*Siorus Degei
Hari-hari ini warga global dirundung ketakutan kalau-kalau konflik antara Ukrania dan Rusia menyebabkan Perang Dunia Ke-III, sebuah matra antara fakta atau utopia, namun sepertinya kita tidak bisa mengelak sebab Rusia begitu frontal memborbardir imperium Ukrania. Selain situasi skala global yang mencekam itu, kita juga jangan mengirah bahwa tanah air kita ini luput dari potensi konflik sekelas itu. Adalah sebuah konflik yang lama, mendalam, dan meluas sepanjang ssejarah.
Menurut Sefriani, Guru Besar Hubungan Internasional dari Universitas Islam Indonesia, bahwa Konflik Ukraina dan Rusia itu berpotensi juga terjadi di Indonesia, khususnya di Papua, (https://www.suara.com/news/2022/03/01/140519/guru-besar-uii-sebut-konflik-seperti-ukraina-dan-rusia-bisa-saja-terjadi-di-papua, Rabu, 2-03-2022, Pukul. 22:08 WIT).
Terlepas dari dikotomi antara pihak Pro-Rusia dan kontra-Ukrania atau sebaliknya. Penulis hendak menerawang sebuah korelasi antara Konflik Rusia-Ukrania atau Ukrania-Rusia dan Konflik Jakarta-Papua atau sebaliknya, serta resolusi bermartamat bagi konflik keempat wilayah tersebut (Ukrania, Rusia, Jakarta dan Papua).
Status Politik Donbass: Akar Konflik Ukrania-Rusia
Banyak pihak dan okoknumunum bisa menarik pelatuk intrepetasi atas akar konflik dan resolusi konflik Ukrania-Rusia berdasarkan backgraunde akademik, pandangan pilitik, idelogi, budaya dan kepentingan. Pada dan dalam tulisan ini penulis hendak meneropong suatu hal ikwal yang hemat penulis merupakan akar tunggak dari Konflik Ukrania-Rusia, yakni Konflik Status Politik Ukrania, tepatnya wilayah Ukrania Timur, yakni Luhansk dan Donets (Donbass). Mengapa Luhanks dan Donets ingin pisah atau merdeka dari Ukrania dan Rusia amat getol mewujudkannya?
Pertama, mayoritas penduduk di dua wilayah itu, yakni Luhansk dan Donets yang juga adalah wilayah separatis pro-Rusia, yang mayoritas penduduknya adalah penduduk yang secara kultural-antropologis merupakan orang Rusia. Hal ini diperkuat juga dengan Bahasa yang mereka pakai, yakni Bahasa Rusia. Sehingga secara natural, emosional dan kultural masyarakat di wilayah Donbass merasa lebih dekat dan merupakan satu-kesatuan yang integral dari bangsa Rusia ketimbang bangsa Ukrania.
Kedua, dengan alasan poin pertama Rusia juga merasa bahwa Donbass merupakan bagian integral darinya. Sehingga semacam ada beban moral, emosional, dan kultural yang mustia ia perjuangkan, yakni membebaskan saudaranya itu dari cenkraman Ukrania. Jadi, Rusia hadir untuk ngotot memerdekakan dua wilayah itu, walaupun langkah ini amat menentang Perjanjian Minsk, yakni Perjanjian Genjatan senjata antra militer Ukrania dan Separatias atau lebih terhormatnya kita sebut Para Pejuang dari Donbass yang mendambakan Kemerdekaan. Namun berdasarkan keterangan Aleksandr Zakharchenko, seorang Pimpinan senior kelompok Pejuang Pembebasan Donbass bahwa Pemerintah Ukrania sendiri yang lebih dulu menginkari Perjanjian Minsk itu. Aleksandr mengkaliam bahwa selama ini Ukrania tidak begitu serius menepatai perjanjian Minsk, sehingga perjanjian itu sia-sia belaka, (https://www.medcom.id/internasional/dunia/ObzOD00k-kelompok-separatis-sebut-kesepakatan-damai-minsk-akan-gagal, Rabu, 2-03-2022, Pukul. 22:20 WIT).
“Jika anda setuju untuk menyelesaikan sesuatu, maka anda perluh vertindak dan bergerak maju, dan menyelesaikan segalah sesuatunya dengan baik. Tetapi, jika itu tidak terjadi, maka perjanjian Minsk tidak terpenuhi, dan itu membuat semua pertemuan di Minsk sia-sia” tambahnya.
Dari keterangan di atas kita tahu bersama bahwa tudingan yang selama ini dialamatkan kepada Rusia yang mendukung gerilyawan Donbass terpatahkan sebab sunyatanya Ukranialah yang tidak begitu konsistensi mengimplementasikan komitmen bersama dalam Perjanjian Minsk itu.
Ketiga, Donbass merupakan wilayah industri yang kaya akan sumber daya alamnya. Luhansk berkembang dengan cenkungan Batubara Donets pada 1890-an. Terdapat Industri Pekerjaan Lokomotif Diesel Besar. Selain itu, Luhanks juga menjadi Tambang Batubara, Peralatan Tambang, Suku Cadang Kendaraan Bermotor, dan Tabung Besi. Sedangkan Donets merupakan cekungan Donets atau Donbas, juga merupakan daerah Penghasil Candangan Batubara, Penghasil Besi dan Baja Terbesar di Ukrania, yang adalah salah satu Kompleks Metalurgi dan Industri Berat Utama di Dunia.
Jadi selain, alasan kultural, faktor lainnya juga adalah alasan Sumber Daya Alam (SDA) yang berlimpah di wilayah Donbass, sehingga Rusia hendak menguasai itu, sebab memang itu adalah bagian darinya, tetapi Ukrania dengan dibenkingi oleh Amerika dan sekutunya yang juga punya kepentingan oligarkis di Donbass ngotot dan keukeh mempertahankannya.
Keempat, berikut alasannya lebih politis, yakni sebagai negara eks-Uni Soviet, Rusia sangat apatis dan antipasti atau konservatif jika ada negara bekas jajahannya yang hendak bergabung dengan NATO atau berhaluan Barat (Eropa). Vladimir Putin tidak segan-segan mematahkan niat Ukrania yang hendak bergabung bersama NATO. Wacana keinginan untuk bergabung dengan NATO membuat gusar Rusia, yang kita tahu saja bahwa Rusia dan Amerika Serikat adalah dan memang dua negara yang tidak pernah akur sepanjang sejarah perang dunia. Hampir disetiap perang dunia, keduanya memainkan pion yang penting. Bahwa setiap konflik raksasa yang terjadi, sebut saja Perang Rudal antara Korea Utara dan Amerika, di mana di balik Korea Utara ada Rusia yang menfasilitasi busana militer (alat Perang). Ada juga perang Palestina dan Israel, di balik Palestina ada Rusia dan di balik Israel ada Amerika. Dan hari, di balik Ukrania jelas ada Amerika.
Selain itu, Vladimir Putin juga “Kuwai” atau acuh tak acuh bila Ukrania bergabung dengan NATO, maka Ukrania akan menjadi garda terdepan Amerika untuk menginvasi militernya dan membumihanguskan Rusia. Letak Ukrania amat stategis dengan perbatasan Rusia, posisi strategis Ukrania ini berpotensi dimanfaatkan oleh Amerika. Tapi, rupanyan dalam perang yang sedang berlansung ini justru Rusia yang mendirikan Pos Militernya di sepanjang perbatansan Ukrania dan memulai invansi militer yang terbilang radikal, bahkan Putin mengancam negara yang akan membantu Ukrania, (https://www.cnnindonesia.com/internasional/20220223085455-134-762799/kenapa-rusia-getol-bela-donetsk-dan-luhansk-pisah-dari-ukraina, Rabu, 2-03-2022, Pukul. 22:29 WIT).
Jadi hemat penulis, penyebab utama meroketnya intensitas konflik atau ketengangan antara Rusia dan Ukrania itu tidak lain dan tidak bukan dilatarbelakangi oleh Konflik Status Politik Luhanks dan Donets, dan di balik konflik itu terselib kepentingan-kepentingan besar negara-negara adidaya, khususnya Amerika Serikat yang merepresentasikan Blok-Barat dan Rusia yang merepresentasikan Blok-Timur.
Status Politik Papua: Akar Konflik Papua
Melalui Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) pada tahun 2009 telah mengkaji akar konflik Papua dan Jakarta dalam Buku Papua Road Map: Negotiating the Past, improving the Present and Securing the Future. Di sana dipaparkan empat akar Konflik Papua Jakarta dan solusinya, yakni Kegagalan Pembangunan, solusinya adalah Paradigma Baru Pembangunan. Marjinalisasi dan Diskriminasi Orang Asli Papua, solusinya adalah Kebijakan alternatif Rekognisi. Kekerasan Negara dan Tuduhan Pelanggaran HAM, solusinya adalah Rekonsiliasi dan Pengadilan HAM. Dan, Sejarah dan Status Politik Wilayah Papua, solusinya adalah Dialog Damai, (https://lipi.go.id/berita/lipi-temukan-empat-akar-masalah-di-papua/4422#:~:text=Empat%20akar%20masalah%20itu%20adalah,dan%20status%20politik%20wilayah%20Papua., Rabu, 2-03-2022, Pukul. 22:32 WIT). Penulis hendak mengambil posisi akar konflik yang lebih filosofis dari empat akar konflik temuan LIPI ini, yakni Sejarah dan Status Politik Wilayah Papua.
Konflik idelogi Papua Merdeka dan NKRI “Harga Mati” tidak akan pernah surut selama kedua kubuh masih arogan, ngotot dan keukeh dengan eksistennya masing-masing tanpa niat duduk bersama dan saling percaya untuk medialogkan masalah-masalahnya. Kita meralat persoalan ini dengan pertanyaan, mengapa Papua ingin Merdeka? Dan Mengapa Indonesia tidak dapat melepaskan Papua?
Pertama, secara kultural-antropologis Papua teramat beda jauh dengan Indonesia. Mayoritas penduduk Papua bertenis Melanesia, sementara mayoritas penduduk Indonesia bertenis Melayu. Perbedaan hakiki ini menyebabkan Papua tidak bisa bersatu dengan Indonesia, ia lebih condong ke saudar Melanesianya di Pasifik.
Kedua, sudah sedari awal bangsa Indonesia didirikan oleh para bapa Bangsa, Papua sama sekali bukan bagian integral dari NKRI. Pada Sumpah Pemuda 28 Oktober 1928, tidak ada sama sekali perwakilan Pemuda Papua, memang ada Jong Ambon dan Jong Selenbens, namun Papua sama sekali tidak ada kaitan sama sekali dengan dua Perhimpunan Kaum Muda ini. Juga dalam Sidang BPUPKI 11 Juni 1945, (https://historia.id/politik/articles/ketika-hatta-menolak-papua-vqjeJ, Rabu, 2-03-2022, Pukul. 22:40 WIT).
“Saya sendiri ingin mengatakan bahwa Papua sama sekali tidak saya pusingkan, bisa diserahkan kepada bangsa Papua sendiri. Bangsa Papua juga berhak menjadi bangsa Merdeka” Kata Hatta.
Juga dalam pembacaan Teks Proklamasi di kediaman Bung Karno pada 17 Agustus 1945, geografis Bangsa Indonesia hanya membentang dari Sabang sampai Ambon (Papua tidak masuk perhitungan sama sekali, Papua baru masuk perhitungan ketika Emas di Nemankawi-Mimika/kini Freeport dicium oleh Elite dan Investor Oligarkis di Jakarta dan Amerika serta sekutunya).
Ketiga, Integrasi Papua kedalam binkai NKRI itu terjadi secara tidak normal dan cacat hukum, demokrasi, HAM dan Moral yang terpatri dalam peristiwa Aneksasi 1962 dan PEPERA 1969.
Hemat penulis tiga alasan ini, juga alasan lainnya, sudah cukup menguatkan bahwa secara hakiki Papua memang bukan bagian sah dari Indonesia, bahwa Papua hanya dicaplok secara paksa oleh Indonesia, Belanda, Amerika Serikat dan sekutunya secara sepihak tanpa keterlibatan orang asli Papua sama sekali melalui New York Agrement 15 Agustus 1962 dan Roma Agrement 30 September 1962. Dan ini mengindikasiakan bahwa Vatikan dan PBB punya “Dosa Ekonomi-Politik” yang teramat besar terhadap Bangsa Papua, sebab oleh kelicikan dan ketamakan keduanya Bangsa Papua mengalami “Neraka” di dalam gengaman NKRI selama 62 tahun (1962-2022).
Korelasi Konflik Ukrania-Rusia dan Jakarta-Papua
Seperti telah kita lihat dan paham sendiri bahwa akar konflik Ukrania-Rusia adalah dan hanyalah konflik Status Politik Wilayah Donbass yang mengiginkan sebuah kemerdekaan dari Ukrania dan bergabung bersama saudarnya di Rusia, sebab secara kultural-antropoligis penduduk Donbass teramat kontras dengan penduduk Ukrania pada umumnya dan lebih pro atau berdekatkan secara kultural-antropoligis dengan bangsa Rusia. Jika, kita tilik, telisik dan simak secara kritis, analatis dan objektif maka akan ada intepretasi-paralelisme di benak kita bahwa bangsa Papua yang hendak merdeka dari bangsa Indonesia, juga memiliki korelasi filosofis yang satu dan sama dengan bangsa Rusia di Donbass, bahwa secara kultural-antropoligis memang bangsa Papua yang adalah Bangsa Melanesia yang notabenenya amat kontras dengan bangsa Indonesia yang didominasi oleh etnis Melayu. Jadi, semangat rasialisme yang tertanam dalam bangsa-bangsa yang menginginkan kemerdekaan dewasa ini, bahkan laluh, menjadi sebuah point of view yang tak terbantahakn dan terpatahkan oleh argumentasi senjata, rudal, perang atau strategi picik peguasa diktator yang secara tamak hendak menjustivikasi adanya sebuah Penjajahan di dunia.
Perluh dicatat dengan tintah merah dalam kamus harian kita bahwa politik rasialis itu masih bercokol subur dalam setiap suku bangsa dan itu merupakan suatu subtansi dasar yang muskil terelakan. Bahwa selain bangsa Donbass, Bangsa Papua juga menggunakan dalil rasialis untuk melepaskan diri dari bingkai Neokolonialisme Jakarta. Bangsa Catalan di Spanyol juga mengunakan dalil rasial, Qubeck di Prancis, Irlandia di Inggris, Bogunvile, Indian di Amerika, Aborigin di Australia. Bahwa semua bangsa di dunia ini tersusun dari etnis-etnis sejenis, serumpun, seras, sebudaya, dan sebahasa. Sehingga, apa yang diperjuangkan oleh Bangsa Rusia di Donbass, Papua, Catalan dan lainnya mesti dihargai dan dihormati demi kebahagian semua orang dan Perdamaian dunia.
Demi Perdamain Dunia, Vatikan-PBB Segera Mediasi Konflik Ukrania-Rusia dan Jakarta-Papua
Sempat tertangkap mata digital kunjungan Perdamain yang dilakuakn oleh Pasu Fransiskus ke Kedutaan Rusia guna menyampaikan keprihatinannya atas perang Ukrania dan Rusia. Hal ini ditegaskan oleh Juru Bicara Vatikan, Mattre Bruni, “Dia pergi untuk mengungkapkan keprihatinannya dalam Perang”, (https://www.google.com/amp/s/amp.kontan.co.id/news/di-luar-kelaziman-paus-fransiskus-pergi-ke-kedutaan-besar-rusia, Rabu, 2-03-2022, Pukul. 22:49 WIT)
Selain itu, Vatikan juga siap menfasilitasi Dialog Damai antara Ukrania dan Rusia, hal ini ditegaskan oleh Sekretaris Negara Vatikan Kardinal Pietro Parolin, (https://www.cnnindonesia.com/internasional/20220228144633-134-764971/vatikan-siap-fasilitasi-dialog-rusia-dan-ukraina, Rabu, 2-03-2022, Pukul. 22:50 WIT).
“Taktah Suci yang mengikuti peristiwa di Ukrania terus-menerus, diam-diam, dan dengan perhatian besar, menawarkan untuk memfasilitasi dialog dengan Rusia”,
Sekretaris Jenderal (Sekjen) PBB Antonio Gutteres memberikan pernyataan resmi kepada Presiden Vladimir Putin untuk segera menghentikan perang di Ukrania demi kemanusian, (https://www.suara.com/news/2022/02/24/145216/sekjen-pbb-presiden-putin-demi-nama-kemanusiaan-bawa-pasukanmu-kembali-ke-rusia, Rabu, 2-03-2022, Pukul. 22:51 WIT).
“Dalam keadaan sekarang, saya harus megubah permohonan saya: Presiden Putin, atas nama kemanusiaan, bawa pasukab Anda kembali ke Rusia. Konflik ini harus dihentikannsekarang” tegas Gutters seperti dikutip suara. Com, Kamis (24/2/2022).
Dari dua tokoh pimpinan dunia di atas, satu mewakilih Agama dan satunya mewakili Negara, memperlihatkan dan mau menegaskan kepada kita bahwa PBB dan Vatikan siap pasang badan dan bawah muka demi terciptanya Perdamaian Dunia, khsusnya di Ukrania dan Rusia. Yang menjadi pertanyaan kita ialah bahwa sudah sejauh mana kedua pimpinan itu, khusus Sri Paus Fransiskus (yang katanya hendak menyerupai St. Fransiskus dari Asisi yang adalah Duta Damai), sebab selama ini PBB sudah banyak mengankat soal konflik Papua, sementara Paus Sendiri bagaimana, apa kata Papua pernah keluar dari mulut emasnya atau sempat tersebsit dalam kalbu dan nuraninya? Paling kurang Kardinal Pietro Parolin atau Kardinal Tarcisio Bertone, S.D.B. Pietro Pioppo, Duta Vatikan untuk Indonesia bersuara demi Perdamaian Dunia, khususnya di Papua? Sebab motif konflik yang terjadi di Ukrania dan Rusia, itu juga terjadi di Indonesia, antara Jakarta dan Papua, mengapa tokoh-tokoh itu tidak begitu getol menyelesaikannya seperti hari-hari ini mereka perjuangkan di Ukrania?
Hemat penulis ada satu langkah yang bisa ditempuh bersama, yaitu selain menciptakan Perdamain di Ukrania dan Rusia, PBB dan Vatikan juga mesti mempromosikan Perdamain di Papua. Melalui Kunjungan Komisioner Tinggi Dewan HAM PBB ke Papua guna Mengadvokasi dan Mengintevikasi konflik Papua. PBB bisa tampil menciptakan Perdamaian di Papua. Di sisi lain, Vatikan juga bisa “Menebus Dosa Masa Lalunya” di Papua dengan mengakui Kemerdekaan dan Kedaulatan Bangsa Papua 1 Desember 1961 secara De Jure dan dengan begitu mengajak negara lainnya untuk mengakui kesucian kemerdekaan bangsa Papua. Atau Vatikan (Paus Fransiskus) bisa berkunjung ke Papua dan mendukung, mendorong, mendesak serta memfasilitasi dan memediasi Dialog Damai Antara Jakarta dan Papua demi mewujugkan Permaian Dunia.
)* Penulis Adalah Mahasiswa STFT “Fajar Timur “ Abepura-Papua.
Publisher: Admin