Laporan Dewan HAM PBB, Special Procedures Mandate Holders: Masyarakat Papua Harap Pemerintah Indonesia Klarifikasi Jujur

 
Oleh: Theo Hesegem
Mengklarifiksi dan menjawab dengan jujur, terbuka dan transparan sesuai Fakta dilapangan, sangat berwibawah dan berharga dipandang Perserikatan Bangsa- Bangsa (PBB).
Dewan HAM PBB mengirim Laporan Penghilangan Paksa, Penggunaan Kekerasan Berlebihan, Penyiksaan, dan Pemindahan Paksa, surat yang dikirim tertanggal 22 Desember 2021, melalui Special Procedures Mandate Holders (SPMH), yang ditanda-tangani tiga Special Prosedural Branch OHCHR.
Jose Francisco Cali Tzay, Special Rapporteur on the Rights of Indigenous Peoples.
Maris Tidball-Binz Special Rapporteur on extrajudicial, summary or arbitrary Executions
Cecilia Jimenez-Damary, Special Rapporteur
On the Human Rights of Internally Displaced Persons
Minta kesediaan pemerintah Indonesia untuk menjelaskan dan mengklarifikasi terbuka penghilangan paksa, penyiksaan, pemindahan paksa, penggunaan kekerasan yang berlebihan di Provinsi Papua dan provinsi Papua Barat.
Laporan yang di kirim tiga pelapor khusus PBB kepada Pemerintah Indonesia adalah bagian dari wujud kepedulian dan Intervensi langsung dari Perserikatan Bangsa-Bangsa terhadap, dugaan Pelanggaran Hak Asasi Manusia di Tanah Papua.
Oleh karena itu Pemerintah Indonesia, harus menjawab dan mengklarifikasi, laporan yang dimaksud sesuai dengan kondisi real yang sebenarnya, permintaan tiga anggota Pelapor Khusus PBB, tidak boleh diabaikan oleh pemerintah dan harus ditindak lanjuti. Sangat perlu Memberikan keyakinan kepada pelapor Khusus PBB sesuai dengan fakta yang ada di lapangan. Perserikatan Bangsa Bangsa tidak mengharapkan agar Pemerintah Indonesia dibawah kendali Presiden Republik Indonesia Ir. Joko Widodo menjawab tidak sesuai dengan kondisi real yang terjadi di Papua.
Penghilangan Paksa, Penyiksaan, pemindahan paksa, sedang terjadi didepan mata kita, oleh karena itu kita mengharapakan kepada Pemerintah Indonesia untuk mengklarifikasih dan menyampaikan hasil klarifikasinya juga dengan jujur dan terbuka kepada Dewan Ham Perserikatan Bangsa-Bangsa. Sehingga tidak ada kesan buruk bagi Bangsa Indonesia dan lebih Khusus tidak mengecewakan bagi keluarga Korban dan masyarakat Orang Asli Papua.
Masyarakat Papua sudah ketahui bahwa intalasi kekerasan di tanah papua terus meningkat, hingga menelan korban jiwa termasuk anak di bawah umur juga jadi korban meninggal dihujung moncong senjata, dan ada beberapa orang hilang tanpa jejak di puncak Jaya dan beberapa daerah lain.
Apa bila Dewan Ham Perserikatan Bangsa-Bangsa, melaui SPMH, mengirim laporan kepada pemerintah Indonesia, berdasarkan data yang mereka miliki dari perbagai sumber dari Papua. Dan sebagai pembela HAM di Tanah Papua saya percaya Dewan Ham Perserikatan Bangsa-Bangsa memiliki sejumlah data terkait kasus dugaan pelanggaran Hak Asasi Manusia di tanah Papua, kalau mereka tidak memiliki data yang valit PBB sangat tidak mungkin akan menyurat kepada Pemerintah Indonesia untuk menglarifikasi.
Surat yang dikirim Dewan Ham PBB melalui Special Procedures Mandate Holders SPMH, yang ditanda-tangani, Tiga anggota pelapor Khusus Hak Asasi Manusia di Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB ), pada 22 Desember 2021 merupakan bagian dari keprihatinan terhadap semakin buruknya situasi Hak Asasi Manusia di Tanah Papua, yang selama ini Pemerintah Indonesia tidak pernah menangani dengan serius terhadap krisis kemanusiaan.
Oleh sebab itu sebagai pembela HAM di Tanah Papua, minta kepada Pemerintah Indonesia, untuk menjawab dan mengklarifikasi dengan jujur, terbuka dan transparan kepada PBB. Berdasarkan fakta kongrit dilapangan.
Selama ini kita ketahui, Istilah yang digunakan oleh Pemerintah operasi di Papua adalah “ OPERASI PENEGAKAN HUKUM “ kini sekarang dirubah menjadi Operasi Damai Cartenz di Papua, kemudian Panglima Tentara Nasional Indonesia, mengatakan pemerintah akan lakukan pendekatan Humanis. Banyak istilah yang digunakan di tanah Papua, Namun tidak pernah berhasil, kian korban terus berjatuhan.
Sebagai pembela HAM di Papua dirinya tidak mau memaksakan pemerintah Indonesia untuk mengaku dengan jujur tetapi kembali kepada kesadaran Pemerintah Indonesia sendiri, apakah mau jujur atau tidak ?
Kalau memang Pemerintah Indonesia, memiliki data dan Fakta sesuai laporan yang di terima dari tiga pelapor Khusus Perserikatan Bangsa-Bangsa pasti juga akan menjawab sesuai data yang dimilikinya.
Namun Pemerintah akan mengalami kesulitan untuk menjawab dan mengakui apa bila tidak memiliki data dan laporan tersebut, dugaan saya akan menjawab dengan mengunakan Katanya-katanya, dan mungkin. Sehingga jawaban dan klarifikasinya tidak sesuai dengan harapan yang diharapkan oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa.
Karena mau menjawab jujur dan tidak semua dari hasil pemantauan dan Investigasi. Selama ini kita ketahui bahwa pemerintah Pusat maupun Daerah jarang dan tidak pernah melakukan Investigasi Kasus-kasus pelanggaran HAM di Papua.
Sebagai pembela HAM di Papua, sedang bertanya-tanya dalam diri saya bahwa apakah Laporan dari tiga Anggota Pelapor Khusus Perserikatan Bangsa-Bangsa, akan di jawab terbuka dan transparan oleh pemerintah Indonesia atau tidak ? Tetapi dirinya belum yakin kalau pemerintah Indonesia akan menjawab terbuka dan transparan sesuai kondisi ril di lapangan.
Biasanya kita berangkat dari pengalaman karena sebelumnya, beberapa Negara mengungkapkan keprihatinan Pelanggaran HAM di tanah Papua Dalam Sidang Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa, tetapi perwakilan Pemerintah Indonesia, selalu membantah bahwa Dugaan Pelanggaran Hak Asasi Manusia di Papua tidak benar, dan dianggap Papua Aman-aman saja.
Sedangkan masyarakat Internasional mengetahui dengan benar bahwa Situasi Pelanggaran HAM di Papua semakin buruk.
Namun ada pengalaman yang saya dapat jelaskan di atas, tetapi kita menunggu episode berikut.
Presiden RI Telah Menerima Nama-Nama Korban Pelanggaran HAM Papua Di Australia
Kita ketahui pada bulan Februari 2020 Presiden Republik Indonesia Ir. Joko Widodo telah menerima nama-nama korban Pelanggaran Ham 243 orang dari Kabupaten Nduga, ketika beliau berkunjung ke Australia dan nama-nama korban yang dimaksud, diserahkan oleh aktivis Hak Asasi Manusia Veronika Koman di Auatralia. Nama-nama yang dimaksud juga kami menyerahkan melalui staf kantor sekertariat kepresidenan di Jakarta, pada tanggal 17 Januari 2020.
Namun nama-nama korban yang diserahkan kepada Presiden Rebuplik Indonesia, pada saat itu dianggap Menkopolhukam Prof. Mahfud Md membantah dan sampaikan di media masa dan mengibaratkan SAMPAH . Sehingga Pemerintah Indonesia tidak mau menangani dengan serius terhadap kasus-kasus Dugaan Pelanggaran Hak Asasi Manusia di Tanah Papua.
Sekalipun MenKopolHukam Prof Mahmud MD mengibaratkan nama-nama korban pelanggaran ham sebagai SAMPAH, namun bagi Dewan Hak Asasi Manusia di PBB, merasa Nilai kemanusiaan sangat penting. Sehingga Pemerintah Indonesia mendapat surat disertai dengan laporan Dewan Ham PBB melalui Special Procedures Mandate Holders SPMH, dan sekarang pemerintah Indonesia sulit mengibaratkan nama-nama korban dianggap SAMPAH.
Namun perlahan-lahan tibalah saatnya pemerintah Indonesia harus mengklarifikasi dan menjawab terbuka jujur dan transparan.
Menurut Saya Langkah Kongkrit Yang Bisa Dilakukan Pemerintah Indonesia Setelah Menerima Laporan
Memang terpaksa Pemerintah Indonesia harus menjawab surat dari Dewan HAM Perserikatan Bangsa-Bangsa, Special Procedures Mandate Holders SPMH. Klarifikasi yang bisa dilakukan Pemerintah kurang lebih kira-kira dua hal Klarifikasi tertulis klarifikasih pemantauan atau kunjungan langsung ke Papua dan Papua Barat.
Oleh karena itu pemerintah Indonesia wajib mengundang Dewan HAM Perserikatan Bangsa-Bangsa, untuk melakukan kunjungan ke Papua dan Papua Barat.
Keprihatinan yang datang dari Dewan HAM PBB melalui Special Procedures Mandate Holders SPMH, sama dengan keprihatinan kemanusiaan yang disampaikan Presiden Rebuplik Indonesia demi krisis Kemanusiaan di Nyanmar.
Pada 21 Maret 2021 Direktur Eksekutif Yayasan Keadilan dan Keutuhan Manusia Papua ( Pembela HAM) Theo Hesegem, menulis sebuah artikel, pada saat itu setelah mendengar Video singkat yang disampaikan Presiden Republik Indonesia, Ir. Joko Widodo, yang menyampaikan keprihatinan Kemanusiaan untuk Nyanmar. Berikut Isi artikelnya.
Presiden RI Menyampaikan Keprihatinan Kemanusiaan Di Nyammar, Tetapi Mengabaikan Operasi Militer Dan Pelanggaran HAM Berat Di Papua
Presiden Republik Indonesia, mendorong penyelesaian konflik kemanusiaan di Negara Nyanmar, tetapi dalam Rumah Tangganya sendiri tidak beres
Direktur Yayasan Keadilan dan Keutuhan Manusia Papua( Pembela HAM ) Theo Hesegem memberikan aspresiasi yang tinggi Kepada Presiden Republik Indonesia, yang mana telah menyampaikan sikap keperihatinannya terhadap konflik Kekerasan di Nyanmar.
Memang itulah sikap seorang Kepala Negara, yang memang harus mendorong dan mendesak kepada Dunia Internasional, sehingga melalui desakan yang dimaksud, agar dapat mengakhiri kekerasan di Negara Nyanmar, desakan ini agar supaya pemerintah setempat mencari solusi perdamaian untuk mengakhiri konflik kekerasan yang sedang berlangsung di Negara tersebut. Oleh sebab itu sebagai Kepala Negara menyeruhkan dan menyampaikan sikap resmi mewakili Masyarakat Indonesia.
Menurut Direktur Eksekutif Yayasan Keadilan dan Keutuhan Manusia Papua Pembela HAM Sedunia Theo Hesegem, apa yang disampaikan oleh Kepala Negara terkait konflik di Nyanmar wajar-wajar saja dan itu hal yang biasa bukan hal luar biasa, memang sebagai Kepala Negara harus sampaikan keperihatinan itu. Tetapi menurut saya sikap yang dimaksud tidak didukung dengan kondisi di negaranya sendiri.
Dukungan Kepala Negara Terhadap Konflik Di Nyanmar Dapat Mengecewakan OAP
Pernyatan dukungan Kepala Negara Republik Indonesia, Ir. Joko Widodo, terhadap konflik di Nyanmar, menyakiti dan mengecewakan Masyarakat Orang Asli Papua, yang sedang mengalami krisis kemanusiaan, dari dampak konflik kekerasan yang sedang berlangsung antara TNI/POLRI dan Organisasi Papua Merdeka di Kabupaten Nduga, Kabupaten Intan Jaya, dan Kabupaten Puncak Provinsi Papua di Indonesia.
Konflik kekerasan yang terjadi hanya bukan Nyanmar saja, konflik yang sama juga sedang terjadi di tanah Papua, oleh karena itu seorang kepala Negara tidak melihat dari kaca mata yang miring. Sedangkan di negara sendiri konflik kekerasan sedang berlangsung dan masyarakat sipil sebagai warga negara sedang mengalami tindakan kekerasan lalu apa artinya bicara untuk negara lain
Sedangkan kita ketahui bahwa korban kekerasan meningkat tinggi, bagaimana kepala Negara tidak bicara krisis Kemanusiaan yang dialami rayatnya sendiri atau konflik kekerasan yang terjadi di negaranya sendiri ? lalu bicara untuk negara orang lain ?
Menurut saya sebagai kepala negara seharusya melihat persoalan secara menyeluruh terhadap krisis kemanusiaan yang terjadi di Dalam Negeri maupun di Luar Negeri, tidak harus melihat dari sebelah mata saja
Setelah mendengar desakan yang disampaikan Kepala Negara terkait Konflik di Nyanmar, dirinya sebagai seorang Pembelah HAM sangat menghargai dan desakan itu dan sangat luar biasa sikap seorang presiden. Namun saya juga menyesal sebagai Kepala Negara tidak pernah mencari Solusi dan Format terkait penyelesaian konflik Bersenjata yang sedang berlangsung di tanah Papua.
Tanpa mencari solusi, Presiden selalu saja mengirim pasukan Non Organik TNI/POLRI untuk melakulan Operasi di Tanah Papua, Lalu menyampaikan sikap dukungan dan keperihatinan untuk mengakhiri penyelesaian Konflik di Nyanmar apakah itu sikap kepala Negara yang jujur dan adil ? Sebagai kepala negara.
Menurut Pembela HAM terkemuka pegunungan tengah Theo Hesegem, sebagai Kepala Negara harus bijak melihat persoalan yang terjadi di dalam negeri dan juga persoalan yang terjadi di luar negeri tidak harus melihat dari pandangan sebelah mata
Pantauan saya selama ini Presiden RI tidak pernah bicara penyelesaian konflik bersenjata yang sedang terjadi di tanah Papua, tetapi perintahkan aparat militer dan Polri untuk melancarkan operasi militer di tanah Papua. Kalau demikian orang asli Papua yang meninggal bukan manusia dan mereka dianggap binatang ? Sehingga Presiden hanya omong dan bicara untuk dunia lain ?
Desakan 83 Negara Terhadap KT. HAM  PBB Untuk Melakukan Kunjungan Di Papua Barat
Menurut pandangan 83 Negara di Internasional, masalah pelangaran Hak Asasi Manusia di Papua adalah masalah serius yang harus diselesaikan, sehingga beberapa Negara mendesak Komisi tinggi Ham PBB untuk melakukan kunjungan perjalanan ke Papua Barat.
Desakan dan keperihatinan ini sifatnya sama dengan desakan dan keperihatinan yang disampaikan Presiden Rebuplik Indonesia, terkait Konflik di Nyanmar, oleh karena itu Presiden Sebagai Kepala Negara juga harus terbuka menyampaikan kesediaan atas desakan 83 negara kepada Komisi Hak Asasi Manusia Perserikatan Bangsa-Bangsa untuk melakukan kunjungan ke Papua Barat.
Kalau memang menurut Presiden Republik Indonesia Ir. Joko Widodo, merasa di Indonesia dan Papua tidak ada masalah mengundang saja kepada Komisi Tinggi HAM PBB untuk melakukan pemantauan situasi HAK ASASI MANUSIA di Tanah Papua.
Saya harap bapak Presiden dan jajarannya coba buka diri dan ruang, agar dari Komisi Tinggi Hak Asasi Manusia di PBB dapat melakukan kunjungan ke Papua. Sehingga dapat membuktikan desakan 83 Negara terkait ISU PELANGGARAN HAK ASASI MANUSIA di Papua. Apa artinya Kepala Negara tidak mengijinkan Komisi Tinggi HAM PBB masuk ke Papua, lalu hanya menunjukan sikap terkait konflik kekerasan di Nyanmar ?
Direktur Yayasan Keadilan Dan Keutuhan Masyarakat Papua Theo Hesegem meminta kepada Presiden untuk melihat konflik kekerasan secara menyeluruh dan lebih Khusus kekerasan yang terjadi di Negaranya sendiri. Menurut saya seorang Kepala Negara yang tidak perhatikan rayatnya yang sedang menderita dan biarkan lalu bicara untuk orang lain, pasti rakyatnya sendiri tidak akan senang terhadap sikap seorang pemimpin.
Menyampaikan Keprihatinan Konflik Di Negara Lain, Karena Papua Dianggap Aman
Menurut Presiden Republik Indonesia, tidak perlu bicara konflik di Papua, karena sudah mengirim Pasukan Non Organik, berarti masalah Papua dianggap sudah selesai.
Menurut saya apakah konflik kekerasan dapat selesaikan dengan pendekatan Militer ? Saya yakin tidak justru akan memakan banyak korban jiwa.Karena pendekatan bukan dengan pendekatan dialogis tetapi pendekatan kekerasan.
Selama ini, Presiden selalu mengandalkan dan menghadirkan kekuatan militer di Tanah Papua, untuk melakukan operasi penegakan hukum, namun kita ketahui bahwa operasi penegakan hukum telah gagal. Apakah seorang presiden tidak punya cara lain, untuk mengakhiri kekerasan yang pada akhirnya memakan korban jiwa itu ? Atau memang Presiden harus kirim Pasukan terus menerus ke Papua Barat.
 
)* Penulis Adalah Direktur Eksekutif Yayasan Keadilan dan Keutuhan Manusia Papua (Pembela HAM sedunia).
 
 
 
 
 
 
 

Leave a Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *