EKSISTENSI ORANG PAPUA
(*Oleh: Christ Dogopia
1. Eksistensi Orang Asli Papua
Ada dua hal yang hendak kami uraikan pada bagian ini. Pertama adalah konsep tentang orang asli Papua. Kedua adalah konsep tentang eksistensi orang asli Papua. Pentingnya suatu pemahaman tentang konsep orang asli Papua akan memudahkan kita membahas pokok-pokok lainnya. Siapakah orang asli Papua merupakan pertanyaan yang akan dijawab pada bagian pertama. Jawaban dari pertanyaan ini akan memampukan kita membedakan orang asli Papua dari orang non asli Papua. Melaluinya kita menghindari salah pengertian akan konsep tentang orang asli Papua.
Pertanyaan kedua memberikan penegasan secara umum tentang eksistensi orang asli Papua itu sendiri.
Eksistensi yang dimaksud pada bagian ini berkaitan langsung dengan cara berada orang asli Papua yang khas, perihal tempat di mana ia berada secara geografis, mata pencahariannya secara ekonomis, sistem kepemimpinan adat secara politik, sistem kekerabatan secara sosial dan budaya perihal falsafah hidup. Bagaimana eksistensi orang asli Papua merupakan pertanyaan yang akan dibahas pada bagian kedua. Konsep tentang eksistensi orang asli Papua akan membantu kita memahami cara beradanya. Sehingga pada pembahasan selanjutnya, tidak menimbulkan pertanyaan.
2. Konsep Orang Asli Papua
Siapakah orang Asli Papua? Jawaban dari pertanyaan ini akan memberikan gambaran tentang konsep siapa itu orang asli Papua. Di samping itu, konsep tentang orang asli Papua secara langsung menciptakan pembatasan. Melalui perbedaan ciri-ciri dan atau ketegori-kategori tertentu orang asli Papua dapat dibedakan dari “yang lainnya.” Pembatasan mengarahkan pemahaman yang akan mengerucut pada suatu definisi tentang orang asli Papua. Pada lain sisi, definisi mengarahkan kita untuk secara tersirat mengakui “ada yang lain” dari pembatasan itu atau “ada yang bukan” atau “ada yang tidak termasuk” atau “ada yang berbeda” dari definisi itu sendiri.
Baiklah, pembahasan ini dimulai dari lagu yang berjudul “Aku Papua,” karangan Frangky Sihalatua, yang dinyanyikan oleh Edo Kondologit. Lagu ini secara singkat dan padat mendeskripsikan tentang siapa itu orang asli Papua. Salah satu frasa dari liriknya berbunyi: “Hitam Kulit, Keriting rambut, Aku Papua.”
Secara gamblang ditegaskan berdasarkan ciri fisik ‘kulit hitam’ dan ‘rambut keriting’ menegaskan bahwa Orang asli Papua adalah orang yang berkulit hitam dan keriting rambut. Jika mengacu pada konsep dari syair lagu tersebut, berarti semua orang yang berkulit hitam dan berambut keriting adalah orang asli Papua. Dengan demikian, berarti bahwa mereka yang berada di benua Afrika atau pun di benua lainnya yang berkulit hitam dan berambut keriting, juga termasuk Orang asli Papua. Konsep ini kabur dan membingunkan, karena tidak memberikan batasan yang jelas dan tidak secara tepat menegaskan siapa itu orang asli Papua.
Penegasan konsep orang asli Papua, hitam kulit dan keriting rambut, tidak lebih hanya mendeskripsikan rumpun ke-melanesia-annya saja. Di samping ciri umum tersebut, ada juga beberapa hal mencolok yang dapat memberikan penegasan siapa itu orang asli Papua. Penegasan itu mengacu pada konsep yang tercantum dalam Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2001 Tentang Otonomi Khusus bagi provinsi Papua. Menurut Undang-Undang ini, pasal 1 huruf (t), Orang Asli Papua adalah:“Orang yang berasal dari rumpun ras Melanesia yang terdiri dari suku-suku asli Provinsi Papua dan atau orang yang diterima dan diakui sebagai orang asli Papua oleh masyarakat adat.”
Konsep ini juga mengakui orang yang bukan asli Papua tetapi diterima dan diakui oleh masyarakat adat sebagai orang asli Papua. Sedangkan masyarakat adat itu sendiri adalah: “Warga masyarakat asli Papua yang hidup dalam wilayah dan terikat serta tunduk kepada adat tertentu dengan rasa solidaritas yang tinggi antara para anggotanya.”
Dengan demikian, dari konsep ini unsur yang mencolok adalah rumpun ras Melanesia -hitam kulit dan keriting rambut- yang terdiri dari suku-suku asli Provinsi Papua. Artinya orang-orang kulit hitam dan rambut keriting yang sejak dahulu menetap di pulau Papua, yang adalah provinsi dari negara Indonesia, dan tidak termasuk Papua New Guinea atau pun benua Afrika lainnya.
Konsep Orang Asli Papua menurut UU OTSUS, menimbulkan problematika tersendiri. Dalam penelitian yang dilakukan oleh Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) lebih jauh membahas problematika tersebut. LIPI mencatat:
“Dalam wacana Populer, yang dimaksudkan dengan orang Melanesia adalah mereka yang memiliki ciri-ciri berkulit hitam dan berambut keriting. Bagi orang asli Papua asal pegunungan, kriteria ini dapat diterapkan dengan mudah. Namun bagi orang asli Papua dari daerah pantai dan kepulauan yang memiliki sejarah panjang interaksi, terutama kawin campur dengan suku-suku lain di luar Papua, tolok ukur ‘keriting’ dan ‘hitam’ menjadi kabur.”
Dengan adanya pertimbangan ini maka, dalam konsep orang asli Papua menurut UU OTSUS ditambah satu frasa “orang yang diterima dan diakui sebagai orang asli Papua oleh masyarakat adat Papua.” Penambahan prasa ini menimbulkan kekaburan akan siapa itu ‘masyarakat adat Papua.’ Dalam kasus ini yang berhak menentukannya adalah Majelis Rakyat Papua (MRP) melalui pleno voting. Dengan demikan Dewan Adat Papua atau DAP tidak mempunyai hak menentukannya, seperti yang terjadi pada pemilihan gubernur tahun 2005.
Penambahan frasa “orang yang diterima dan diakui sebagai orang asli Papua oleh masyarakat adat” dengan sendirinya secara tegas memasukkan mereka yang sering diistilahkan dengan peranakan, baik ibu atau ayah yang berasal dari atau bukan orang asli Papua. Namun itu pun terjadi jika dan hanya jika diterima dan diakui oleh masyarakat adat setempat.
Definisi di atas, pada dirinya sendiri menegaskan pembatasan yang membedakan antara orang asli Papua dan non asli Papua. Dalam terminologi ‘non Papua’ terkandung beberapa istilah yang sering digunakan untuk menyebut mereka yang datang dengan motivasi tertentu, misalnya pedagang, atau pun siapa saja yang datang demi keuntungan ekonomis atau perbaikan hidup, karena tugas kenegaraan. Misalnya TNI/POLRI, Pegawai Negeri Sipil dan lain sebagainya, dan karena misi keagamaan ke tanah Papua. Misalnya Ordo-Ordo Religius dalam gereja Katolik dan pendeta-pendeta protestan (Misionaris dan Zending). Mereka bukan orang asli Papua. Maksudnya mereka tidak termasuk dalam definisi tentang orang asli Papua atau bukan berasal dari ras rumpun Melanesia yang terdiri dari suku-suku di Papua. Beberapa istilah yang sering disebutkan kepada mereka adalah amber, pendatang, non Papua, trans, BBM (Bugis, Buton dan Makasar), rambut lurus.
Dr. Benny Giay memberikan definisi yang lebih ekstrem tentang konsep orang asli Papua. Dia menyebutkan perbedaan-perbedaan yang menyolok, seperti makanan dan pakaian, warna kulit dan rambut, rumah, tanah dan tempat tinggal. Definisi ini lebih mengacu pada fakta yang ia temukan, di lapangan, antara lain di Beoga dan Paniai. Berdasarkan pembatasan, Dr. Benny Giay, maka sederhananya dapat disimpulkan bahwa orang non-Papua adalah mereka yang berasal dari luar pulau Papua, karena makanan dan pakaiannya, warna kulit dan rambut, tanah dan tempat tinggalnya berbeda dengan orang asli Papua. Atau kebalikannya, bukan berasal dari pulau Papua berdasarkan perbedaan-perbedaan di atas, misalnya: warna kulit, pakaian dan makanan.
3. Konsep Eksistensi Orang Asli Papua
Pada bagian awal di atas, kami telah menguraikan konsep tentang siapa orang asli Papua. Bagian ini, lebih dalam mengkaji tentang eksistensi orang asli Papua itu sendiri. Konsep eksistensi yang dimaksudkan di sini adalah cara berada yang khas orang asli Papua. Cara berada yang khas membuatnya berbeda dari “yang lainnya” atau dari non Papua. Atau dalam bahasa Jan Bolaars: “Mereka mempunyai cara yang amat khas mendekati dunia mereka dan sesama manusia.”
Dari definisi mencolok yang dikemukakan oleh Dr. Benny Giay pada bagian sebelumnya, beberapa hal pokok ditegaskan selain warna kulit dan rambut keriting adalah perbedaan tempat tinggal, makanan, rumah dan pakaian. Di samping itu hubungan sosial kemasyarakatan, politik dan budaya juga membedakan orang asli Papua dari yang lainnya. Maka pada pembahasan ini eksistensi orang asli Papua akan disoroti secara lebih luas berdasarkan letak geografis, ekonomi, politik, budaya dan sosialnya secara umum memperlihatkan perbedaan mencolok.
Hal ini perlu dibahas karena akan memudahkan kita dalam pemahaman dan pembatasan pokok pembahasan selanjutnya. Dengannya kita dapat melihat atau sekurang-kurangnya meninjau kembali konsekuensi dan tantangan dari pemekaran.
a. Geografis
Di manakah orang Papua itu berdomisili? Pertanyaan sederhana ini akan menuntun uraian pada pokok bahasan tentang kondisi geografis tempat tinggalnya orang Papua. Menurut C. Walker dan Mansoben yang dikutib oleh Handro Yonathan Lekitto, secara geografis ada empat wilayah besar tempat tinggalnya orang Papua, yaitu:
1. Orang Papua yang berdomisili di wilayah daerah pantai dan muara sungai, seperti pada orang Asmat dan Mimika, Airu dan Dabra (Mamberamo Raya). Sistem matapencarian mereka sangat bergantung pada pola meramu (sagu) dan menangkap ikan serta sedikit beternak.
2. Orang Papua yang berdomilisi di sekitar wilayah kepulauan, seperti pada orang Biak, Serui, Raja Ampat dan Kimaam (Kolepom). Sistem mata pencarian mereka adalah menangkap ikan, berkebun, sedikit meramu (terutama sagu), sedikit beternak dan berburu.
3. Orang Papua yang berdomisili di sekitar wilayah kaki gunung serta lembah-lembah kecil. Sistem mata pencarian mereka adalah berburu, meramu sagu, berkebun dan beternak. Seperti pada orang Muyu, Genyem dan Arso.
4. Orang Papua yang berdomisili di wilayah pegunungan tinggi. Sistem matapencarian mereka yang utama adalah berkebun dan beternak. Seperti suku Mee, Huwula, Migani, Wolani, Damal, Amungme, Yali, Lani dan Ngalum.
Dari uraian di atas, hemat kami masih ada pertanyaan yang tertinggal. Bagaimana dengan orang Papua yang tinggal di sekitar wilayah danau-danau dan sungai-sungai besar. Seperti di Paniai, Sentani dan Mamberamo. Dengan demikian, berarti kita dapat menambahkannya sebagai berikut: Selain itu ada juga Orang Papua yang berdomisili di wilayah pinggiran danau-danau di dataran tinggi pegunungan dan Orang Papua yang berdomisili di wilayah pinggiran danau pesisir pantai. Ada juga orang Papua yang berdomisili di wilayah sungai-sungai besar, seperti sungai Mamberamo, sungai Pause, sungai Daron Kabur.
Berdasarkan uraian di atas, maka secara geografis wilayah tempat orang Papua berdomisili terdiri dari enam (6) wilayah, yaitu:
1. Daerah pesisir pantai
2. Daerah pegunungan tinggi
3. Daerah lembah-lembah pegunungan
4. Daerah sekitar pinggiran danau
5. Daerah sekitar pinggiran sunggai dan
6. Daerah rawa-rawa
3.1.2.2. Ekonomi
Uraian pokok ini lebih meninjau ke masa yang lampau. Maka dari itu kami merujuk pada data-data antropologis yang ada sejauh mengambarkan situasi masa lampau. Hal ini mengingat penekanan pada waktu yang lampau akan membantu ulasan-ulasan selanjutnya. Artinya berdasarkan masa lampau ini, kami hendak melihat konsekuensi dan tantangan yang diakibatkan oleh pemekaran itu sendiri, dengan pertanyaan lanjutannya adalah: apakah keadaan ekonomi masa lampau itu masih tetap dipertahankan atau mengalami perubahan sebagai akibat pemekaran? Apa konsekuensi dan tantangannya ?
Pada bagian ini yang kami maksudkan dengan ekonomi adalah mengenai matapencaharian. Berdasakan letak geografis di atas, dengan mengikuti ulasan Pater Yan Boelaars, secara umum mata pencaharian orang Papua dibagi menjadi dua, yaitu:
a. Peramu
Kaum peramu biasanya hidup bukan berdasarkan sesuatu yang tetap. Melainkan mereka mengambil dari hutan dan rawa, laut dan sungai apa saja yang menjadi kebutuhan pangan mereka. Pola hidup mereka berpindah-pindah, dari satu tempat ke tempat yang lain. Mereka tergantung pada kemurahan alam yang secara alamiah menyediakan makanan bagi mereka. Mereka hanya memetik atau memanen hasil alam itu tanpa menanam atau mengembangbiakannya. Ada juga beberapa kaum peramu yang berternak dan sedikit berladang. Orang Papua ini memanfaatkan kemurahan alam untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Hasil alam yang dimanfaatkan antara lain: sagu, ikan, binatang buruan dan lain sebagainya.
b. Petani
Kaum petani hidupnya berbeda dengan peramu. Mereka hidup secara menetap di suatu tampat dan hidup dari hasil pertaniannya. Kehidupan mereka bergantung pada hasil pertanian. Mereka harus menunggu waktu memanen, mengumpulkan dan bercocok tanam lagi. Di samping itu untuk mengisi waktu luang lainnya, mereka biasanya beternak, menangkap ikan dan berburu khususnya pada malam hari. Kerja keras mengolah tanah, memelihara tanaman baik dari gangguan binatang dan tumbuhan pengganggu menjadi bagian keseharian hidupnya. Hasil tanaman petani ladang ini berupa; umbi-umbian, sayur-sayuran dan sedikit buah-buahan.
Umumnya orientasi perekonomian orang Papua bersifat subsisten. Artinya mereka memanfaatkan kemurahan alam dengan meramu maupun bertani pertama-tama hanya untuk pemenuhan kebutuhan hariannya saja. Walau pun ada sistem tukar menukar atau perdagangan tradisional ‘barter,’ itu pun dilakukan demi memenuhi kebutuhan harian dan menjalin relasi sosial demi persahabatan dan persaudaraan yang lebih luas. Agus A. Alua menguraikan dengan baik sebagai berikut:
“…Setiap kali ada pertukaran barang-barang di situ diciptakan suatu kesempatan untuk mengembangkan dan memperkokoh hubungan atau relasi, dan pencapaian akan pengembangan relasi itu jauh lebih penting dari pada pertukaran barang itu”
Bagi orang Papua, nilai memberi atau membagi hasil panen merupakan unsur terpenting dalam perekonomian. Karena nilai ekonomi juga berkaitan erat dengan hubungan sosial-politik kemasyarakatan. Dengan bahasa lain, nilai ekonomi dan sosial-politik saling mempengaruhi satu sama lain dalam rangka mempertahankan dan memperluas kohesi sosial.
b. Politik
Politik yang kami maksudkan pada bagian ini adalah sistem kepemimpinan politik dan cara mencapainya secara tradisional di tanah Papua. Menurut Mansoben yang dikutip oleh Lekitoo, terdapat empat sistem kepemimpinan Tradisional di Papua, yaitu:
1. Sistem kepemimpinan Big Man (pria berwibawa), diperoleh melalui pencapaian usaha pribadi (achievement status). Big Man ini terdapat di wilayah seperti pegunungan tengah pada suku Hubula, Mee, Migani, Damal, Yali, Ngalum dsb.
2. Sistem kepemimpinan kepala Klen (ondoafi), adalah sistem kepemimpinan yang kedudukan seseorang diperoleh melalui pewarisan (ascribcment status). Umumnya terdapat di wilayah Tabi, yakni suku-suku seperti Tobati, Kayu Batu, Sentani, Nafri, Genyem dsb.
3. Sistem Kepemimpinan Raja, kedudukan seorang raja diperoleh melalui pewarisan dari ayah kepada anak laki-laki tertua. Sistem kepemimpinan ini umumnya terdapat di wilayah seperti, Kepulauan Raja Empat (kerajaan Sailolof, Samate), Fakfak (kerajaan Fatagar dan Bauw), Kaimana (kerajaan Namatote). Sistem kepemimpinan klen dan kerajaan memiliki perbedaan yang terletak pada luas jangkauannya. Sistem klen jangkauannya terbatas pada klen tertentu. Sedangkan kerajaan lebih luas, meliputi kebudayaan dan bahasa yang beragam.
4. Sistem kepemimpinan campuran, adalah sistem kepemimpinan kombinasi. Yakni ada sistem yang statusnya diperoleh melalui pewarisan dan ada yang melalui pencapaian. Sistem ini terdapat di wilayah seperti Biak Numfor (Mansren Mnu atau tuan tanah, Mansren Manggundi, Manibob dan Konor), Yapen Waropen dan Manokwari.
Hal yang mencolok bahwa pencapaian melalui usaha pribadi berkaitan erat dengan kemampuan-kemampuan tradisional tertentu. Misalnya: pencapaian karena mampu memanipulasi kekuatan-kekuatan im-personal dalam menangani problem kehidupan. Di sisi lain pewarisan kepemimpinan lebih merupakan pelimpahan kekuasaan kepada generasi penerus dari keturunan raja. Sistem pewarisan ini juga menggarisbawahi keturunan adikodrati dari kerajaan itu sendiri.
Karakteristik utama dalam aspek perpolitikan orang Papua berkaitan erat dengan kemampuan seseorang memanfaatkan kekuatan-kekuatan supranatural. Pencapaian melalui usaha pribadi atau pun pewarisan pada prospeknya melibatkan daya ilahi di luar diri, yang pada prinsipnya dipercaya mampu membantu seseorang mencapai status tertentu. Dengan lain perkataan, aspek religi pun turut berperan.
c. Budaya
Aspek budaya yang dimaksudkan pada uraian ini adalah falsafah hidup terutama pandangan terhadap alam semesta dan sesama. Uraian ini secara umum mengikuti sistem mata pencaharian orang Papua, yaitu: sebagai peramu dan petani. Kami menegaskan pokok ini karena asumsi dasarnya adalah bahwa matapencaharian turut membentuk falsafah hidup. Pentingnya penegasan pada pokok ini tentunya sebagai peramu dan petani, falsafah orang Papua akan diperhadapkan pada suatu sistem penataan dunia baru yang memaksanya keluar atau sekurang-kurangnya meninggalkan falsafah hidup yang dikatakan sudah ‘usang’ di zaman ini. Selain itu, penegasan lain adalah pandangannya tentang diri dan sesama. Terutama konsep mengenai ‘adanya’ dan ‘yang lain.’
Pola hidup peramu turut mempengaruhi falsafah hidup orang Papua yang bermata pencaharian sebagai peramu. Bagi kaum peramu, alam ini sangat besar dan dashyat. Mereka merasa diri kecil dan tidak berdaya terhadap alam. Hal ini tidak berarti mereka merasa rendah diri. Sebaliknya mereka mempunyai harga diri yang tinggi, karena mampu bertahan dalam alam yang cukup berat. Terhadap alam dan sesama, mereka memandang dirinya ‘ada dengan,’ hidup bersama yang lain di dalam dunianya. Sehingga ia tidak mempertentangkan dirinya dengan yang lain. Ia menjadi bagian dari “yang lain” itu. “Yang lain” dan dirinya, baginya adalah pemberian yang bisa dimanfaatkan, dinikmati, dan dipetik guna mempertahankan dan melangsungkan hidupnya.
Kemurahan alam menyediakan bahan makanan yang melimpah baginya. Ia hanya memetik hasil tersebut dengan mudahnya. Hal ini tidak berarti si peramu tidak berusaha mendapatkannya. Melainkan ia harus berebut bagiannya. Dengan demikian nasibnya ada di tangannya. Ia harus memanfaatkannya dengan baik. Pengalaman berhadapan dengan dunia dan sesamanya mengantar kaum peramu pada suatu pandangan bahwa dunia mempunyai sifat-sifat dan kekuatan yang bisa dimengerti dan dimanfaatkan dan juga tidak.
Bagi kaum petani ladang yang juga terdapat pada peramu, pada dasarnya semua yang ada dalam dunia ini hidup. Hidup itu saling mempengaruhi, harus diperhatikan, dipelihara dan dihormati sehingga keamanan akan terjamin berkat hubungan yang harmonis antar sesama. Sebagai petani, ia membuat, mengolah dan memelihara dunianya. Hal ini mengandaikan adanya keterlibatan semua pihak. Karena itu kerja sama menjadi unsur terpenting di kalangan petani. Sebagaimana mereka ada dalam kesatuannya dengan komunitas, membentuk satu keluarga besar, memberikan arti dalam hidupnya.
Keterkaitan satu sama lain, ketergantungan antar sesama, bagi orang Papua merupakan satu kesatuan dalam kehidupannya dan saling memberi arti. Dunia dan sesama – sesama manusia dan alam semesta – dalam pandangan orang Papua, memiliki keterkaitan, membentuk satu kesatuan yang dimasukkan dalam komunitasnya atau dalam bahasa Jan Boelaars disebut sebagai keluarga besar.
‘Adanya’ dalam arti bersama membentuk dan menentukan adanya yang lain, mengutamakan keterlibatan seorang individu dalam kehidupan komunitas. Dalam keterlibatan di komunitasnya, ia mendapat arti dan makna dari hidupnya sendiri. Ia mempengaruhi dan turut berpengaruh. Di luar komunitas, ia menjadi terasing dan terbuang, seperti apa adanya, tetapi bukan bagaimana ia berada. Yan Boelaars menguraikan:
“Selalu terdapat perasaan, bahwa dunia mereka merupakan suatu keluarga yang besar, suatu keseluruhan mahluk-makluk yang berpikir dan merasa, yang di dalamnya orang-orang yang sudah meninggal, yang sekarang masih hidup, binatang dan roh-roh menjalani hidup dalam hubungan timbal balik.”
Unsur yang menentukan keterlibatan dalam komunitas adalah ikatan-ikatan sosial, budaya dan genealogi tertentu, saling mempengaruhi eksistensi satu sama lain. Hal yang menarik dalam aspek falsafah hidup selalu berkaitan erat di antara unsur-unsur fundamental dalam hidup, yaitu religi. Dalam keterlibatan di komunitas, fenomena-fenomena alam, problem kehidupan selalu saja dikaitkan dengan pengaruh ‘yang lain,’ atau keterlibatan mahluk adikodrati dan roh-roh yang memiliki kekuatan supranatural tertentu. “Katerkaitan, keterlibatan, mempengaruhi dan dipengaruhi” antar sesama – manusia, alam semesta, roh-roh, binatang-binatang dan mahluk ilahi – memberikan khazana tersendiri dalam pandangan orang Papua, seperti yang diuraikan oleh Yan Boelaars di atas.
Hubungan timbal balik yang berciri resiprositas lebih dipandang sebagai “cara berada dalam keterkaitan, keterlibatan yang saling mempengaruhi dan dipengaruhi, saling memberi arti.
Dalam pandangan orang Papua “saling berbagi hasil atau memberi” di antara satu sama lain merupakan aspek fundamental yang menjiwai orang Papua.” Hidup bagi orang Papua, bukan hidup bagi diri sendiri/individualis, melainkan bagi sesama. Karena itu bagi orang Papua, ‘adanya aku’ tidak terlepas dari ‘adanya yang lain’ sebagai keluarga besar yang saling mempengaruhi. Unsur ini tercermin dalam sikap saling berbagi panen atau hasil.
“Ada” bagi orang Papua adalah ada dalam dan dalam kebersamaan – keterlibatan, keterkaitan, ketergantungan yang saling menguntungkan dan mempengaruhi, keterhubungan yang pada akhirnya ‘menjaga dan melestarikan keutuhan, keharmonisan hubungan – antara sesama manusia, alam ciptaan, roh-roh leluhur dan mahluk ilahi – secara timbal balik’ menjadi cita-cita dan harapan yang terus diperjuangkan. Karena dalam pendangannya ‘Ada’ berarti selalu ada bersama dan di dalam kebersamaan–komunitas adat (co-eksistensi). ‘Ada’ berarti selalu saling mempengaruhi dan memberi arti (co-relasi). Ada berarti selalu saling memberi dan menerima (take and give). ‘Ada’ berarti selalu saling menguntungkan. Ada berarti selalu saling memberi arti akan adanya yang lain.
Bagi orang Papua ‘ada’ selalu berkonotasi “bersama” dalam keterkaitan, keterhubungan, ketergantungan yang saling mempengaruhi secara timbal balik. Sehingga, relasi keterhubungan yang harmonis di antara sesama ‘keluarga besar’ perlu dijaga agar hidupnya selamat.
e. Sosial
Pokok bahasan ini lebih menitikberatkan pada relasi-relasi sosial yang dibangun di antara orang Papua. Relasi di antara orang Papua lazimnya terbangun berdasarkan perkawinan, keturunan, persahabatan dan kekerabatan. Perkawinan memungkin dua insan yang sepakat hidup bersama, menjalin dan membangun ikatan pada masing-masing keluarga, baik pihak lelaki maupun perempuan. Perkawinan memungkinkan relasi sosialnya semakin luas, tidak hanya pada keluarga asalnya saja, tetapi juga pada keluarga sang mempelai. Perkawinan juga memungkinkan terjadinya relasi antar garis keturunan berdasarkan kekerabatan. Relasi ini terjadi secara timbal balik dan ada unsur yang saling menguntungkan, baik secara ekonomi maupun sosial-politik kemasyarakatan.
Relasi berdasarkan garis keturunan memainkan peran yang besar dalam kehidupan orang Papua. Aspek yang fundamental adalah keutuhan marga dalam tiap-tiap klen. Bagi orang Papua relasi berdasarkan garis keturunan amatlah penting, mengingat keberlangsungannya dalam kehidupan bermasyarakat. Hal ini terlihat jelas dalam sebuah keluarga, sang suami mengharapkan si ibu melahirkan anak laki-laki agar dapat melanjutkan keturunan guna mewarisi kekayaan yang ada.
Bagi orang Papua relasi berdasarkan kekerabatan dan persahabatan lebih dilihat sebagai relasi “saling memberi dan saling menerima.” Dalam kehidupan orang Papua, relasi ini dipahami sebagai relasi yang saling menguntungkan satu sama lain. Dalam relasi ini juga, orang Papua menanam ‘investasi’ sosial, ia memberi dan pada saat tertentu ia akan diberi. Ia membantu dan pada saat tertentu ia akan dibantu. Terbangunnya relasi ini bukan pertama-tama dimanfaatkan untuk saling mengeksploitasi dan mencari keuntungan semata, tetapi pada keterjalinan hubungan yang harmonis di antara sesama yang lebih luas dan integral.
Selain hal-hal umum di atas, relasi juga dibangun berdasarkan mitos dan riwayat asal-usul tiap suku atau pun klan-subklan. Relasi jenis ini menghubungkan keterkaitan antara alam semesta, binatang, tumbuh-tumbuhan, sungai, gunung-gunung, roh-roh dan mahluk ilahi tertentu dengan manusia. Keterkaitan ini membentuk sikap atau pola relasi orang Papua dengan alam semesta dan sesama manusia. Bagi orang Papua, relasi merupakan suatu kesatuan integral dalam tatanan mikro dan makrokosmos, ‘yang kelihatan’ maupun yang ‘tidak kelihatan’ saling mempengaruhi dan menentukan nasib setiap individu dalam masyarakat.
Penulis adalah Alumnus STFT Fajar Timur Abepura-Papua
Editor: Erick Bitdana