Mama Degei dalam Gereja
(*Oleh Topilus B. Tebai
Mama Degei sedang mengepel lantai gereja ketika dari dalam sakaristi terdengar lagi suara tangisan. Ini kali ketiga ia mendengarnya. Sejenak Mama berhenti, dia menoleh ke arah sakaristi. Pintu masih tertutup rapat. Tapi apa yang didengarnya masih terdengar lagi.
Kaki mama bergetar takut.
“Bagaimana bisa di dalam sakaristi yang terkunci itu ada suara tangis?”
Matanya masih terpaku pada kunci-kunci di tangannya. Dia penanggungjawab gereja ini, dia yang memegang kunci gereja ini. Siapa yang masuk ke sana dan menangis dari ruang keramat seperti Sakaristi?
Kakinya yang gemetar mulai melangkah. Mama mendekat. Makin dekat, tangisnya makin jelas. Ketika Mama sudah tiba di depan pintu, dengan serta-merta pintu terbuka, dan cahaya terang yang menyilaukan mata menampar wajahnya.
Sementara begitu, dengan segera Mama jatuh, lemas, tak berdaya. Tubuhnya serasa tidak bertulang. Lalu, firasatnya berkata, seseorang sedang keluar dari dalam sakaristi, dan dia inilah pemilik cahaya ini. Cahaya ini amat menyilaukan sehingga, Mama tak mampu menatap. Mama juga tidak kuasa berdiri, ia masih tengkurap di depan pintu.
“Mama, saya sedang sangat sedih.”
Seseorang dari dalam terang itu, sepertinya telah berada dekat di kepalanya. Dan dia sedang berbicara dengannya.
“Apa yang kau sedihkan, Tuhanku?”
“Bukan, saya bukan Tuhanmu. Saya salah satu sepertimu, melayani Tuhan. Saya sangat bersedih karena Tuhanku sedang bersedih.”
“Apa yang sedang membuat Tuhan kita bersedih?”
“Doa-doa umat paroki ini tidak bernazar di hadapan Tuhan lagi. Dan Tuhan murka akan kemunafikan dan kebimbangan manusia untuk menyampaikan maksud dengan jujur.”
Mama Degei diam, dia tidak mengerti apa yang diucapkan orang ini. Dan dia menanti apa yang akan disampaikannya kemudian. Sepertinya, orang itu memahami Mama.
“Tuhan sangat rindu umat menyampaikan doa atas apa yang paling mendasar yang mereka alami, rasa, dan lihat.”
Mama Degei merenung. Selama ini, semua doa-doa digunakan dan dibacakan sesuai dengan apa yang tertulis di dalam buku. Doa-doa umat pun diucapkan tepat seperti yang tertulis di dalam buku, dengan intensi permohonan yang tidak berubah.
“Apa maksudnya?”
“Betul yang kau pikirkan itu, Mama. Yang diucapkan adalah doa-doa versi teks yang sangat tinggi, di luar kenyataan hidup masyarakat sehari-hari. Mengepa begitu, Mama?”
“Karena tata perayaan ekaristi seperti itu. Doa-doa diucapkan sesuai dengan yang tertulis di dalam buku. Karena umat yakin bahwa yang ditulis dalam buku itu besar kuasanya.”
“Siapa yang mengatakan begitu, Mama? Tuhan kita justru sangat bersedih karena doa-doa tidak dari hati, tidak dari realitas hidup sehari-hari, tapi versi teks, bahkan yang tidak dimengertinya diucapkan pula setiap misa dan doa.”
Mama Degei mulai memahami maksud orang ini. Dalam hati, ia mengiyakan. Sejujurnya, doa-doa yang diucapkan seakan-akan sebuah kewajiban yang terucap, hafalan, atau tanpa dihayati sehingga keluar tidak dari hati.
“Mama, Tuhan sedang melihat penderitaan dan penjajahan umat Tuhan di tanah ini.”
Mama Degei kaget. Sejenak, dia bingung harus menjawab apa.
“Tuan, kalau yang tuan maksud adalah penjajahan dari negara ini terhadap orang Papua, itu soal politik. Gereja Tuhan tidak ikut dalam politik.”
“Siapa yang mengatan hal itu, Mama? Tidakkah kau ingat, bagaimana Tuhan memimpin bangsa Israel keluar dari penjajahan bangsa Mesir? Tidakkah umat tahu, bagaimana Tuhan sendiri bersama Yosua dan bangsa Israel merebut Kanaan?”
Tapi Mama Degei ingat, di gereja Katolik, ada ketakutan yang amat besar ketika bicara soal konflik tanah Papua, dan pergolakan politiknya. Apalagi soal mendoakan pejuang kemerdekaan Papua, hampir mustahil.
“Gereja takut berdoa untuk Papua, mungkin karena ada militer negara yang banyak di sini, tuan.”
“Siapa yang menyuruh gembala domba Tuhan takut pada serigala buas? Tuhan justru memilih mereka, menjadikan mereka gembala domba Tuhan, agar domba-domba Tuhan ini terhindar dari serigala buas. Ini yang sangat melukai hati Tuhan.”
“Kini dalam gereja Tuhan, tuhan-tuhan kecil telah mengatasnamakan Tuhan dan membuat aturannya sendiri untuk melindungi rasa amannya sendiri, melindungi keberlangsungan gereja yang memberi mereka makan dan minum juga kehormatan untuk hidup, untuk melindungi rasa takutnya sendiri. Dan demi aturan-aturan buatannya itu ia membiarkan domba-domba Tuhan binasa dicabik-cabik, dibantai tanpa ampun. Tuhan bersedih atas semua ini.”
Mama masih diam mendengarkan. Dan sepertinya orang ini sedang hendak melanjutkan kalimatnya.
“Seorang gembala yang baik merelakan nyawanya bagi kawanan domba Tuhan. Bukankah itu yang telah Tuhan kita tunjukkan ketika rela memikul salib sampai di meninggal demi domba-domba Tuhan?”
Nada bicara orang ini semakin sedih, dan, Mama Degei seperti terhipnotis, ikut merasakan perasaan sedih Tuhan. Dan dia menangis dengan sangat amat sedihnya.
“Mama, jangan bersedih. Masih ada hal lain yang hendak saya tanyakan. Mengapa umat Tuhan disini meninggalkan waani, tuupe, komauga, semua lagu dan tarian daerah, dan memilih litani, lagu-lagu di madah bakti dan puji syukur, dan yang baru-baru ini, lagu bahasa inggris dan latin. Mengapa begitu?”
“Itu karena gereja harus menyesuaikan diri dengan perkembangan zaman, tuan.”
“Tapi Mama, Tuhan amat sangat bersedih umatNya duduk di gereja, menghabiskan waktu dengan mengikuti, mendengarkan, tanpa ikut berpartisipasi. Lagu-lagu yang mereka dengar terasa sangat asing, tidak mereka mengerti, dan tidak mengajak mereka untuk turut serta. Tuhan sangat bersedih karena ekaristi kudus tidak lagi melibatkan semua umat.”
“Tuhan mendengar kehendakmu, bahkan bila itu kau sampaikan dalam diam di dalam hati. Tuhan mendengar doamu dan pujianmu dalam bahasa daerahmu. Tuhan hanya rindu semua umatNya terlibat bersekutu tiap hari minggu dalam rumahNya.”
Mama masih sedang terisak-isak, ikut bersedih. Dan orang bercahaya ini lalu berjongkok. Ia menepuk pundak mama. Lalu berbisik di telinganya.
“Mama, Tuhan tidak suka umat Tuhan berharap selamat tanpa kerja. Perjuangan pembebasan, kenyataan sehari-hari yang sulit, harus dibawa dalam kerja. Tuhan berpesan, bila gereja tidak mengajak umat untuk berjuang memimpin pembebasan, untuk bekerja bersama rakyat, maka lebih baik bagimu keluar dari gereja dan pergi ke kebun, ke organisasi, dan bekerja, berjuang di organisasi-organisasi yang ada. Dan jangan dengarkan semua omong kosong itu, karena rumah Tuhan bukan tempat para gembala membuat jalan keselamatannya sendiri.”
“Apa guna pikiran bila kau masih menganggap diri tak mampu, tidak percaya diri, lalu berdoa meminta ilham? Apa guna tangan dan kaki bila kau tak gunakan untuk bekerja, lalu kelaparan, dan kemudian berharap Tuhan menurunkan makan dari langit? Apa guna kehendak bila ia tak mampu menggerakanmu berjuang, lalu kau berdiri, duduk, mengolesi tubuhmu dengan lumpur dan abu lalu meratapi nasib burukmu? Tidakkah dengan semua caramu ini kau menistai Tuhanmu yang menciptakanmu sempurna?”
Begitu sentuhan tangan orang bercahaya itu dirasakan, ada semacam semangat, kekuatan dan gairah yang mengalir. Mama segera berdiri, dan mendapati ruangan sakaristi tempat hosti Tuhan ditaruh itu, terbuka. Dan sebuah salib kecil, tergeletak di lantai. Rupanya terjatuh.
Dengan perasaan hormat dan sedih yang bercampur, Mama Degei mengambil salib ini, meletakkannya di tempat yang layak, dan bergegas meninggalkan gereja dipenuhi semangat aneh yang menggebu-gebu, yang sedang memberinya banyak inspirasi dan kekuatan. []
Jayapura, 2015
Penulis adalah sastrawan muda Papua dan telah menulis dua buku cerpen, Aku Peluru Ketujuh (2017) dan Nemangkawi (2020).