
1. Meneropong Papua
Papua adalah provinsi bungsu dari 34 provinsi di negara Indonesia. Papua menjadi wilayah paling timur, banyak wilayah di sana yang hingga hari amat terisolasi dari dunia luar. Luas wilayah Papua terbentang dari Sorong sampai di Samarai. Papua juga sering di sebut dengan istilah miniatur dunia, karena tersusun dan tergugus secara rapih dan terstruktur dari pesisir pantai yang paling rendah, dataran rendah, lembah, perbukitan, dan pegunungan, bahkan puncak yang berselimutkan salju abadi, jadi satu-satunya wilayah di Asia tenggara pada umumnya dan lebih khususnya Republik Indonesia yang ada saljunya hanya Papua. Hal ini menjadi keunikan yang teramat khas di Papua, (https://seputarpapua.com).
Secara sosial, masyarakat Papua selaluh hidup damai antara satu dengan yang lain. Walau memang tidak dapat dinisbihkam bahwa ada banyak perang suku di Papua, tapi toh kedamaian sejati selalu cepat tercipta, karena perang suku itu adalah bagian dari kebudayaan masyarakat Papua. Ada wilayah-wilayah tertentu di Papua yang jika datang masalah mereka langsung merespon masalah tersebut sejarah represif non persuasif. Lalu kemudian masalah itu didialogkan, (https://www.suara.com).
Secara religi, enam Agama yang berkembang dalam perut sejarah itu ada di Papua; Katolik, protestan, Islam, Hindu, Buddha, dan Konghucu. Agama Protestan sangat mayoritas di Papua, kemudian Islam, Katolik, Hindu, Buddha dan Konghucu. Indahnya keenam Agama ini, dalam arti hidup keberagamaannya hidup umat beragama sangat harmoni dan selaluh langgeng. Ibarat satu keluarga bahagia enam Agama ini selaluh memupuk persatuan persaudaraan dan kekeluargaan umat beragama.Simbol kepedulian dan perhatian Keenam Agama itu terbukti dalam upaya mereka untuk menciptakan perdamaian di bumi cenderawasih, dengan melakukan kegiatan dialog lintas enam Agama di Papua yang menghasilkan ungkapan PAPUA ITU TANAH DAMAI, (https://www.republika.co.id).
Di bidang ekonomi, masih terdapat banyak orang miskin. Otsus memang sudah menguras miliaran triliunan rupiah demi memakmurkan dan menyejeterahkan masyarakat asli Papua. Namun toh tetap saja tidak merubah apa-apa di Papua. Karena dalam grafik statistik perkembangan dan pertumbuhan ekonomi di daerah-daerah Indonesia, Papua masih tetap konsisten menjadi daerah dengan penduduk termiskin yang terbanyak. Jadi dalam problematika ekonomi Papua Otsus tidak berbuat banyak hal yang berefek positif dan signifikan, kalau yang buruk teramat banyak dan melampaui batas-batas kewajaran dan kemanusiaan. Barangkali memang karena Otsus itu untuk orang khusus di Papua bukan semua orang asli Papua, atau Otsus itu adalah otonomi kasus sebagaimana temuan dan kajian ilmiah Alm. Pater Neles Kebadabi Tebay, ( https://www.jdp-dialog.org).
Di bidang politik, hingga saat ini wajah tanah Papua sangat identik sekali dengan konflik, banyak wilayah di Papua menjadi medan peperangan antara TNI/POLRI versus TPN/OPM. Semisal, Intan Jaya dan Dugama. Di lain pihak konfrontasi dan dualisme status politik Papua masih menjadi wacana hangat bahkan sudah sangat panas, sensitif, dan kontroversial. Sejauh ini belum ada variabel resolusi konflik Papua-Jakarta yang ampuh untuk memadamkan bara api konflik yang sudah menyala dari tahun 1962 hingga kini 2021, dan pasti akan berlangsung kontinyu. Padahal dialog damai gagasan Alm. Pater Neles dan kawan-kawan punya harapan yang pasti, namun pihak Jakarta masih menaruh curiga.
Dan alhasil kepercayaan orang asli Papua sudah sangat botak terhadap Jakarta. Karena amat irasional dan inlogic sekali oprera politik boneka yang dipertontonkan Jakarta, pertama konsep dialog damai dipromosikan dan Jakarta menyambut hangat konsep tersebut. Namun belakangan follow-up dari etiket Jakarta itu redup, bersamaan dengan redupnya rezim SBY. Masuk rezim Jokowi aungan dialog muncul lagi, namun masih dipolitisasi sehingga tertunda-tunda hingga dua orang tokoh intelektual Indonesia yang dipercayakan sebagai mediator dialog Jakarta-Papua, yakin Dr. Muridan Wijojo, peneliti senior dari LIPI dan Pastor Neles Kebadabi Tebay, Imam, Intelektual, dan aktivis HAM asal Papua pergi menghadap Sang Pengada, Tuhan yang Maha Esa. Jadi Papua yang awalnya Eden atau Surga itu kini telah berubah menjadi sebuah Neraka, karena penderitaan dan penindasan menjadi iklim baru dalam kehidupan masyarakat asli Papua, (https://tirto.id).
Dalam tulisan ini penulis tidak akan mengupas semua persoalan yang menjadi kelabu dalam hari-hari masyarakat asli Papua, tetapi penulis akan menyempitkan dan memokuskan pandangan pada isu emansipasi ekonomi mama-mama Papua, lebih khususnya mama-mama perajin noken yang hingga hari ini belum mendapat perhatian yang signifikan dari pemerintah. Padahal perjuangan dan pengorbanan mereka adalah demi mendemonstrasikan dan mempropagandahi eksistensi noken kepada khalayak umum, di samping menafkahi keberlangsungan kehidupan keluarga.
2. Berkenalan Dengan Noken Asli Papua
Bicara soal noken, secara tidak langsung pikiran kita akan menjumpai lukisan-lukisan yang menggambarkan soal noken atau sepintas bayangan noken akan terlintas di benak, atau gambaran objek yang memakai noken yang pernah kita lihat muncul di layar pikiran. Intinya noken itu adalah sesuatu yang sangat tidak asing lagi bagi setiap orang yang tinggal di Papua, jika tidak demikian orang tersebut lagi mabuk atau tidak sadar bahwa ia ada di Papua. Dalam sejarahnya noken ini hadir sebagai sarana penunjang kehidupan, sama juga dengan munculnya artefak-artefak kuno yang ada di daerah lain. Fungsi noken yaitu sebagai alat untuk mengisi barang berupa hasil kebun, kayu bakar, air minum, anak bayi, barang-barang sakral, dan barang-barang bawahan lainnya.Mayoritas pengrajin noken adalah para wanita karena memang noken tidak dapat dipisahkan dari mereka pula, korelasi antara mama asli Papua dengan noken itu seperti korelasi antara ibu dan anak.
Mama-mama asli Papua, khususnya yang berdomisili di pegunungan Papua setiap hari dalam rutinitasnya paling kurang mereka membawa lima noken, satu noken untuk mengisi umbi-umbian, satu noken untuk sayuran dan buah, satunya air minum, satunya lagi untuk kayu bakar dan alat kerja, dan yang terakhir untuk anak atau bayi mereka. Dengan lima noken itu mereka akan melintasi lembah luas, perbukitan terjal, dan pegunungan tinggi. Sungguh ketangguhan mereka itu sangat luar biasa biasa dan tidak ada duanya. Mereka memang para pahlawan kehidupan keluarga, (https://travel.tempo.co/makna-noken-bagi-perempuan-papua Yang menjadi ironi di sini dan memantik pelanggaran gender yaitu opsi kerja para pria. Para pria atau suami memang berkerja keras namun porsinya berbanding terbalik dengan porsi pekerjaan wanita. Bayangkan para lelaki hanya membuka lahan habis itu tanggung jawab penuh ada di pundak para wanita. Hal ini sama seperti di rumah, lelaki hanya mencetak anak, urus menjaga dan merawat sepenuhnya milik perempuan.
Kasihannya yaitu ketika pulang dari lahan atau kebun, para pria hanya akan membawa busur panah dan parang sambil menyeruput tembakau atau rokok lokal atau sambil mengisap tebuh, sementara beban yang berat menjadi porsi para wanita. Bayangkan dari sini saja sangat terlihat jelas sekali pembagian kerja yang amat tidak adil dalam kebudayaan kerja masyarakat asli Papua proto. Jadi noken itu amat lekat dengan para wanita dan hanya mereka yang bisa menganyam noken, walau Tidak sedikit juga pria yang pandai menganyam noken.
3. Passion Mama-Mama Perajin Noken di Pinggir Jalan
Fenomena mama-mama asli Papua yang senantiasa berjualan noken di pinggir-pinggir jalan atau di pinggir emperan toko bukan lagi menjadi gambaran sosial masyarakat yang baru atau asing melainkan sudah sangat lazim sekali kita saksikan. Mama-mama pahlawan dan pejuang kehidupan itu relah berjemur lama di bawah pancaran sinar mentari yang panas membakar demi keberlangsungan hidup keluarga mereka di rumah, demi anak-anak mereka yang sedang menempuh studi, demi suami mereka yang pemalas bekerja keras. Jadi bila di tempat lain laki-laki berperan sebagai kepala keluarga, maka konsep itu lumbrah di Papua karena di Papua justru wanitalah yang berperan sebagai kepala keluarga sekaligus ibu rumah tangga.
Penulis sering berkunjung ke tempat-tempat di mana mama-mama asli Papua menjual hasil karya tangan mereka yaitu noken dengan aneka varian dan motif, mereka berjualan dengan fasilitas amat memprihatinkan padahal perjuangan mereka itu teramat mulia. Lebih miris dan sangat kontraproduktif lagi yaitu bahwa nasip para pedagang asing atau pendagan non- Papua yaitu para pendatang lebih baik, menjanjikan, aman, dan kondusif. Intinya nasip pedagang pendatang lebih baik daripada nasip mama-mama Papua. Hal ini bukan karangan kajian pseudo intelektual abal-abal, tetapi merupakan sebuah amatan konkrit di ruang publik dan tentu ini bukan barang baru yang harus dikagetkan karena memang sudah berlangsung lama. Lalu di mana peran para dewan yang katanya nabi bagi kaum periferi; kaum lemah, miskin, dan kecil, apa yang mereka buat bagi nasip masa depan mama-mama Papua yang menjadi tamu di rumah sendiri, menjadi pendatang di tanah sendiri, sungguh baru kali ini ironi sosial kelas dewa konsisten terjadi di Papua pulau Eden. Puji syukur bila hal serupa juga dialami oleh Presiden Jokowi yang sempat membeli Noken Papua di pinggir jalan yang dijual oleh Mama-Mama Papua, (https://setkab.go.id/saat-presiden-beli-noken-di-pinggir-jalan-dari-mama-mama, Sabtu, 4-12-2021).
Lukisan paling sedih yang membuat pikiran kacau, hati menangis tersedu-sedu dan bulu kuduk ikut berdiri yaitu ketika hujan deras mengguyuri mana-mana yang sedang berjualan. Atau ketika terik matahari membakar dan memangan tubuh mereka yang keriput, juga polusi tranportasi ugal-ugalan yang mencemari udara sehingga tidak sedikit mana-mama asli Papua yang mengalami sesak nafas atau gangguan pernapasan. Sungguh luar biasa dedikasi mereka terhadap keluarga sampai-sampai dir mereka sendiri tidak mereka pedulikan. Dan menurut daftar kategori kebajikan dalam filosofis China kuno, pengabdian kepada keluarga menjadi kebajikan paling utama, dan ini berarti bahwa mama-mama asli Papua perajin sekaligus pedagang noken itu adalah pahlawan kehidupan yang sejati.
4. Noken Adalah Perempuan Asli Papua
Seperti beberapa statement di muka bahwa korelasi antara noken dan perempuan asli Papua itu seperti relasi intim antara seorang ibu dan seorang anak. Jadi relasi antara noken dan perempuan asli Papua itu teramat intim dan mendalam sudah berurat berakar dan bertulang sumsum.Penulis memaknai noken sebagai manifestasi perempuan asli Papua itu sendiri. Kita semua sudah barang tentu tau akan hal-hal ikwal seputar noken. Noken itu kuat dan tangguh; bisa memuat apa saja, membawa semua barang. Noken juga aman dan nyaman; semua barang yang dibawa dalam noken dijamin pasti aman dan nyaman, anak bayi yang di bawa di dalamnya tidak sakit tetapi edem sekali ketika tidur di dalam noken, bahkan noken itu adalah obat untuk menenangkan tangisan bayi dan membuatnya menjadi diam dan tenang.
Noken juga adalah simbol tranparansi; apa yang ada dalam noken seseorang dapat dilihat juga oleh orang lain, tidak ada rahasi, tidak ada korupsi, maka dari itu hal-hal negatif atau buruk itu sangat muskil dan mustahil sekali di bawah dalam noken. Hanya hal-hal positif saja atau hanya barang-barang baik saja yang harus di bawah dalam noken. Jadi pada dasarnya noken itu adalah tempat atau sarana untuk mengisi dan membawa barang-barang yang baik dan berguna bagi kehidupan bersama. Hal ini serupa dengan kebanyakan perempuan asli Papua yang tidak bisa diam atau tenang ketika melihat kejahatan atau hal-hal yang aneh terjadi di hadapan mereka, mereka tidak akan diam tetapi menegur atau bersikap tegas bahkan keras terhadap penyebab keanehan atau sumber kejahatan itu. Makanya perempuan asli Papua itu sering disebut dengan sebutan-sebutan seperti Cerewet, mulut ember, Pemali, Lida tajam, mulut macan, dan lainnya. Intinya perempuan asli Papua itu tidak bermental ayu-ayu atau lemah, mereka sangat kuat dan tangguh karena memang alam mewajibkan mereka untuk tetap kuat dan tangguh karena kalau saja mereka lemah atau bermalas- malasan maka mereka bukan perempuan asli Papua sejati, dan alam akan menumbangi mereka.
Jadi spirit noken itu sangat nampak dan konkrit dalam diri seorang perempuan asli Papua sejati, sebagai noken yang kuat, tangguh, aman, dan nyaman mama-mama asli Papua menghidupi keluarganya, anak-anak asli Papua memperoleh cinta dan kasih sayang besar dari seorang ibu yang memberikan kenyamanan yang penuh, sama seperti ketika mereka kecil dan digendong dalam noken sederhana buatan mama, (https://www.hutanpapua.id/post/noken-penjaga-para-perempuan-tangguh, Sabtu, 4-12-2022, Pukul. 10:41 WIT).
5. Pasar Noken Khas Mama-Mama Asli Papua
Dalam era post-modren di Papua yang perlu tercatat di dalam kepala seluruh stakeholder adalah satu dari empat hasil kajian Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) yaitu bahwa masyarakat Papua sudah termarjinalkan secara ekonomi, (https://lipi.go.id/berita/single/Riset-LIPI-Empat-Akar-Masalah. Sabtu, 4-12-2021, Pukul. 10:44 WIT). Hampir semua lahan sumber ekonomi dipegang atau dijabat dan dikuasai oleh para pendatang. Kita bayangkan saja setiap kali penerimaan CPNS di buka dan hasil di keluarkan sudah sangat pasti porsi orang asli Papua amat terbatas. Karena tidak mendapat perhatian dan gagal menjadi pegawai atau karyawan di tanah sendiri maka, tidak sedikit pengangguran di Papua, dan demikian mereka secara tidak langsung telah kalah dan tersisi.
Melihat panorama memiluhkan yang menimpa mama-mama asli Papua yang setiap hari setia menghadapi panas mentari dan dingin hujan juga polusi, penulis merekomendasikan agar pemerintah dalam hal ini pemerintah provinsi Papua dan Papua barat untuk segera mendirikan pasar khusus kerajinan tangan khas mama-mama asli Papua. Hal ini bukan berarti pemerintah memanjakan mama-mama asli Papua prihal soal pasar karena pemerintah pusat sudah memikirkan dan menjawabi hal itu dengan mendirikan sebuah pasar khusus mama-mama asli Papua, spesifiknya terletak di pusat kota Jayapura. Tetapi lebih dari itu dengan melihat maraknya bisnis noken di Papua maka sudah sangat perluh sekali ada sebuah fasilitas pendukung di mana semua kerajinan mama-mama asli dan semakin berevolusi dan berrefolusi kreatif; ada pernak-pernik khas Papua; gelang, kalung, cincin, anting, topi, baju, rok, dan lainnya. Sehingga penulis merasa perluh sekali ada pasar khusus dimana semua kerajinan mulia karya tangan lugu mama-mama Papua yang sederhana namun sarat makna. Sehingga perluh sekali semua kerajinan itu dijual, didemonstrasikan dan dipropagandakan dalam sebuah wadah pasar khusus kerajinan khas mama-mama asli Papua, (https://www.liputan6.com/regional/read/3185920/jurus-jitu-mama-mama-papua-menjual-noken, Sabtu, 4-12-2021, Pukul. 10:46 WIT).
Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa pemerintah akan dicap sebagai pelopor marjinalisasi orang asli Papua, khususnya mama-mama Papua yang setiap mengadu nasip di pinggir-pinggir jalan dan emperan toko. Sudah saatnya belenggu penderitaan dan penindasan mereka dilepas-bebaskan dengan mendirikan sebuah unit pasar noken khas mama-mama asli Papua di setiap kota kabupaten sehingga noken yang adalah manifestasi seorang ibu senantiasa eksis dalam kehidupan dan sejarah orang asli Papua. Jadi tidak memperhatikan nasip mama-mama perajin noken itu sama seperti melupakan ibu kandung sendiri, karena noken itu adalah mama yang selaluh memberikan kenyamanan dan keamanan yang pasti kepada semua orang yang memakainya dan mengandalkannya dalam kehidupan sehari-hari.
Maka sudah sewajarnya sebagai anak-anak asli Papua yang hari-hari hidup pertamanya berlangsung di dalam noken sederhana dan bersahaja buatan mama, Stakeholders di semua tingkatan harus memberih perhatian di sinigfikan, penulis merasa Pemda di wilayah MEEPAGO bisa menjadi pelopor gebrakan enamsipasi ekonomi lokal mama-mama asli dan. Karena di wilayah ini bakat-bakat emas perajin noken sangat pesat.Harapannya kelak di semua wilayah di tanah Papua terdapat satu atau dua pasar noken khas mama-mama asli Papua, yang di dalamnya tidak saja terdapat berjuta motif noken tapi juga pernak-pernik khas Papua; topi, anting, kalung, gelang, cincin, sepatu, sendal, dan lainnya.Manusia mampu merencanakan tetapi Tuhanlah yang menentukan, semoga harapan mama-mama asli Papua yang adalah para perajin hebat kearifan lokal budaya dapat terealisasi bukan menurut kehendak manusiawi tetapi sepenuhnya terwujud nyata sesuai kehendak Ilahi. Sekian salam enamsipasi perempuan asli Papua!
)*Penulis Adalah Mahasiswa STFT “Fajar Timur” Abepura-Papua
Editor: admin