Kembali Ke Spritualitas “Marga” (2/3) (Seni Merawat Eksistensi, Menganyam Perabadan)

 

Sekalipun adalah doktor lulusan salah satu Universitas Kepausan Roma, Pater Neles Tebai menjadi sosok yang mudah didekati oleh orang dari berbagai kalangan dan Ia sendiri mampu mendekati orang dari pelbagai kalangan pula.

Pemikiran Pastor Neles Tebai tentang kebenaran, keadilan, kemanusiaan, dan kedamaian sebagai “Roadmap” menuju Papua Tanah Damai tertuang dalam beberapa buku, https://www.katolikana.com/2020/11/05/meneladani-karya-perdamaian-pastor-neles-tebay-sang-penjaga-damai-di-tanah-papua/, 03/12/2022):

Pertama, West Papua: The Struggle for Peace with Justice (2005).

Kedua, Dialog Jakarta-Papua: Sebuah Perspektif Papua (2009).

Ketiga, Angkat Pena Demi Dialog Papua: Kumpulan Artikel Opini tentang Dialog Jakarta-Papua tahun 2001-2011 (2012).

Keempat, Reconciliation and Peace: Interfaith Endeavours for Peace in West Papua (2012).

Pater Neles Tebai selalu mengampanyekan kedamaian di Papua dengan optimisme dan konsistensi bahwa kekerasan, peperangan dan senjata tidak akan pernah menyelesaikan masalah, kekerasan hanya akan melahirkan kekerasan baru dan kompleksitas permasalahan semakin luas dan rumit.

Hanya dengan dialog, maka kemungkinan menuju alam perdamaian itu bisa didekati oleh kedua belah pihak yang bertikai dan berkonflik, yakni “Jakarta-Papua atau Papua-Jakarta”.

Pater Neles Tebai selalu menegaskan “Mari Torang Bicara Dulu di Para-Para Adat”. Bahkan di Makamnya tertulis kata-kata tersebut, “Mari Torang Bicara Dulu”. Kata-kata Mediang Pater Neles Kebadabi Tebai ini menyiratkan arti dan makna yang mulia:

Pertama, kata “Mari” merupakan sebuah kata seru untuk menyatakan ajakan; ayo, perintah dan atau ajakan untuk melakukan sesuatu. Pater Neles Tebai hendak mengajak masyarakat Papua dan pemerintah Indonesia untuk duduk bersama, berdialog, mengindentifikasi masalahnya dan mencari solusinya secara damai, humanis, demokratis, dan modern.

Kedua, kata “Torang” berarti “Kita”, bukan “Saya, “Kamu”, “Dia” atau “Mereka”, melainkan “Kita Semua”, yakni orang Papua dan pemerintah Indonesia. Bahwa semua aktor konflik Jakarta-Papua atau Papua-Jakarta tanpa terkecuali mesti duduk bersama sebagai saudara dan manusia yang adalah ciptaan Tuhan Maha Esa yang mulia dan luhur.

Ketiga, “Bicara Dulu” berarti Berdialog, Berkomunikasi dan Berinteraksi. Pater Neles mau mengajak Orang Papua dan Pemerintah Indonesia yang berkonflik sejak tahun 1960an hingga hari ini untuk mau Berdialog bersama-sama secara terbuka, jujur, dan ikhlas demi kepentingan kedua belah pihak dan perdamaian semua orang.

Keempat, “Para-Para Adat”, Para-Para merujuk pada suatu ruang, kesempatan atau tempat. Dalam istilah masyarakat Papua Para-Para adalah sebuah tempat untuk orang berkumpul bersama, bercerita bersama, berdialog dan membicarakan segala sesuatunya.

Istilah “Para-Para” ini serupa juga dengan istilah Serambi, Kemah, Basecamp, Tempat Kumpul Keboh, Markas Besar (Mabes), Tempat Musyawarah, Alun-Alun, dan lainnya.

Ditambah diksi “Adat” hendak menunjukkan identitas kenusantaraan bahwa Budaya Dialog, Budaya Musyawarah Mufakat adalah bukan budaya yang baru dan tabu dalam iklim dan siklus perabadan bangsa dan negara Indonesia.

Bahwa Dialog atau Musyawarah Mufakat ini adalah salah satu budaya dan identitas masyarakat Indonesia, terutama orang Papua. Bahwa Dialog adalah salah satu resolusi konflik dalam budaya orang Papua untuk menyelesaikan suatu masalah.

Di mana pihak-pihak yang berkonflik dengan dimediasikan oleh pihak ketiga yang independen, netral dan kredibel duduk bersama untuk berdialog dan menyelesaikan masalah-masalahnya dengan membuat kesepakatan-kesepakatan sebagai opsi-opsi resolusi yang bermartabat.

Melalui jalan dialog damai akan tercipta sebuah rekonsiliasi menyeluruh, utuh dan penuh antara orang Papua dan pemerintah Indonesia di mana kedua belah bersepakat bersama untuk saling berdamai dan tidak berkonflik lagi, tapi hidup damai sebagai manusia yang bermartabat dan berharga.

 

Kembali Ke Spritualitas “Marga”

Kurang lebih secara sepintas lalu kita sudah bersama memahami arti dan makna di balik ungkapan-ungkapan filosofis beberapa Bapa Bangsa Papua, yakni mediang Uskup John, Pater Frans Lieshouet dan Pater Neles.

Penulis menyangsikan bahwa wejangan-wejangan, amanah dan wasiat filosofis dari ketiga tokoh di atas ini sangat urgent mendapatkan respons positif dan kolektif dari semua orang Papua guna menciptakan tanah Papua yang damai.

Pemikiran dan pandangan filosofis tiga tokoh di atas juga sangat perlu penulis angkat dan singgung dalam penulisan ini sebab ada koneksi dan korelasi yang signifikan dengan tema pokok yang hendak penulis angkat, yakni Kembali Ke Marga.

Sebab pernyataan dasar bagaimana kembali ke Marga itu akan semakin terang benderang menemukan jawabannya jika tirai paradigma seputar falsafah Kembali Ke Tungku Api, Kembali Ke Honai dan Mari Torang Bicara Dulu di Para-Para Adat sudah terjawabi pada mula-mula pembahasan.

Kembali Ke”Marga”. Pertanyaan yang akan kita jawab adalah apa itu Marga? Kenapa harus kembali ke Marga? Ada apa dengan Spritualitas Marga sehingga ia begitu penting untuk dihidupi?

Pertama, ada sebuah pepatah Latin Klasik, yakni Nomen Est Omen yang bermakna Nama Adalah Tanda? Nama menjadi penanda esensi, eksistensi dan subtansi seseorang.

Bahwa hanya dengan mengetahui dan memahami nama dari sebuah objek atau entitas maka definisi dan deskripsi terkait objek atau entitas itu sebagai sebuah identitas dapat dipahami secara langsung dan paripurna.

Misalnya, ketika mendengar Nama Yesus maka secara tidak langsung berdasarkan pengalaman dan pengetahuan kita akan nama tersebut yang sudah terekam dalam pikiran, hati dan jati diri, kita sudah mampu mengasosiasikan kira-kira seperti apa atau siapa Yesus Kristus itu?

Hal ini serupa juga dengan nama lainnya, semisal Nama Orang Kita, saudara kita, agama kita, suku dan budaya kita, sekolah kita dan hal-hal ikwal lainnya.

Dalam konteks penulisan ini hal ikwal yang hendak penulis ketengahkan adalah bahwa sebelum orang Papua mengenal budaya penamaan modern akibat interaksi dan internalisasi nilai-nilai agama, Pendidikan, pemerintahan dan lainnya seperti nama Baptis, Nama Resmi, Nama Kependudukan, Nama Jabatan, dan jenis nama lainnya.

Jauh sebelum orang Papua berinteraksi dengan budaya dan dunia luar itu tradisi penamaan itu sudah eksis bersama orang Papua, yakni yang kini kita kenal dengan istilah Nama Adat, Nama Tanah, Nama Alam, Nama Leluhur, Nama Moyang, dan atau Nama Budaya, salah satu yang paling khas adalah Marga.

Orang Papua sebelum bertemu dengan dunia dan budaya luar tidak kenal nama Lukas, Yohanes, Matius, Markus, Fransiskus, Yakobus, Petrus, Maria, Marta, Elisabeth, Yohana, Magdalena, Ester, Rut, Sara, dan nama-nama khas teologis, biblis, dan perabadan budaya asing lainnya yang masuk ke Papua.

Kedua, masih dalam filosofi Nomen Ets Omen, diksi “tanda” yang dimaksud dalam pepatah filosofi nama ini pertama-tama bukan berarti atau bermakna “tanda” sebagaimana pada umumnya, yakni sebagai sesuatu yang digunakan untuk menujuk sesuatu yang lain, melainkan “Tanda” sebagai “spiritualitas”.

Bahwa Nama ini memiliki tanda yang berperan sebagai kekuatan, spirit dan Roh. Ada sesuatu yang “Lain” atau suatu “Zat Yang Esa dan Tinggi” di balik Nama. Sehingga jika kita tengok sejarah penamaan sesuatu pasti itu tidak dilakukan dengan sembarangan atau asal-asalan, asal mama senang, asal bapa senang, asal kaka senang dan asal Keluarga.

Melainkan perlu ada sebuah refleksi dan referensi yang mendalam sebelum memberikan sebuah Nama pada suatu objek atau entitas, baik itu manusia maupun alam hidup dan mati lainnya. Sebab kembali lagi “Nama Itu Hidup”, ada “Asas Dasar” di balik sebuah nama.

Ini juga yang menjadi alasan adanya tradisi Nama Baptis dalam ajaran Agama Katolik, di mana sebelum seseorang diterima dalam Gereja sebagai anggota keluarga Gereja dan anak Allah melalui Sakramen Baptis, Sakramen Ekaristi dan Sakramen Krisma maka orang tersebut mesti dilahirkan kembali atau lahir baru di dalam Roh dan Kebenaran melalui Simbol Sakramen Baptis, Ekaristi dan Krisma sebagai Sakramen Inisai dalam Gereja Katolik.

Orang itu akan diberikan Nama Baptis, Nama Ekaristi dan Nama Krisma, biasanya Nama Baptis ini terdiri dari atau berasal dari Nama-Nama Santo-Santa atau orang-orang beriman yang Kudus dalam sejarah Gereja atau yang berasal dari dalam Kitab Suci. Mengapa demikian?

Sebab Gereja percaya bahwa Spritualitas dari Santo-Santa atau orang-orang Kudus lainnya itu akan termanifestasi konkrit dalam kehidupan sehari-hari orang yang menggenakan Nama tersebut.

Ia juga akan diminta untuk sebisa mungkin meneladani spritualitas dari Santo-Santa atau orang Kudus lainnya yang sudah ia genakaan namanya sebagai soko guru, Patron dan teladan hidup beriman, beragama, dan bersosial masyarakat.

Dalam konteks penulisan ini orang asli Papua juga mesti SADAR bahwa “Marga” yang menjadi namanya itu pun mengandung Spritualitas yang sangat penting. Bahwa Marga itu bukan hanya tempelan indentitas semata dan belaka, ada sesuatu nilai luhur, mulia, kudus dan suci di balik “Marga”. Mengapa demikian? Berikut beberapa jawabannya:

  1. “Marga” berkaitan dengan Relasi Manusia Dengan Penciptanya

Dengan “Marga” orang asli Papua akan tahu mitologis asal-usulnya. Ia dari mana, ada di mana dan akan kemana. Ia akan tahu siapa yang menciptakannya, ia akan tahu apa atau siapa Penciptanya, apa atau siapa totemnya.

Orang Papua percaya bahwa “Marga”nya Diciptakan oleh suatu “Zat Dasar” atau “Asas Dasar” yang Kudus, Suci dan Mulai Adanya dalam sejarah peradaban kehidupan orang asli Papua.

Bahwa Pencipta itu tidak lain dan tidak bukan adalah Tuhan Allah Yang Maha Esa sebagaima yang diajarkan oleh Agama-Agama modern.

  1. “Marga” Berkaitan Dengan Hubungan Relasi Manusia Dengan Dirinya Sendiri

Setelah mengetahui dan memahami mitologis asali dan Penciptanya, “Marga” juga akan menghantarkan seseorang kepada suatu epistemologi yang komprehensif terkait siapa dirinya, dia siapa atau apa dia.

Setelah mengetahui dirinya, ia akan ditantang untuk mengenal dirinya secara utuh, penuh dan menyeluruh. Marga akan membuat seseorang untuk senantiasa mencari dan mencari esensi, subtansi dan eksistensi kediriannya yang proto, sejati, integral dan otonom.

  1. “Marga” Berkaitan Dengan Hubungan Manusia Dengan Sesamanya

Setelah mengetahui dan memahami hakekat kediriannya atau berhasil sedikit banyaknya mengenal siapa dirinya? Maka “Marga” juga akan menghantarkan seseorang untuk mengetahui dan memahami kira-kira siapa sesamanya?

Siapa saudaranya berdasarkan “Marga” atau Totem? Siapa Keluarganya berdasarkan “Marga”nya? Kira-kira “Marga-Marga” mana saja yang masuk kategori sebagai “Marga” yang halal dan tabu dalam relasi, komunikasi dan interaksi sosial, spritual, emosional dan seksual?

  1. “Marga” Berkaitan Dengan Hubungan Manusia Dengan Alam

Setelah sudah mengetahui dan memahami Marga-Marga apa saja yang menjadi keluarganya, saudaranya, pihak yang tabu atau haram, dan lainnya.

“Marga” juga akan menjadi tali perekat yang fundamental dalam mempererat relasi, komunikasi dan interaksi manusia dengan alam. Sebab mayoritas “Marga-Marga” di Papua itu bertotemkan flora dan fauna (ekologi, alam semesta) sehingga dengan menghidupi spritualitas “Marga” alam tidak dipandang lagi secara antroposentrisme atau kacamata bahwa manusialah pusat alam semesta ini yang layak menjadi penguasa atas alam ciptaan lainnya.

Namun sebaliknya alam akan dipandang secara kosmosebtrisne bahwa manusia adalah dan hanyalah salah satu elemen dalam kosmos atau manusia adalah salah satu warga bumi sehingga perlu menjaga harmonisasi relasi dengan alam.

Bahwa melalui “Marga” alam akan dihayati sebagai “saudara, Keluarga dan atau sesama”, flora dan fauna akan dipandang sebagai “nene, tete moyang; para leluhur”.

Itu berarti tindakan mengekplorasi, mengeksploitasi, dan mengekstraksi sumber daya alam itu tidak lain tidak bukan adalah tindakan Pembunuhan terhadap “sesama, saudara, keluarga dan dirinya sendiri”.

Jual-beli tanah berarti Jual-beli diri sendiri, Jual-beli hutan berarti Jual-beli hutan sendiri, Jual-beli gunung berarti Jual-beli diri sendiri. Ketika alam marah dan datang musibah datang, kira-kira siapa yang salah? Jelas yang salah ialah dan hanyalah diri sendiri.

  1. “Marga” Berkaitan Dengan Hubungan Manusia Dengan Leluhurnya

“Marga” orang Papua selalu berkaitan dengan totem yang berwujud flora dan fauna, bahkan hampir semua Totem masyarakat Timur bertotemkan flora-fauna. Itu berarti bahwa flora dan fauna itu adalah saudara, ade, kaka, om, tante, nene, tete, bapa, mama, bapatua, mamatua, bapa ade, mama ade, bahkan Diri Sendiri.

Sehingga konsekuensi logisnya adalah bahwa relasi, komunikasi dan interaksi yang dibangun harus atas dasar paradigma spritualitas ini bahwa alam itu adalah Keluarga, Diri Sendiri.

Falsafah ini senada dan senadi  juga dengan inti ajaran Santo Fransiskus dari Assisi terkait Persaudaraan Semesta yang menginspirasi Sri Fransiskus I menerbitkan Ensiklik berjudul Laodato Si yang fenomenal itu dalam rangka merespon fenomena krisis ekologis dan akhlak humanis global.

Jika kita lihat secara saksama bahwa rasanya Ensiklik Laodato Si itu sangat senyawa juga dengan falsafah orang asli Papua prihal spritualitas “Marga”. Bahwa alam itu adalah Keluarga, Sesama, Saudara, Sahabat, Kenalan, Leluhur dan Diri Sendiri. Itu berarti orang asli Papua dipanggil untuk mencintai alam seperti ia mencintai dan mengasihi dirinya sendiri. (Bersambung!).*

Penulis Adalah Siorus Degei Mahasiswa Sekolah Tinggi Filsafat-Teologi Fajar Timur Abepura-Papua.

 

 

Leave a Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *