Berikut kita akan bersama-sama mencoba untuk menangkap esensi dan subtansi dari “kode alam” di balik pemilihan atau penunjukan Mapiha sebagai Lokasi Deklarasi Gerakan Tungku Api.
Pertanyaan filosofis yang mau kita jawab bersama di sini adalah bahwa kira-kira Mapia dipilih oleh Uskup John Pilip Saklil sebagai Tuan Rumah Deklarasi Gerakan Tungku Api Keuskupan Timika? Ada apa dengan Mapiha sampai Keuskupan Timika deklarasi Gerakan Tungku Api di Mapia?
Mengenal Mapia: “Perimadona SDA dari Meewodide”
Perlu ditegaskan bahwa Mapia yang dimaksud dalam tulisan ini bukan Kepulauan Mapia yang berada di bawah pemerintahan Supiori, dan bertetangga dengan kabupaten Biak Numfor, Papua. Di mana sejarah penduduk asli dan bahasanya sudah lenyap, (https://suarapapua.com/2022/09/17/kepulauan-mapia-sejarah-penduduk-asli-dan-bahasanya-yang-lenyap/, 19/11/2022).
Mapia yang dimaksud dalam tulisan ini adalah beberapa Distrik yang berdomisili di bawah pemerintahan kabupaten Nabire, Dogiyai, Timika, dan Paniai, Provinsi Papua Tengah. Oleh karena itu wilayah orang Mapia ini biasa disebut dengan istilah Simapitowa yang merupakan singkatan dari Siriwo, Mapia, Topo, Piyaye, dan Wanggar. Belakangan di tambah lagi beberapa wilayah, yakni Kinou, Dipa, dan Menou.
Karena wilayahnya yang cukup luas, maka geografi dan topografi dari Mapia ini terbilang cukup unik dan khas di banding dengan wilayah Suku Mee lainnya, seperti Dogiyai, Deiyai, Paniai dan Nabire. Untuk Distrik Mapia, Mapia Barat, Mapia Tengah dan Sukikai Selatan atau Mapia Selatan yang masuk dalam wilayah administrasi pemerintahan Dogiyai, maka secara geografis dan topografis juga tidak beda jauh dengan wilayah Dogiyai pada umumnya. Di mana terletak pada posisi 3o57 4o15 Lintang Selatan dan 135o20 136o37 Bujur Timur.
Memiliki topografi yang bervariasi mulai dari dataran bergelombang, berbukit dan pegunungan. Wilayah perbukitan dan pegunungan mendominasi hampir 85 persen wilayah Kabupaten Dogiyai dan masih dipenuhi hutan alami.
Berdasarkan perbedaan geomorfologisnya wilayah Kabupaten Dogiyai dapat dikelompokkan menjadi 2 (dua) Zona agrolosistem, yaitu: Zona ketinggian sedang 600 a500 dpl, Zona dataran tinggi di atas 600 dpl, Lereng bukit dan daerah pegunungan / dataran tinggi pada umumnya mempunyai jenis tanah Podzolik Merah, Hidromorf Kelabu, Merah sampai kuning.
Pada umumnya Kabupaten Dogiyai beriklim tropis basah dengan curah hujan hampir sepanjang tahun. Suhu udara dipengaruhi oleh ketinggian letak di mana setiap kenaikan 100 m dari permukaan air laut mengalami penurunan rata-rata 0,60 C, sehingga dengan topografi yang bervariasi di dataran tinggi maka suhu udara di kabupeten Dogiyai berkisar antara 22,6 C sampai dengan 33,1 C dengan suhu rata-rata pada Tahun 2009 mencapai 27 C, (https://id.wikipedia.org/wiki/Kabupaten_Dogiyai, 19/11/2022).
Sementara untuk wilayah Mapia yang masuk ke dalam wilayah administrasi kabupaten Nabire, Timika dan Paniai paling kurang memiliki letak geografis dan topografis yang tidak beda jauh dengan letak geografis dan topografis serta temperamen kabupaten induknya. Hal inilah yang menjadi sebuah keunikan dari wilayah yang berjulukan Simapitowa itu.
Mayoritas penduduk Mapia beragama Kristen Katholik dan Kristen Protestan serta beberapa keluarga yang beragama Islam. Mereka berbahasa Mee atau Mee Mana, namun lagi-lagi yang menjadi keunikannya adalah dialek yang mereka pakai, di mana terdapat dominasi fonem H dan S. Semisal untuk wilayah Dogiyai, Deiyai dan Paniai, mayoritas fonem yang mereka pakai adalah Y, seperti ketika berbicara pasti terjadi pengulangan fonem Y, semisal Koya (dalam khas dalam bahasa Mee), Yuwo (festival adat dalam bahasa Mee), dan lainnya.
Sementara untuk wilayah Mapia ada dua fonem yang berlaku, yakni H, contoh Koha, Huwo, arti dan makna sama juga dengan kata Koya dan Yuwo di wilayah lainnya tadi.
Terakhir, ada fonem S, tersebar di wilayah Mapia Selatan, Putapa dan Siriwo, contohnya Kosa, Suwo, dan lainnya, arti dan maknanya juga sama dengan wilayah lainnya, yang membedakan hanya fonem digunakan.
Perlu diketahui pula bahwa Mapia sendiri secara etimologis berasal dari Bahasa Suku Mee berdialek Mapia, yakni Mapiha, yang terdiri dari dua subkata, yaitu Maa, yang berarti Benar atau Kebenaran dan Piha yang berarti Pohon. Jadi, Mapiha berarti Pohon Kebenaran atau Pohon Yang Benar. Orang Mapia percaya bahwa mereka adalah penjaga Pohon Kebenaran. Bahwa ada keyakinan tradisional di sana bahwa ada sebuah Pohon Kebenaran yang tumbuh di Mapia.
Kurang lebih demikian wajah Mapia yang bisa dijelaskan secara selayang pandang. Sekarang kita akan coba mengeledah dan meretas “kode alam” di balik penunjukkan Mapia sebagai presidensi atau Tuan Rumah bagi penggelaran Deklarasi Gerakan “Tungku Api” di Keuskupan Timika.
Iktihar Deklarasi Gerakan Tungku Api di Mapia
Ada beberapa indikator konkrit, logis, realistis dan objektif yang melatarbelakangi penunjukan Mapia sebagai Tuan Rumah Penggelaran Deklarasi Gerakan “Tungku Api” di Keuskupan Timika:
Pertama, Mediang Mgr. Gaiyaibi Saklil. Oleh masyarakat Suku Mee, Uskup yang terkenal dekat dengan umat, suka Seka, Humoris dan Raja Mob ini diberi nama adat yakni Gaiyaibi yang berarti Pemikir, Konseptor, atau Filsuf. Dalam keyakinan kebudayaan masyarakat Papua yang mengenal budaya pemberian Nama Adat, terlebih khusus di wilayah Suku Mee, nama yang diberikan selalu punya Spritualitas Khusus.
Orang atau sosok yang diberikan Nama secara Adat akan memiliki dan menampilkan spritualitas jati diri sesuai dengan spiritualitas yang terkandung dalam nama adat yang ia genakaan.
Dalam kaitannya dengan itu, Nama Gaiyaibi yang sudah diberikan kepada Mediang Uskup Gaiyaibi, itu pertama-tama Sudah menyatu dan menyata dalam karya pastoral dan kegembalaan yang sudah Beliau sejatahkan dalam perabadan Keuskupan Timika dan bangsa Papua pada umumnya.
Salah satu konsep pastoral yang dilahirkan dan dihadirkan oleh Uskup John sebagai seorang Gaiyaibi Sejati atau Filsuf Ulung, yaitu tidak lain dan tidak bukan adalah Gerakan Tungku Api berslogan “Stop Jual-Stop Jual Tambang”.
Sebagai Gaiyaibi juga, Mendiang Uskup John paham baik lokasi atau tempat di wilayah keuskupannya yang eksistensi sumber daya alam (tanah, hutan, gunung, sungai, kali, flora, fauna dan dusun eksistemnya) terancam punah dan pontensial menjadi daerah konsensi tambang, mineral, batubara dan lainnya oleh investor, pemodal, kapital, feodal, liberal serta para mafia dan genster ekologis dan humanis lainnya.
Rupanya, dalam refleksi dan analisis Uskup John, Mapia menjadi salah satu daerah yang paling rawan eksistensi dan ekosistem manusia dan alamnya. Bahwa penunjukan Mapia sebagai Tuan Rumah Deklarasi Gerakan Tungku Api pertama-tama merupakan simbolisasi konkrit kepada masyarakat Papua, khususnya orang Simapitowa untuk sedini mungkin memproteksi eksistensi tanah ulayatnya.
Kedua, Alam Mapia terbilang masih “murni dan alami” belum tersentuh mesin dan tangan-tangan nakal manusia berotak dan berwatak perampok gila. Sehingga sudah barang tentu sebagai “perimadona SDA” atau “ratu kekayaan alam”, maka eksistensi wilayah Simapitowa berada dalam ancaman neo-kapitalisme, Neo-feodalisme, Neo-Imperialisme, Neo-borjuisme, Neo-Imperialisme dan Neo-kolonialisme post-moderen bangsa-bangsa asing dengan Indonesia sebagai pengantarannya.
Ketiga, karena Mapia berada dalam ancaman ekosida, etnosida, spiritsida, dan genosida, maka sudah dari jauh-jauh hari Almarhum Uskup Timika sudah membunyikan lonceng peringatan kepada bangsa Papua pada umumnya, dan kepada orang Totaa Mapiha pada khususnya untuk mulai dari sekarang Stop Jual-beli Tanah.
Otsus II, DOB, dan G20 Mengancam Eksistensi Mapia (Papua)
Kurang lebih dapat dikatakan bahwa pertimbangan-pertimbangan ekologis dan humanis yang terselip dalam motivasi Deklarasi Gerakan Tungku Api di atas merupakan rangsangan atau stimulus kepada orang Mapia berpikir lebih jauh untuk membaca tanda-tanda jaman atau “kode-kode alam” yang mengancam eksistensi SDA dan SDM Simapitowa secara kuantitas maupun kualitas.
Ancaman-ancaman terbesar dan terberat yang ada di depan mata bersama orang Simapitowa adalah Otsus Jilid II, DOB/Pemekaran, G20 dan RPJMN. Kita akan membedah keempat “peti mati” atau “kado kiamat” eksistensi bangsa Papua, khususnya eksistensi Simapitowa dari NKRI di atas itu secara maraton dan gamblang:
Pertama, Perpanjang Rumusan Undang-Undang Otonomi Khusus Papua tahun 2021 sudah lolos secara sepihak, cacat hukum dan moral tanpa menggubris sama sekali petisi aspirasi rakyat Papua tolak Otsus. Padahal, orang asli Papua sudah berulangkali menolak paket Otsus Jilid II, namun karena “kepala batu” negara tetap memaksakan itu.
Hal ini sebenarnya mau menegaskan bahwa Jakarta tidak punya hati nurani, akal budi dan iman untuk mendekati dan membangun manusia Papua. Yang ada dalam hati dan pikiran Jakarta adalah settingan dan desain bagaimana orang asli Papua itu bisa punah dan kekayaan alamnya itu bisa dirampok habis-habisan.
Berkaca dari nasip orang Kamoro dan orang Amungme di Timika yang sekarang sudah melarat di atas kekayaan tambangnya sendiri. Uskup Keuskupan Timika merasa punya beban moral pastoral untuk menyelamatkan tanah dan manusia Simapitowa yang kaya raya dan belum tersentuh itu.
Sebab melalui Otsus yang adalah gudang uang haram, bukan barang tidak mungkin tanah-tanah lapis manusia Simapitowa bisa dibeli dengan murah oleh para mafia dan genster ekologis dan humanis yang sudah kerasukan Iblis kerakusan.
Kedua, DOB/Pemekaran, sedarah dengan Otsus, kebijakan Daerah Otonomi Baru atau Pemekaran itu juga terjadi secara sepihak, cacat hukum, moral, HAM dan demokrasi. Pasalnya, orang asli Papua di seluruh dunia sudah kebijakan depopulasi dan dekolonisasi itu, bahkan sampai ada yang mengorbankan nyawa.
Namun, seperti sudah menjadi jati dirinya, bahwa Jakarta tetap saja “kepala batu” untuk meloloskan paket agenda pemekaran 3 Provinsi Baru, yakni Papua Selatan dengan beribu kota di Merauke, Mantan Rektor Universitas Cenderawasih, Dr. Apollo Safanpo, terpilih sebagai Pejabat Gubernur Sementaranya.
Provinsi Papua Pegunungan dengan ibu kotanya di Wamena, Mantan Kepala Kejati Papua, Nicolaus Kondomo terpilih sebagai Pejabat Gubernur Sementaranya. Dan, Provinsi Papua Tengah dengan beribu kota di Nabire, Ibi Ripka Haluk terpilih sebagai Pejabat Gubernur Sementaranya.
Otak di balik semua itu tentunya adalah aktor Internasional, seperti Amerika, PBB, China dan Jepang yang punya kepentingan ekonomi dan politik di Papua. Aktor Nasional, seperti Presiden Jokowi, Muldoko, Mahfud MD, Luhut Binsar Panjaitan, Tito Karnavian, Panglima Andika Perkasa, Erik Tohir, Balil Lahadalia, John Wempi Wetipo, Ali Mochtar Ngabalin, dan Lenis Kogoya dan lainnya.
Dan, Aktor lokal, Yan Mandenas, Komarudin Fatubun, Romanus Baraka, Frederikus Guba Gebze, Apollo Safanpo, Ricky HAM Pagawak, Lukas Enembe, Eltinus Omelang, Isaias Douw, Mecki Nawipa, dan elite politikus lokal lainnya.
Dengan lolosnya pemekaran, khususnya pemekaran Provinsi Papua Tengah di wilayah Meepagoo, maka secara tidak langsung “mimpi basah” beberapa elite dan intelektual Meepagoo dan Simapitowa untuk memekarkan Kabupaten Mapia Raya itu niscaya akan mendapatkan signal-signal positifnya.
Sehingga memang sudah harus dipikirkan dan diperhatikan sejak dini untuk hal-hal yang berbau pemekaran kan Mapia Raya itu ditolak oleh mahasiswa dan rakyat Simapitowa yang masih sadar dan normal, sebelum harta, tahkta, wanita) pria dan jabatan “setan Otsus dan DOB” membutakan mata, hati, akal budi, kehendak dan iman.
Penulis Adalah Siorus Degei Mahasiswa Sekolah Tinggi Filsafat-Teologi “Fajar Timur” Abepura-Papua.