Jiwa Patriotisme Papua Dibunuh

 

Figur-figur orang Papua dibunuh dengan kekuatan Black Magic. Mereka besekongkol untuk membunuh setiap figur terbaik orang Papua dan menghilangkan jiwa perjuangan. Figur terbaik orang Papua dibunuh satu/satu. Kematian figur-figur ini seperti mimpi di siang hari. Orang Papua menyaksikan dan mengetahui dengan jelas, apa yang sudah, sedang, dan akan meyelimuti hari-hari orang Papua. Orang Papua dibunuh dengan cara yang pelan (Slow Moving Genocide).

Kondisi ini sungguh memprihatinkan bagi kita semua sebagai orang Papua. Tetapi, sejauh mana keprihatinan kita dan rasa memiliki kita? Bukankah keluarga kita dibunuh di depan mata kita? Apa yang bisa kita lakukan sebagai orang Papua?. Terutama, apa yang bisa kita jawab kepada Tuhan? Jika Tuhan bertanya, apa yang sudah kamu lakukan terhadap bangsamu yang rambutnya keriting dan kulitnya hitam?.

Rumpun persoalan ini merupakan rentetan pertanyaan yang dapat menuntun kita agar melihat lebih jauh (Duc In Altum) tugas utama kita sebagai orang Papua. Kita tidak bisa mengambil sikap apatis terhadap segala persoalan yang terjadi. Sebab, kita semua diberi tanggungjawab yang sama untuk mencari, menemukan, dan bertekun dalam panggilan dan perutusan kita di dalam bangsa. Figur-figur akan menjadi panduan guna menata masa depan tanah air dengan lebih elegan dan konsisten. Sebelumnya, apa yang mau dikatakan oleh figur-figur terbaik ini kepada orang Papua? Atau apa yang mau dikatakan oleh figur-figur ini kepada saya?. Apa yang mendorong mereka yang mau merelakan nyawa demi masa depan orang Papua di atas tanahnya sendiri?.

Kita, orang Papua adalah pertanyaan besar bagi diri kita sendiri. Kita telah diberkati oleh Tuhan dengan segala kekayaan. Tetapi, semua itu seperti menjadi kutukan bagi kita sendiri. “Kita seperti mayat hidup di atas tanah Papua”, ujar (Alm) Agus Alua. Pernyataan ini diucapkan dengan penuh kesadaran, sebab orang Papua benar-benar berada pada ancaman kematian. Seluruh nuansa politik, sosial, ekonomi, pendidikan, teknologi, bahkan religi dikendalikan oleh kekuasaan Black Magic. Sehingga, semua yang didapatkan serasa palsu dan tidak nyata. Kita berhadapan dengan ketidakpastian tanpa harapan. Namun, kita terpaksa bahagia di hadapan tirani kekuasaan. Apakah ini upaya sadar? Ataukah upaya menyelamatkan diri dan kemudian takut lagi?. Pernahkah kita bertanya dalam diri kita, ke mana kita akan pergi setelah kematian?. Sebab, kematian itu sama kuatnya dengan cinta.

“Menjual Perak untuk mendapatkan Emas”

Zun Tsu. Sebuah strategi Tiongkok (Cina) yang digunakan agar membumi-hanguskan orang Papua. Ada kesan tersendiri dengan strategi yang satu ini. Sebab, mereka melelangkan harga terjangkau untuk mendapatkan apa yang diagendakan oleh persekongkolan Black Magic. Dengan kata lain, strategi negara dengan kekuasan hitamnya ini memungkinkan sikap saling menguntungkan. Tumbalnya kepada penguasa teritorial RI adalah figur-figur orang Papua dan Penguasa RI serta sekutunya mendapatkan kekayaan alam di Papua. Percabulan sejenis ini hanya dilakukan oleh kekuasaan, yang di dalamnya diisi oleh manusia-manusia super licik. Mereka menghalalkan segala cara demi tujuan.

Kematian Bapa Filep Karma menjadi tumbal

Kematian Bapa Filep murni dilakukan oleh BIN/Bais dengan bantuan otoritas kuasa gelap. Bapa Filep adalah orang yang paling getol berbicara soal kemerdekaan dan nasib orang Papua. Sehingga, Bapa Filep mesti disingkirkan oleh oknum-oknum yang memiliki motif kepentingan Sumber Daya Alam (SDA) di Papua. Nyawa Bapa Filep menjadi tumbal. Dengan begitu, para investor dan sekutunya dapat melakukan penguasaan wilayah teritorial Papua. Sebab, Bapa Filep dianggap penghalang, sehingga mesti disingkirkan. Tindakan ini benar-benar mencoreng harkat dan martabat OAP sebagai manusia (Kej. 1:27-28).

G20 di Denpasar. Bali menjadi target dan kesempatan bagi para investor untuk menyatukan dan memudahkan agenda atas ekplorasi dan eksploitasi Rahim Papua. Kepentingan percabulan semacam ini tidak pantas bagi manusia, tetapi hanya bisa dilakukan oleh sekelompok orang yang rakus dan haus akan kekuasaan. Kelompok buta nurani ini akan berupaya untuk mengkambing-hitamkan OAP demi kepuasaan mereka. Dengan kata lain, mereka akan mencari tumbal untuk memperkaya mereka dan mempermiskin kita (OAP). Hal ini dilakukan dengan tindakan-tindakan yang manipulatif, koruptif, kolutif, dan nepotistif. Gambaran bahwa Indonesia bukan bangsa dan negara yang merdeka, namun budak kekuasan dan otoritas tertinggi, yakni dunia.

Demi kepentingan, Bapa Filep yang adalah Bapa Bangsa Papua telah menjadi tumbal. Sebagaimana peristiwa kematian Bapa Filep yang menggelisahkan dan merupakan fenomena yang misterius. Artinya, kematian Bapa Filep adalah murni bermotif. Mereka mengajaknya untuk menyelam. Ajakan itu pasti bukan kemauan Bapa Filep, tetapi dibantu oleh kuasa gelap yang berasal dari penguasa laut RI, termasuk Papua secara politik. Pikiran Bapa Filep, menurut saya, dihilangkan oleh oknum berkepentingan. Dengan tujuan, mereka mau membunuh Bapa Filep dan menjadikan pantai sebagai dalil. Dalilnya, Bapa Filep mati dikarenakan tenggelam. Aneh juga, Bapa Filep adalah orang pantai yang hidup dan bertumbuh di Pantai. Bagaimana caranya Bapa Filep bisa tenggelam dan terdampar di Pantai Base G? Kalau bukan dibunuh.

Dalam sejarah kekuasaan dunia ini tentu dipenuhi dengan trik dan intrik. Kematian Bapa Filep Karma memberikan satu lintasan baru bagi RI guna menguasai dan merebut kekuasaan secara sistem politik maupum spiritual. Permainan ini bukan lagi melaui jalur fisik saja, tetapi melalui jalur metafisik. Logika kekuasaan adalah keserahkaan dan kemunafikan. Sedangkan, logika Tuhan adalah cinta yang memberi dengan total tanpa pamrih. Dua hal yang bertolak belakang, sehingga tidak mungkin dalam pikiran RI yang diselimuti dengan kekuasaan gelap dapat memiliki niat yang baik bagi orang Papua. Sebab, kenyataannya RI hanya mencintai kekayaan alamnya saja bukan orang Papua.

Jiwa orang Papua harus hidup di dalam Tuhan

Sekarang, orang Papua mesti kembali ke dalam diri dan merenungkan keadaan dirinya dengan bertanya, siapa saya?, saya berasal dari mana?, dan saya mau ke mana?. Rumpun pertanyaan ini hendaknya menjadi penuntun kita untuk menyadari asal kita dan tujuan hidup kita. Sebab, Tuhan akan bertanya kepada kita sebagai pencipta dan pemilik, Ia akan bertanya, apa saja yang sudah kita lakukan terhadap sesama kita orang Papua, alam Papua, dan bukti pengabdian kita kepada-Nya?.

Ketika kita tahu bahwa pengadilan yang paling kejam adalah mengadili diri sendiri, maka kita akan tahu betapa sulitnya dan menyedikannya kita menjadi orang Papua di tanah Papua. Tetapi, Tuhan rupanya masih memberikan kita kesempatan (Sadar, Menyesal, Bertobat, dan Berdamai di dalam-Nya) untuk kembali dan berbakti kepada Dia dalam karya serta karsa. Dengan begitu, kita bisa memberikan jaminan kehidupan dan masa depan bagi anak cucu kita di atas tanah yang penuh susu dan madu ini. Tuhan memberkati kita semua. Amin.

Penulis adalah Yosep Riky Yatipai Alumnus Sekolah Tinggi Filsafat-Teologi “Fajar Timur” Abepura-Papua.

Leave a Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *