DIALOG: Sarana Menciptakan Visi Papua Tanah Damai
Oleh: Florentinus Tebay)*
Awalnya, Pemerintah Indonesia (Selanjutnya baca Jakarta) menetapkan Papua sebagai daerah Otonomi melalui UU No 21 Tahun 2001 tentang implementasi (Penerapan) Otonomi khusus bagi Orang Asli Papua (Selanjutnya baca OAP) di tanah Papua. Otsus ini, diberikan oleh Jakarta kepada OAP sebagai solusi atas persoalan sosial-Politik, tuntutan Papua Merdeka (Free West Papua), sosial-Ekonomi, Budaya, Kesejahteraan Umum, Pendidikan dan Kesehatan, penyelesaiaan Pelanggaran HAM dan beragam dinamika persoalan lainnya yang sudah dan sedang terjadi di atas tanah Papua. Singkatnya, Jakarta memberikan Otonomi Khusus (Selanjutnya baca Otsus) kepada rakyat Papua untuk menyelesaikan beragam dinamika persoalan orang Papua di atas tanah Papua.
Pertanyaannya, Apakah implementasi Otsus di tanah Papua telah (Sudah) menjawab atas beragam dinamika persoalan sosial Politik, ekonomi, pendidikan, kesehatan, budaya, penyelesaiaan pelanggaran HAM dan beragam bentuk persoalan lainnya yang sudah dan sedang terjadi di atas tanah Papua. Di sini, Saya (Penulis) secara pribadi dengan jujur mengakui dan mengatakannya bahwa implementasi Otsus di tanah Papua bagi OAP telah gagal total.
Artinya, Otonomi khsus sebagai solusi kesejahteraan, pembangunan dan penyelesaiaan beragam dinamika persoalan yang sudah dan sedang dihadapi oleh OAP itu tidak menjawab secara utuh dan menyeluruh. Otsus hanya dinikmati oleh hanya segelintir orang yang berkepentingan (Para elit Politik). Akibatnya, Orang Papua terus termarjinal (Tersingkirkan), dan menderita hingga kini (Sekarang) di atas tanah warisan leluhur bangsa Papua yang kaya akan susuh dan maduh, Papua.
Mengapa Rakyat Papua Menolak Otsus Jilid II?
Banyak pihak juga menilainya bahwa implementasi (Penerapan) UU No 21 Tahun 2001 tentang Otsus Plus di seluruh tanah Papua telah gagal total mensejahterakan dan membahagiaan kehidupan bagi OAP di atas tanah Papua. Implementasi Otsus di tanah Papua, justru melahirkan beragam konflik (Masalah) dalam beragam dinamika persoalan hidup mendasar dalam kehidupan OAP di tanah Papua. Diantaranya, seperti yang terjadi dalam bidang pendidikan, Kesehatan, Ekonomi, Budaya, Sosial Politik dan penyelesaiaan pelanggaran HAM di tanah Papua. Singkatnya, Otsus dianggap sebagai sebuah malapetaka dan bukan sebagai solusi atas kesehahteraan hidup OAP di tanah Papua.
Otsus dianggap sebagai malapetaka bagi kehidupan OAP, karena Otsus tidak menjawab beragam persoalan mendasar dalam kehidupan OAP di tanah Papua. Diantaranya seperti, Pertama; Masih ada marjinalisasi dan diskriminasi terhadap OAP di tanah Papua. Berikut ini merupakan sebuah kesaksiaan dari salah seorang pedagang Orang Asli Papua,
bahwasanya; “kami pu mama-mama pasar di Sentani, Kabupaten-Jayapura, sangat disisihkan, tidak punya akses ke pasar, masih jualan di bawah tanah dan amber (Baca: Pendatang), jual di atas meja dalam los-los yang lebih bagus. Hasil bumi orang Papua seperti pinang, sagu, ikan, dikuasai non-Papua, mereka untung sedangkan kami yang punya hasil tidak dapat apa-apa. Kami juga tidak punya modal untuk terus berjualan. Mama-mama berdemo ke DPRD Kabupaten Jayapura, supaya ada pasar khusus untuk mama-mama Papua yang disediaakan pemerintah, tetapi tidak ditanggapi Bupati-Jayapura. Usul MRP memperhatikan soal ini, memperjuangkan pasa untuk Orang Asli Papua, melakukan proteksi, agar hasil-hasil bumi Papua, tetap dijual oleh Orang Asli Papua”. Artinya, situasi diskriminasi dan marjinalisasi masih di alami oleh OAP di tanah Papua, terutama mama-mama Papua yang secara kebutuhan ekonomi semakin terpinggirkan di atas tanah Papua. Mereka bukan lagi menjadi tuan di atas tanah Papua sebagai tanah warisan leluhur alam bangsa Papua yang kaya akan susuh dan maduh.
Kedua: Otsus tidak menyelesaikan beragam kasusu Pelanggaran HAM di tanah Papua. Di antaranya, seperi pelanggaran HAM di biak, yang kini dikenal dengan biak berdarah, Abe berdarah, wamena berdarah, dan kasus-kasuh pelanggaran lainnya yang sudah terjadi di atas tanah Papua. Di erah Otsus, yang menjadi solusi atas persoalan pelanggaran HAM, justru melahirkan Pelanggaran HAM berat di tanah Papua, di Paniai, yang kemudiaan dikenal dengan nama Paniai berdarah, pada 14 Desember 2014, yang menewaskan 4 Orang Papua. Otsus gagal menyelesaikan beragam pelanggaran HAM di tanah Papua.
Ketiga: Dalam bidang sosial-Ekonomi, OAP masih hidup di bahwa garis kemiskinan. Angka kemiskinan yang paling tinggi di Indonesia, ialah di tanah Papua. Orang Papua, walaupun sudah mendapatkan dana otonomi khsusu, tetapi Orang Papua masih hidup di bawah garis kemiskianan. Tidak hanya itu, ada beragam bentuk bantuaan dana dari pusat, seperti dana desa yang disalurkan ke tiap kampung untuk pembangunan, kemajuan dan kesejahteraan kampung, tetapi Orang Papua, masih hidup termarjinal dan menderita. Orang Papua, tidak merasaka dampak dari bantuan dana otonomi khusus dan beragam bantuan dana lainnya. Singkatnya, dana Otsus dan dana lainnya, tidak memberikan kontribusi (Manfaat) yang berguna bagi kehidupan OAP di tanah Papua. Semua dana-dana tersebut, justr melahirkan konflik (Masalah) dan malapetaka bagi kehidupan OAP dan bukannya membawa soslusi atau kesejahteraan bagi kehidupan OAP di tanah Papua.
Keempat: Dalam bidang pendidikan dan kesehatan, dierah implementasi Otsus, justru melahirkan pendidikan dan kesehatan yang tidak berkualitas bagi OAP. Minimnya sarana dan prasarana, pelayanan pendidikan dan kesehatan, kualitas tenaga dokter dan guru yang masih memprihatinkan membuat banya orang Papua meninggal. Gisi buruk menyebabkan angka kematiaan yang tinggi dalam kehidupan OAP di tanah Papua. Singkatnya, di erah otsus, Nasib pelayanan pendidikan dan kesehatan masih amat memprihatinkan, bahkan justrus mencelakannya.
Keenam: Eksploitasi dan Eksplorasi atas seluruh kekayaan Sumber Daya Alam (SDA) di tanah Papua. Di erah, Otsus pengelolaan dan pemanfaatan SDA Papua masih dikelolah dan dimanfaatkan oleh perusahan atau infestor asing maupun lokal, ilagal maupun legal di tanah Papua. Dampak darinya, Eksistensi (Keberadaan) SDA (Manusia, Hutan dan Hewan, serta margasatwa) di tanah Papua semakin terancam dan bahkan semakin hari-semakin Punah. Masihfnya eksploitasi dan eksplorasi SDA di tanah Papua melahirkan beragam persoalan mendasar bagi lingkungan alam dan manusia di tanah Papua.
Akhirnya, penulis menyimpulkannya bahwa Implementasi otsus di tanah Papua telah gagal total. Penerapan Otsus di tanah Papua tidak menyelesaikan persoalan mendasar di tanah Papua, sebagaimana seperti yang telah diuraikan di atas. Bahwa, Otsus justru melahirkan (Mendatangkan) malapetaka (Kehancurkan) terhadap eksistensi kehidupan manusia dan seluruh kekayaan alam di tanah Papua. Jika, implementasi Otonomi Khusus di tanah Papua, telah gagal, maka sudah jelas dan pasti bahwa OTSUS JILID II bukan lagi menjadi sosulisi atas bergam dinamika persoalan yang sudah dan sedang di hadapi oleh orang Papua pada masa kini.
Ada dua saran, bahwa Jakarta mendengarkan aspirasi rakyat yang diwakili oleh ULMWA dan MRP sebagai representasi perjuangan politik dan kultur (Masyarakat) Papua di tanah Papua. Dari dua lembaga ini secara tegas menolah terhadap wacana Otsus Jilid II, sebab otsus bukan merupakan solusi penyelesaiaan atas persoalan sosial politik di tanah Papua. Kedua; Jakarta mesti membuka ruang dialog bersama Orang Papua, yang diwakili oleh ULMWP, MRP, DPR, dan DPRD di tanah Papua. Dialog itu dimediasi oleh JDP (Jaringan Damai Papua) kalau di Papua, dan LIPI, kalau di Jakarta. Dalam dialog damai itu, keduabelah pihak (Jakarta dan Papua) membicarakan tentang semua problematika yang dialaminya secara jujur dan terbuka. Dialog Damai itu, dimediasi oleh pihak ketiga yang netral, sehingga dengan begitu, visi menciptakan Papua Panah Damai pun terbuka lebar di atas tanah Papua.
)*Penulis adalah Mahasiswa dan Anggota Kebadabi Voice Group di STFT “Fajar Timur” Abepura, Jayapura- Papua.