DIANTARA DIAM ATAU BERTINDAK “Menghadapi Masalah Hak Asasi Manusia Di Tanah Papua”
Oleh Valerio Patrick Tamingmere
Menghadapi masalah Hak Asasi Manusia di tanah Papua merupakan realita hidup. Menghadapi dan berbicara tentang masalah Hak Asasi Manusia adalah tugas sekaligus pilihan diantara “Diam atau Bertindak dalam menghadapi realitas HAM di Tanah Papua. Diman yang diam adalah mereka yang tidak peduli dengan realita persoalan-persoalan yang ada di tanah Papua. Sementara mereka yang bertindak adalah mereka yang peduli dengan persoalan-persoalan yang ada di tanah Papua. Tapi pertanyaannya adalah Siapa yang diam atau Siapa yang bertindak? Apa maksudnya yang diam atau yang bertindak dalam menghadapi persoalan-persoalan HAM di tanah papua? Kalau demikian, sampai kapankah persoalan-persoalan HAM di tanah papua ini akan berakhir?
Kita yang diam ketika menghadapi persoalan-persoalan HAM di tanah mempunyai beberapa alasan yang membisukan diri kita. Pertama, kita diam karena kita ingin mencari kenyamanan atau sona nyaman untuk diri kita sendiri. Ada juga kita yang mencari sona aman karena takut “Sebagai pribadi yang tidak berguna bagi sesama di dunia ini”. Kedua, kita diam karena masalah HAM itu terjadi pada mereka yang bukan orang kita, bukan suku kita, bukan agama kita, bukan ras kita dan bukan juga komunitas lainnya yang menjadi alasan. Dan yang ketiga kita diam karena kita pro dengan mereka yang membuat persoalan-persoalan HAM di tanah papua. Itu pun bisa terjadi karena kita memiliki kepentingan politik yang lebih sehingga selalu mengorbankan sesama kita manusia dalam penindasan dan kematian.
Ada beberapa alasan lainya juga yang menjadi pendorong bagi setiap kita untuk bertindak atau pun berdiam menghadapi realita. Tanpa diperintah semua instrument panca indera kita merekam sejumlah kejadian dan suara hati nurani pun menuntut kita untuk menanggapinya. Itulah yang menjadi dilemma pribadi antara berintak membelah kebenaran atau diam. Beberapa alasan yang kita hadapi dan mengorbankan diri kita adalah. Pertama, kita bertindak karena kita ingin menciptakan suasana damai di tanah papua. Hal kedua, kita bertindak karena kita melihat korban masalah HAM adalah suku kita, agama kita, ras kita, dan komunitisme kita lainnya. ketiga kita bertindak karena kita memiliki kepentingan politik di atas tanah papua ini. Dan keempat kita juga bertindak karena memiliki rasa kemanusian terhadap sesama kita yang mengalami korban persoalan HAM di tanah Papua. Ada juga alasan lain dalam tindakan kita untuk menanggapi persoalan HAM, namun beberapa alasan tersebut adalah sering kita alami dilingkungan sekitar kita. Dari beberapa alasan tersebut memperlihatkan suatu pilihan, manakah yang kita memilih, “Diam atau Bertindak” untuk mengahadapi persoalan HAM di tanah Papua. Karena persoalan-persoalan HAM di tanah papua akan tetap bersinambung dari hari ke hari, waktu ke waktu, tahun-ketahun dan dari generasi-kegenerasi sampai finishing.
Realitas yang kita sendiri alami, lihat, atau dengar secara kongkrit dan nyata dalam hidup kita di atas tanah papua ini. Kita bisa menoleh kebelakang melihat sejumlah peristiwa penting yang mengarungi badai perjuangan HAM di tanah Papua semenjak keputusan manipulative PEPERA 1969 bahkan jauh sebelmu itu Integrasi Papua ditangan Negara Kesatuan Republik Indonesia 1961, Biak berdara 1998, Wamena berdara 2000, Wasior berdara 2001, Dogiyai berdara 2011, Abepura berdara, Panyai berdara dan Nduga 2018 beserta sejumlah rentetan peristiwa lainya yang tak terhitung jumlahnya sedang mengancam eksistensi, ras, budaya, manusia dan alam Papua.
Inilah kemungkinan-kemungkinan besar yang menjadi mungkin karena tidak pasti. Kematian sedang terjadi, perjuangan pun sedang kencang, kedamaian yang terjadi di tanah papua dan untuk orang papua pun menjadi kemungkinan. Karna itu mari kitong semua membuka mata, hati dan pikiran untuk melihat realita. Realitas bicara apa, bertindak apa dan bagaiman dan apa tanggapan kita terhadap realitas ini. Apa tindakan pemerintah, apa tanggapan gereja terhadap jeritan penderitaan dan pemusnaan ini. Realitas berbicara mau berjalan-jalan dan bersuara di jalan-jalan besar sudah tidak ada karena selalu siap siaga, mau datang berlindung dibawah naungan gereja pun tidak ada karena gereja didalamnya menjalankan misi negara bukan misi Kerajaan Allah, tuntutan untuk bertindak adil menjadi bayaran. Itulah realitas antara “Bicara atau Diam” tentang situasi Hak Asasi Manusia diatas tanah Papua ini. Surga yang terlantar, Tanah Kosong dan tanah yang diberkati darah dan hamparan hutan yang disirami tangisan air mata anak anak negeri Papua. Waktu akan menunjukan finishing antara “Kepunaan Ras Melanesia di tanah Papua dan Orang Papua memperoleh Kemerdekaan sejatih”. Inilah finishing perjuangan Papua. Diantara kedua hal ini belum dicapai maka otomatisasi penindasan, pelanggaran dan genoside akan terus terjadi sepanjang generasi Papua masih berlanjut. (*)
Penulis adalah Mahasiswa Tingkat I di STFT Fajar Timur Abepura Papua