0leh: Sebastianus Iyai
Falsafah adalah pengontrol etika dan moralitas hidup yang dipraktikkan oleh anggota masyarakat suatu komunitas budaya. Secara eksplisit falsafah yang dihidupi dalam komunitas budaya sedapat mungkin mengakumulasikan cara pandang hidup dan pedoman tingkah laku yang bermartabat.
Perumusan suatu falsafah berintensi menguasahakan suatu jawaban kehidupan bagi setiap individu untuk menjalankan hidup dalam sebuah koridor dan konvensi etik budaya.
Suku Mee, salah satu suku besar di Papua, mempunyai falsafah hidup sendiri. Secara geografis suku Mee mendiami daerah pegunungan tengah Papua. Suku Mee sendiri tersebar ke tiga kabupaten, yakni Paniai, Deiyai dan Dogiyai.
Falsafah hidup suku Mee adalah dou (melihat), gai (berpikir), dan ekowai (bekerja). Tiga aktivitas penting dari aktualitas manusia ini dijadikan landasan utama dalam mengambil setiap keputusan. Penulis mencoba menguraikan tiga poin utama dari pandangan hidup suku Mee.
Dou (See, Melihat)
Saya masih ingat satu pesan moral yang didengungkan oleh orangtua kepada saya dan sanak-saudara. Pesan moral tersebut adalah dou atau melihat. Dalam konteks sosio-budaya suku Mee dou dilihat sebagai cahaya yang menuntun seseorang sebelum mengambil sebuah keputusan final dan dou juga terang bagi mereka yang bepergian.
Kita mungkin saja pernah terantuk ketika buru-buru di jalan. Saat itu orang terdekat akan mengingatkan kita dengan ucapan: makanya berjalan itu harus melihat. Peringatan ini mengandung suatu nilai kepedulian atau kritikan terhadap kita agar bisa menggunakan indra penglihatan secara efisien, fungsional, dan tetap fokus pada arah perjalanan agar kita bisa menghindar dari kemungkinan bahaya yang mengancam tubuh kita
Indra penglihatan dapat berguna tatkala berhadapan dengan dunianya. Secara holistik dunia ini adalah realitas ada bersama. Di dalam dunuialah kita mengalami perjumpaan, bahkan perjumpaan dengan yang lain itu (the other). Yang lain bisa bermakna masalah, orang dan alam sekitarnya.
Levinas mempunyai rumusan yang amat bagus dalam memberi batasan tentang yang lain. “Dia yang lain adalah yang bukan aku.” Merleau Ponty juga merumuskan, “yang lain sesungguhnya adalah yang lain”, dan kerena itu, kehadiran yang lain hendaknya dilihat juga sebagai suatu pemberian, un don (Felix Baghi:2012).
Dua filsuf di atas tersebut mengeser persepsi dan pengertian kita tentang dunia ke suatu ruang universal. Pergeseran ini sekaligus mengundang kita melihat yang lain sebagai suatu pemberian yang harus dipertahankan dan dipelihara secara kolektif. Dalam hal ini bukan problem yang perlu kita rawat dan pertahankan melainkan alam dan sesama manusia. Karena itu kita perlu memiliki mata yang bijak untuk melihat yang lain sebagai pemberian yang sangat berharga.
Gai (Think, Berpikir)
Pesan moral kedua yang selalu orangtua tekakkan adalah gai. Sewaktu masa kecil kami (saya dan sanak-saudara) rajin membuat onar di mana-mana. Sikap infantil ini membuat orang sangat emosional. Sebagai kewajiban terhadap anaknya, orangtua selalu menunggu kami di rumah dengan setumpuk nasihat.
Mereka memberikan nasehat-nasehat suci. Satu satunya ialah gai atau berpikir. Maksud berpikir tidak hanya memikirkan tindakan baik-buruk tetapi juga akibat-akibat yang muncul kemudian setelah bertindak. Mereka selalu menekankan betapa pentingnya peranan gai.
Gai (berpikir) dalam tatanan faslafah suku Mee menempati posisi kedua setelah dou (melihat). Seusai melihat suatu objek dou menyerahkan tugas dan tangunggungjawab sepenuhnya kepada gai untuk bekerja sesuai mekanismenya. Gai artinya berdialog dengan diri sendiri dan konfrontasi di dalam pengalaman.
Kehadiran objek atau yang lain memungkinkan subjek berdialog. Dialog ini berorientasi menyelidiki, menimbang dan menguji untuk menemukan suatu prinsip dasar (arche).
Selain itu berpikir memberikan kita suatu penerangan atau kepastian tentang sesuatu yang tampak. Penerangan ini membantu kita melihat yang lain secara mendalam.
Ekowai (Act, Bekerja)
Sewaktu saya masih kecil orangtua selalu mendorong saya untuk bekerja. Mereka senantiasa mengingatkan agar saya membiasakan diri bekerja. Bekerja bukan untuk kepentingan saat ini semata, melainkan juga sebagai persiapan modal untuk masa depan hidup saya.
Mereka menekankan hal ini karena suatu saat saya akan hidup mandiri. Mandiri berarti bersikap dewasa menjalani kompleksitas hidup tanpa bergantung pada keluarga seperti halnya waktu kecil.
Pada kesempatan orangtua memberikan nasehat ekowai, mereka tidak hanya memperhatikan aspek aktivitas bekerja tetapi juga menekankan hal yang amat penting dalam bekerja, yakni bagaimana bersikap dalam bekerja. Bekerja berarti berhadapan secara langsung dengan yang lain yang menjadi sasaran ekowai.
Karena itu ekowai mesti memperhatikan juga yang lain yang karena konsekunesi dari bekerja bisa berhasil atau gagal dan merugikan diri sendiri dan yang lain.
Kejahatan dan Falsafah Dou Gai Ekowai
Salah satu kasus yang masih hangat diperbincangkan saat ini adalah mutilasi 4 warga sipil oleh 11 orang, 8 TNI dan 3 warga sipil. Kejadian sadis ini terjadi di Timika pada Senin, 22 Agustus 2022. Kasus ini memberikan laporan buruk bahwa negeri ini akrab dengan kejahatan. Sangat ironis bahwa kejahatan luar biasa (extraordinary crime) difasilitasi dan dieksekusi oleh mereka yang mestinya melindungi dan memberikan keamaan untuk negara, untuk warga negara. Pengawal negara seyogianya menjalankan amanatnya seturut fungsinya yakni mengayomi, melindungi masyarakat dari berbagai kejahatan.
Hemat saya deretan kejahatan di negara kita diakibatkan oleh kecurigaan di antara sesama warga negara. Kecurigaan yang tak teratur berujung pada kejahatan yang paling mengerikan. Kita tentu bertanya dari mana sumber munculnya rasa kecurigaan mendalam di antara sesama warga negara?
Mungkin saja akar masalahnya ialah kurang adanya kepercayaan di antara sesama manusia. Kurangnya trust melahirkan kecurigaan. Dampaknya ialah saling membunuh dan memarginalkan satu sama lain.
Dari perspektif falsafah suku Mee, pertanyaan yang diajukan ialah bagaimana penjaga keamanan negara melihat (dou), memikirkan (gai), dan bekerja (ekowai) untuk negara? Mereka mesti melihat dengan mata kritisme dan cinta kasih.
Melihat menjadi bagian dari pengalaman perjumpaan untuk bisa mengetahui keadaan yang lain. Jika yang lain itu dalam koridor dou (melihat) dipandang sebagai yang lemah (warga sipil yang tidak memiliki kekuasaan) maka mesti mendapatkan perlindungan hukum dan perlakuan penuh perhatian yang egaliter.
Sesudah melihat, yang dibutuhkan ialah pertimbangan logis. Alat negara membutuhkan gai, memikirkan secara radikal apakah amanat yang saya jalankan ini sesuai mekanisme yang berlaku atau menyeleweng; dan sudah sejauh mana kehadiran saya berdampak positif bagi orang lain.
Apakah saya akan memusnahkan atau melindungi yang lain jika saya melihat dan berpikir tentang mereka sebagai penghalang atau musuh? Apakah saya memperjuangkan kepentingan pribadi dalam usaha menjalankan kewajiban dan tugas pokok militer?
Secara radikal, penulis melihat bahwa ‘kerinduan’ untuk memusnakan yang lain diakibatkan karena minimnya pengetahuan. Kekurangan ini sangat memengaruhi seseorang dalam bertindak, khususnya dalam tiga aspek penting ini, melihat (dou), berpikir (berpikir) dan cara kita bekerja (ekowai). Pengetahuan yang minim turut memproduksi kejahatan. Karena itu bisa jadi kita tidak melihat, berpikir dan bekerja sesuai harapan keadilan sosial.
Akibat yang lebih fatal kita melihat yang lain sebagai obyek yang harus diperlakukan secara brutal dan disingkirkan. Ada baiknya jika kita memodali diri dengan sebanyak mungkin pengetahuan dan belajar dari kearifan pandangan hidup budaya yang mengutamakan harmoni.
Akhirnya, dari keterangan falsafah suku Mee dapat dikatakan bahwa berbagai peristiwa tragis muncul karena hidup tidak dituntun oleh kekuatan dou, gai dan ekowai yang sungguh-sungguh memperhatikan peradaban bersama untuk saling memandang satu sama lain sebagai saudara, berpikir dengan kritis dan berani, serta bekerja penuh pengorbanan untuk keadilan sosial dan kebaikan bersama.
)* Penulis Adalah Mahasiswa Sekolah Tinggi Filsafat Katholik St. Michael “Ledalero” Maumere-NTT.
Editor: Siorus Degei