Kembali Ke Spritualitas “Marga” (1/3) (Seni Merawat Eksistensi dan Menganyam Peradaban

 

Kembali Ke “Marga” menyiratkan sebuah makna, pesan dan seruan profetis kearifan lokal guna memproteksi eksistensi diri, alam, leluhur, sesama dan Tuhan sebagai “Asas Dasar” yang memberikan kehidupan dan keselamatan di dunia maupun di akhirat.

Di sana terselip juga semangat solidaritas, dialog dan rekonsiliasi ekologis dan humanis di bumi cendrawasih Papua yang kini hari kian terancam eksistensinya oleh karena ulah manusia yang antroposentrisme atas kosmos.

Kata-kata Kembali Ke “Marga” itu juga senada dengan apa yang selalu digaungkan oleh Mahatma Gandhi guna mengusir kolonialis dan kapitalis Eropa dari India dengan mengatakan “Kita Harus Minum Dari Sumur Sendiri”.

Kata-kata ini bernaas sebab menggambarkan adanya sebuah kemandirian dalam diri orang-orang kecil agar tidak tergantung dan candu dengan produk-produk atau program-program kapitalis yang hanya menguntungkan yang kaya dan mengorbankan yang miskin.

Kembali Ke “Marga” merupakan sebuah panggilan profetis di tengah fenomena krisis identitas dan resesi subtansi hidup sebagaimana yang terjadi pada manusia global, terutama pada eksistensi orang asli Papua di Papua.

Ungkapan kembali ke “Marga” penulis ketengahkan guna melengkapi tiga ungkapan sebelumnya yang sudah digaungkan oleh Mediang Uskup John Philip Saklil, yakni “Kembali Ke Tungku Api”, Mediang Tete Pater Frans Lieshouet OFM, “Kembali Ke Honai” dan Mediang Pater Neles Tebai “Mari Torang Bicara Dulu di Para-Para Adat”.

Sebelum lebih jauh menakar hakikat dari ungkapan “Kembali Ke Marga” rasanya perlu diketengahkan terdahulu kira-kira apa yang dimaksud oleh tiga “Guru dan Gembal Bangsa Papua”, yakni Kembali Ke Tungku Api, Kembali Ke Honai dan Bicara di Para-Para Adat.

Uskup John dan Gerakan Tungku Api

Berbicara tentang Mediang Uskup John Philip Gaiyaibi Saklil, Pr tentu tidak akan habis. Jika di tanya Siapa Itu Uskup John? Maka tentu banyak jawaban yang akan bermunculan dan bervariasi tergantung apa atau siapa yang memberikan jawaban itu.

Pasalnya, Uskup John tidak saja familiar dan populer di kalangan umat Katolik, tapi Uskup yang “Raja Mob” dan “Raja Seka” itu juga disenangi dan disegani oleh mayoritas orang asli Papua sebagai “Bapa Bangsa” dan “Gembala Yang Berbau Domba”.

Mgr. John Philip Gaiyabi Saklil (20 Maret 1960 – 3 Agustus 2019) adalah Uskup Timika pertama, yang menjabat sejak 19 Desember 2003 hingga meninggal dunia pada 3 Agustus 2019.

Dari semua karya kenabian yang sudah dibuat oleh Almarhum Uskup John, ada salah satu karyanya yang hendak penulis angkat dan refleksikan di sini, yakni Gerakan Tungku Api Keluarga (GERTAK).

Penulis merasa bahwa ini adalah karya pastoral yang par excellence, anumerta dan Opus Magnum dari Mediang Uskup John sebab seakan menjadi jawaban akan permasalahan ketidakadilan, keterasingan, ketersingkiran dan kesenjangan sosio-ekonomi di Papua pada umumnya.

Dan di Keuskupan Timika lebih khususnya akibat praktek Korupsi, Kolusi dan Nepotisme (KKN) birokrasi-demokrasi pemerintahan, akibat kapitalisasi, feodalisasi, liberalisasi ekonomi, demokratisasi teknologi, digitalisasi industri pasar, borjuasi dan kolonisasi di Papua yang massive, kontinyu, kompleks, sistematis, holistik dan komprehensif.

Berkaca dari pengalaman Suku Kamoro-Mimika We dan Suku Amungme pemilik sulung Nemangkawi yang kini menjadi konsensi tambang Freeport Indonesia (PT. FI). Uskup Timika hendak menegaskan kepada semua orang asli Papua untuk belajar dari pengalaman orang Kamoro dan Amungme yang kini menjadi penonton di atas tanah Emas, Uranium, Thorium, Titanium, Nikel, Tambang dan Cobalt.

Bahkan mereka (Suku Mimika We dan Suku Amungme) menjadi yang termiskin di antara penduduk yang miskin, menjadi yang tersingkir di antara yang tersingkir, menjadi yang terhina dina di antara yang hina dina, menjadi yang terjajah di antara yang terjajah

Gerakan Tungku Api lahir dan hadir agar orang asli Papua tidak Jual-beli Tanah, tidak Jual-beli tambang, tidak jual emas, tidak jual hutan, tidak jual sungai, danau, muara, pantai dan laut. Tidak jual pulau, tidak jual pohon, tidak jual flora dan fauna, tidak jual minyak Bumi, tidak juga sagu dan minyak sawit, dan kekayaan sumber daya alam lainnya di seluruh teritori West Papua.

Gereja Katolik telah mendeklarasikan gerakan Tungku Api “Stop Jual Tanah” oleh Uskup Keuskupan Timika, Mgr. John Philip Saklil, Pr di Modio, distrik Mapia Tengah, Dogiyai, Papua, 26 Juni 2017 silam.

Gerakan tungku api tidak sebatas melingdungi tetapi bagimana menggelolanya. Stop jual tanah berarti menyelamatkan hidup kita dan generasi penerus. Karena orang asli Papua (OAP) tak bisa hidup tanpa tanah, walaupun banyak uang. Jangan menjual tanah agar tidak kehilangan harta benda berharga para pendahulu yang akan menyulitkan anak cucu di kemudian hari.

Jaga baik dari ancaman jual beli tanah yang semakin marak dilakukan pemilik tanah dan menjadi kebiasaan baru. Tanah adalah mama yang memberi hidup seperti lazimnya dinasehati lelulur.

Ada beberapa perkataan Uskup John yang hemat penulis sangat pamungkas untuk memangkas aktivitas-aktivitas pragmatis dan hodonis dalam jati diri orang asli Papua yang memang sengaja di-setting dan di-desain oleh penguasa dan pengusaha baik ditingkatkan lokal, regional, nasional dan global yang berkepentingan di Papua.

Pertama, Tanah adalah MAMA. Ia memelihara dan memberi makan minum. Tanah adalah asal mula dan akhirat (Pengkhotbah, 12:7). Ia menyimpan emas, perak, kemenyan dan minyak bumi. Tanah dan segala isinya bukan barang jual beli.

Mari kita bersama jaga tanah agar berguna bagi anak cucu sampai selama-lamanya. Caranya, Satu Kepala Keluarga, Satu Tungku Api (OdhaOwada).

Kedua, Jangan hidup dari hasil jual tanah, tapi hiduplah dari olal tanah.

Ketiga, Kalo Ko Mo Berubah: “Ko Harus Pu Rumah Sendiri, Ko Harus Pu Kebun Sendiri, Ko Harus Pu Kandang Sendiri.”

Keempat, Melindungi dan mengelolah Pangan Lokal sebagai sumber gizi keluarga.

Kelima, Jual Tanah Gadai Masa Depan Anak Cucu.

Kata-kata Uskup Timika di atas penting menjadi bahan refleksi universal di Papua guna menyikapi tantangan kekinian yang mengancam eksistensi bangsa dan tanah Papua. Dari ancaman-ancaman SDA dan SDM Papua yang ada, perhatian besar mesti difokuskan pada kepentingan investasi Indonesia yang mengancam eksistensi a

Pater Frans Lieshouet dan Honai

Setelah sekolah dasar dan menengah gymnasium  Frans Lieshout,  lahir 15 Jan.1935 di Montfoort-Nederland, menjadi anggota persaudaraan franciskan pada tahun 1955. Studi filsafat dan teologi tahun 1956 – 1962. Pentahbisan imam pada tahun 1962.

Setelah beberapa kursus sebagai persiapan untuk menjadi misionaris di Asia ia berangkat pada bulan april 1963 ke Nederlands Nieuw-Guinea, yang sejak tanggal 1 Mei 1963 menjadi Propinsi paling timur dalam Republik Indonesia dan kini disebut Propinsi Papua.

Ia berkenalan  pertama dengan orang Balim pada tahun 1964 – 1967 dan perkenalan itu menjadi lebih intensif waktu menjabat sebagai Dekan Dekanat Lembah Balim tahun 1985-1996.

Selain di Balim ia bertugas juga di Bidogai (suku Moni) Jayapura dan Biak  sebagai Pastor Paroki, Rektor Sekola Pendidikan Guru dan Dekan Dekenat Jayapura. Sejak 1985 Warga Negara Indonesia . Pada awal tahun 2007 ia kembali ke Lembah Balim.

Pulang Kampung” untuk menikmati masa pensiun sambil menulis buku mengenai Sejarah Gereja Katolik dan upaya masyarakat Lembah Balim untuk mempertahankan dirinya dan kebudayaannya di tengah berbagai pengaruh dari luar. Selama melaksanakan tugas tugas pastor di Tanah Papua ia memberikan perhatian besar kepada kebudayaan asli Papua, khususnya di lembah Balim.

Vredigando Engelberto Namsa, OFM mengatakan bahwa Pastor Frans Lieshout menjadi misionaris di Papua pada tahun 1963 dan memulai masa tugasnya di Waris, Kabupaten Keerom. Tugas ini pada dasarnya sebagai bagian dari penyesuaian sebelum berkarya. Setelah itu, pada tahun 1963-1964 menjadi Sekretaris II di Keuskupan Jayapura.

Lebih lanjut Namsa menjelaskana, pada tahun 1964-1967 Pastor Frans Lieshout menjadi Pastor Paroki di Paroki Musatfa Balim.  Setelah itu pada tahun 1967-1973, ditugaskan menjadi Pastor Paroki di Bilogay Kabupaten Intan Jaya dan selanjutnya pada tahu 1973-1983 menjadi Rektor SPG Taruna Bhakti (sekarang dikenal sebagai SMA Taruna Bhakti).

Lieshout menjadi Pastor Dekan Dekenat Jayapura yang merangkap sebagai Dosen STFT Fajar Timur. Setelah itu, pada tahun 2002-2007 ditugaskan sebagai pastor Paroki  di Paroki Biak.

Pada tahun 2007-2019 memasuki masa pensiun. Sebagai bentuk kencintaannya kepada orang Balim, Pastor Frans Lieshout memutuskan untuk kembali ke Balim dan tinggal di sana untuk menikmati masa pensiunnya.

Berita duka datang dari seluruh umat Katolik di Papua, dimana Pastor Frans Lieshout, OFM yang telah mengabdikan hidupnya menjadi misionaris telah meninggal dunia di tanah kelahirannya di Belanda, Jumat, 01 Mei 2020, (https://cenderawasihpos.jawapos.com/berita-utama/04/05/2020/56-tahun-berkarya-di-papua-pastor-frans-lieshout-tutup-usia/, 03/12/2022).

Dari semua karya anumerta dan par excellence Pater Lieshouet di Papua. Penulis hendak berfokus pada salah satu karyanya yang adalah sebuah catatan Refleksi Pastoralnya selama 56 tahun berkarya di tanah Papua.

Sebuah perspektif menarik diungkapkan Pastor Frans Lieshout, OFM, dalam bukunya  Kebudayaan Suku Hubula Lembah Balim – Papua ” yang menggambarkan nilai – nilai orang Balim dalam kehidupan sehari-hari mulai terdegradasi sebagai dampak buruk dari pengaruh budaya luar yang masuk (perubahan jaman).

Dalam bukunya Pastor Lieshout mengungkapkan keprihatinannya dengan sebuah peribahasa Balim : LEGET AWIT MISALAGA, SA NEN HOWALOGO BINANIGIN TA? (Pagar Hidup Kami Sudah Lapuk, Siapa Yang Bisa Membangun Kembali). Pastor Frans Lieshout, mengharapkan, disinilah tugas panggilan gereja bersama umatnya untuk merajut kembali pagar yang mulai lapuk ini.

Kembali ke Honai Berarti:

Pertama, memegang nilai-nilai falsafah hidup yang ada di dalam Honai.

Kedua, menghidupkan kembali tradisi-tradisi mulia dan luhur dalam honai sebagai “Keluarga, Gereja, Sekolah dan Negara” pertama dalam kehidupan sebelum terjun ke dunia luar.

Ketiga, menghidupkan kembali kebiasaan-kebiasaan dan kebajikan-kabajikan hidup dalam kebudayaan yang sudah mulai terkikis dan terancam punah dalam honai.

Keempat, arti, makna dan simbol ungkapan Kembali Ke Honai dari Pater Frans Lieshouet ini juga merupakan satu tarikan nafas juga dengan ungkapan Uskup Timika untuk Kembali Ke Tungku Api Kehidupan keluarga.

Pater Neles Tebai dan Para-Para Adat

Siapa Itu Pater Neles Tebai? Sudah barang tentu nama Neles Tebai tidak asing lagi didengar oleh khalayak ramai. Pater Neles Tebai adalah salah satu imam Katolik Papua dan cekedekiawan terkemuka dari Papua pada zamannya.

Ia dikenal dengan banyak hal, karya, tulisan dan passion kenabian dan kemartirannya di jalan perjuangan kemanusiaan, keadilan, kebenaran dan kedamaian di bumi Papua.

Melalui Jaringan Damai Papua (JDP) Pater Neles menjadi aktor kunci yang memperjuangkan Dialog Damai Jakarta-Papua hingga akhir hayatnya. (Bersambung).*

Penulis Adalah Siorus Degei Mahasiswa Sekolah Tinggi Filsafat-Teologi Fajar Timur Abepura-Papua.

 

 

Leave a Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *