Tangisan mama Papua

oleh Daniel Isaba

mahasiswa tingkat II STFT Fajar Timur

Gereja adalah tempat Kerahiman yang melahirkan manusia-manusia bermartabat, bermoral, dan menjadikan manusia itu sendiri menjadi pribadi-pribadi yang bebas dan merdeka dalam Kristus. Kemerdekaan yang dimiliki merupakan suatu kebebasan sebagai citra Allah yang luhur, kudus, suci dan mulia. Merdeka dalam Kristus sesungguhnya suatu kebebasan yang hakiki. Sehingga Gereja hadir sebagai mama bagi manusia agar melaluinya jiwa-jiwa manusia diselamatkan dan mengangkat martabat orang-orang kecil yang ditindas sebagai manusia yang beradab.

    Demikianlah Gereja, mematuhi perintah Kristus dan digerakkan oleh rahmat dan cinta kasih Roh Kudus hadir bagi semua orang dan bangsa dengan kenyataannya sepenuhnya, untuk – dengan teladan hidup maupun pewartaannya, dengan sakramen-sakramen serta upaya-upaya rahmat lainnya mengantarkan mereka kepada iman, kebebasan dan damai Kristus sehingga bagi mereka terbukalah jalan yang bebas dan teguh, untuk ikut serta sepenuhnya dalam misteri Kristus (Ad Gentes, artikel 5 dalam Dokumen Konsili Vatikan II, 1993: 417).
Dalam Konsili Vatikan II, gereja diutus sebagai penyelamat bagi jiwa-jiwa yang tersesat, ditindas, dianiaya, didiskriminasi, dibunuh dan segala macam bentuk kejahatan. Gereja hadir sebagai Ibu dengan penuh kasih sayang untuk merangkul setiap jiwa manusia yang tersesat.
Gereja Papua telah lama menggumuli situasi umat yang ber-ragam. Ke dalaman situaasi umat yang begitu memprihatinkan, membuat situasi Gereja itu sendiri menjadi pudar. Sangat luar biasa bagi misionaris karena telah mencetak dan mendidik manusia-manusia yang hebat tapi sangat disayangkan karena manusia-manusia yang dicetak dan dididik oleh misionaris itu melayani dengan rakus, tamak, dan rampok hak-hak masyarakat kecil. Situasi Gereja Papua saat ini memperlihatkan situasi umat yang tidak manusiawi. Terjadi banyak konflik kemanusiaan yang tidak bermartabat namun belum ada solusi Gereja yang bijaksana untuk menyelesaikannya. Gereja Papua sebagai Ibu bagi umat Allah yang tertindas, di atas pangkuannya sendiri terjadi banyak ketidak-manusiawian yang begitu luar biasa namun Gereja Papua membisu seribu bahasa dalam situasi umat yang trauma. Sesungguhnya dengan situasi umat yang demikian, tidak membangun iman umat Allah akan Kristus yang bangkit.
 
 
Kehadiran Gereja di atas bangsa, tanah dan manusia Papua guna untuk menyelamatkan iman umat Allah yang tersesat. Gereja hadir sebagai jalan dengan pewartaan Injil dan diperkaya dengan budaya manusia setempat (Papua). Jalan kebenaran itu sebenarnya mengajarkan bagaimana manusia hidup beradab sebagai citra Allah yang luhur. Suatu kasih tidak bersukacita karena ketidakadilan namun ia bersukacita karena kebenaran. “Naluri untuk berbuat adil terhadap orang lain dan lingkungan sering kali terhambat oleh kepentingan-kepentingan yang subjektif” ( N. Hendra, Filsafat Demokrasi, hlm. 100).
Umat Allah Papua membutuhkan kebenaran yang membebaskan dari segala macam bentuk kejahatan manusia yang penuh kepentingan subjektif. Pengajaran dan pewartaan belum mengakar dalam hidup manusia Papua karena hingga saat ini manusia Papua sedang dalam situasi yang tidak beradab. Gereja Papua sudah hadir namun belum memangku setiap pergumulan umat Allah yang ditindas, dianiaya dan suara Mama Papua yang menangis bermandikan air mata darah ketika melihat anak-anaknya dipukul, dibunuh dan disiksa saat mencari kebenaran di jalan berdasi. Maka yang tercipta, diwartakan tanpa didengar, dibuat tanpa dipahami dan membangun tanpa memberi ruang.
Dalam acara perpisahannya, P. Frans Leishout, OFM  menyampaikan bahwa; “Jika mau jadi pewarta Injil di tanah Papua, maka jangan hanya melihat dan mendengar pergumulan umat Papua lalu menghadap ke Jawa, Kalimantan, Flores dan di tempat-tempat lainnya tetapi masuk dan jadilah pewarta kasih Allah untuk melayani umat (umat Asli Papua yang ditindas oleh kaum militerisme). Dengan begitu kita akan pahami siapa dan bagaimana manusia Papua itu berada dan ditindas”. Terkadang, pewartaan Injil tidak mendarat dalam situasi umat yang penuh trauma karena belum tau dari mana seorang pewarta harus berpijak pada kebenaran dan kemanusiaan. Keberpihakan kepada orang-orang kecil dan tertindas merupakan dasar pewartaan ajaran Kristus untuk menyelamatakan manusia-manusia dari segala macam kejahatan dunia. Namun dunia saat ini merupakan dunia yang penuh dengan kepentingan subjektif sehingga keberpihakan terhadap orang-orang kecil, menderita dan tertindas terpudar. Pemudaran itu secara tidak sengaja maupun sengaja memukul hati kecil mama Papua yang sedang berjalan di atas berlumuran darah. Darah ibu Cendrawasih yang mengalir memastikan suatu ketiakadilan yang dialami oleh umat Allah di tanah Papua.
Editor              : Melpianus Uropmabin

Leave a Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *