Kembali Ke Spritualitas “Marga” (3/3) (Seni Merawat Eksistensi, dan Menganyam Perabadan)

 

 

Yesus Kristus dari Nazareth meninggal Hukum Cinta Kasih dua arah, Vertikal (Manusia Dengan Tuhan) dan Horizontal (Manusia Dengan Manusia), namun dalam kehidupan, kebudayaan dan kearifan lokal orang asli Papua ditemukan tiga arah relasi cinta kasih lagi, yakni Relasi Cinta Kasih Manusia Dengan Alam, Leluhur dan Dirinya Sendiri, sehingga ini kita sebut sebagai Relasi Cinta Kasih Universal.

Bahwa semangat Cinta Kasih Kristus sebagai Raja Alam Semesta itu mesti dibumikan juga oleh orang asli Papua bahwa alam itu adalah dirinya sendiri yang harus dirajai dengan penuh landasan cinta kasih Kristus Yesus dan Santo Fransiskus dari Assisi.

Ketiga, hal ikwal yang hendak penulis tegaskan dalam ungkapan Kembali Ke Marga tidak lain dan tidak bukan adalah ajakan agar orang asli Papua menjadi dirinya sendiri berdasarkan falsafah hidupnya yang terkandung dalam kearifan lokalnya, salah satunya adalah “Marga”.

Bahwa hanya dengan jalan “Kembali Ke Spritualitas Marga” saja orang asli Papua akan bisa sedikit demi sedikit keluar dari cengkeraman, jebakan, pasungan dan lilitan krisis identitas dan resesi subtansi hidup yang notabene adalah settingan dan desain penguasa dan pengusaha yang memiliki kepentingan ekonomi-politik di atas tanah Papua sejak tahun 1960an melalah strategi-strategi penjajahan yang berujung pada muara Spiritsida (Pemusnahan Mental, Spirit, Moral, dan Akhlak), Etnosida (Pemusnahan Kebudayaan), Ekosida (Pemusnahan Ekologi) dan Genosida (Pemusnahan Etnis berumpun Melanesia) di Papua.

Beberapa Penegasan

Ada beberapa Penegasan akhir dari penulis:

Pertama, Orang Asli Papua harus KEMBALI KE TUNGKU API. Bahwa gerakan Tungku Api Keluarga mesti menjadi agenda bersama di Papua, terutama di seluruh dedonimasi Gereja bukan saja Lima Keuskupan di Bumi Cenderawasih West Papua.

Perlu ada Peraturan Daerah Khusus terkait Gerakan Tungku Api Keluarga dan Kehidupan ini di semua instansi pemerintahan dan swasta baik ditingkatkan Provinsi maupun Kampung, minimal di wilayah Meepagoo dan membius ke daerah Papua lainnya.

Kedua, Orang Asli Papua harus KEMBALI KE HONAI. Seruan kenabian yang menjadi wasiat, amanah dan wejangan dari Pater Frans Lieshouet, “Guru dan Gembala Bangsa Papua” itu mesti juga menjadi Vis dan Misi Besar Bersama di semua dedonimasi Gereja bukan saja Lima Keuskupan.

Perlu ada Peraturan Daerah Khusus di semua tingkatan pemerintahan dan swasta mulai dari kampung hingga kota, minimal di Lapago dan membius ke daerah Papua lainnya.

Ketiga, Orang Asli Papua dan Pemerintah Indonesia harus mau UNTUK DUDUK BERSAMA DI PARA-PARA ADAT. Gerakan Dialog Damai menuju Papua Tanah Damai itu mesti menjadi Visi dan Misi Bersama semua pihak dan oknum yang mempunyai hati dan pikiran untuk menciptakan sesuatu yang baik di atas Tanah Papua.

Bahwa agenda Dialog Damai yang sudah dirintis oleh almarhum Pastor Dr. Neles Kebadabi Tebai mesti menjadi Agenda sentral yang mesti didorong oleh seluruh stakeholders baik pemerintahan maupun swasta, terutama dedonimasi Gereja, Lima Keuskupan Gereja Katolik dan Forum Komunikasi Kerukunan Umat Beragama di atas Bumi Cenderawasih West Papua untuk menjadikan Papua sebagai Tanah Damai.

Keempat, Orang Asli Papua harus KEMBALI KE MARGA sebagai Jalan dari Krisis Identitas dan Resesi Eksistensi, Esensi dan Subtansi Hidup. Juga sebagai Seni untuk Merawat Eksistensi dan Menganyam “Noken Perabadan Papua Baru, Papua Tanah Damai dan Papua Penuh Pujian dan Kemuliaan Nama Tuhan “.

Kelima, Indonesia sedang terlilit utang luar negeri sebesar 12.000 triliun sekian, eksistensi Indonesia terancam resesi ekonomi di tahun 2023. Di tengah itu Indonesia menempuh beragam cara, salah satunya dengan menjadi Presidensi dan tuan Rumah KTTG20 Bali pada 15-16 November 2022.

Indonesia sudah memanfaatkan momentum KTTG20 Bali sebagai ajang mencari dana dengan mempromosikan cadangan sumber daya alam tambang dan Migas di Papua dan Kalimantan dengan salah satu agenda, yakni melunasi Utang Luar Negeri saat jatuh tempo.

Presiden Joko Widodo atau Jokowi mendorong jajarannya untuk segera menindaklanjuti berbagai hasil konkret dari Konferensi Tingkat Tinggi atau KTT G20 di Bali yang telah selesai digelar beberapa waktu lalu. Presiden meminta agar segera dibentuk gugus tugas atau task force untuk menindaklanjuti berbagai kesepakatan yang telah dicapai tersebut.

Kepala Negara memerinci, setidaknya terdapat 226 proyek yang bersifat multilateral dengan nilai mencapai 238 miliar dolar AS dan 140 proyek yang bersifat bilateral dengan nilai 71,4 miliar dolar AS yang perlu segera ditindaklanjuti. Dengan demikian, total terdapat 366 proyek senilai Rp 309,4 miliar atau Rp 4.858 triliun.

Presiden Joko Widodo (Jokowi) memamerkan 366 total komitmen yang diraih Indonesia dalam gelaran KTT G20 di Bali pada 14-16 November 2022. Nilai komitmen tersebut mencapai US$309,4 miliar atau Rp4,86 triliun (asumsi kurs Rp15.729 per dolar AS).

Sekali lagi langkah konkret dan realistis yang bisa ditempuh oleh orang asli Papua adalah dan hanyalah KEMBALI KE TUNGKU API, KEMBALI KE HONAI, KEMBALI KE PARA-PARA ADAT dan KEMBALI KE MARGA sebagai Seni Merawat Eksistensi dan Menganyam Perabadan agar bangsa dan tanah Papua terbebas dari jeratan dan lilitan “iblis NKRI dan sekutunya” melalui 366 kesepakatan investasi ekonomi-politik pasca KTTG20 Bali dan Rancangan Pembangunan Jangka Menengah Nasional 2220-2024 di Papua.*

Penulis Adalah Siorus Degei Mahasiswa Sekolah Tinggi Filsafat-Teologi Fajar Timur.

 

 

 

 

 

 

Leave a Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *