Cerita Sejarah Misi Fransiskan (OFM) di Tanah Papua

Sdr. Vredigando E. Namsa, OFM

Biarawan Fransiskan Provinsi Fransiskus Duta Damai Papua.

Tinggal di Papua.

  1. Gambaran Singkat Ekspedisi di Papua

Kapten Willem Janszoon adalah orang Eropa pertama yang pada tahun 1606 mengunjungi  Papua. Ia menamakan pulau besar ini dengan sebutan: Nieuw Guinea penduduk Papua yang dijumpai mengingatkannya akan penduduk pantai Guinea di Afrika Barat Daya.
Sejak pertengahan abad ke-17 kadang-kadang ada kapal-kapal lain yang diutus oleh penguasa di Batavia (kini, Jakarta) untuk mengadakan penelitian di Papua. Selain itu beberapa orang Eropa yang tinggal di Ternate dan Ambon kerap melakukan perjalanan ke Papua. Pada 1826, penguasa tertinggi Hindia Belanda mengirim Kapal Dourga untuk meneliti alam, keadaan penduduk dan kemungkinan berniaga. Tahun yang sama bertolak dua kapal kecil: kapal Triton dan Iris dari Ambon. mereka berangkat bersama dengan sejumlah perwira, prajurit, pegawai sipil dan ahli-ahli ilmu alam guna membangun sebuah benteng di suatu teluk indah di sebelah utara pantai Pulau Aiduna (bdk. R. Kuris SJ, “Sang Jago Tuhan”, Yogyakarta: Kanisius, 2001, hal. 163).
Baru pada 1884, pemerintah Batavia mencoba melakukan suatu perjalanan ke pedalaman Papua dan mencoba membuat peta-peta tentang Papua. Delapan tahun kemudian seorang Posthoulder bersama 10 prajurit ditempatkan di Salezeki, yang letaknya di sebelah barat Kampung Merauke. Namun mereka hanya tinggal sebentar. Mereka ditarik kembali, karena sikap permusuhan dari rakyat setempat di sekitarnya membuat suasana di tempat ini sangat mencekam. Sementara itu juga, telah diadakan perjalan-perjalan orientasi menyusuri pantai-pantai Papua bagian Barat (R. Kuris, SJ, “Sang Jago Tuhan” Red, hal. 164).

  1. Sekilas kehadiran misi awal Katolik di Papua

Kehadiran Misi Katolik di Papua dalam tulisan ini mengacu pada Pater Le Cocq d’Armandville SJ. Waktu Pater Le Cocq d’Armandville SJ masih berada di Pulau Geser, Seram Timur, ia sudah mendengar tentang  Pulau Papua dari pemerintah Belanda dan warga setempat yang ada di Geser. Pater Le Cocq d’Armandville SJ adalah seorang misionaris yang tangguh dan pemberani. Ia bisa dikatakan ia mempunyai kemiripan dengan Rasul Paulus sebagai rasul bangsa-bangsa.
Pater Le Cocq d’Armandville SJ, akhirnya memutuskan untuk melaksanakan misi ke Tanah Papua. Ia berangkat menggunakan kapal laut dari Geser. Pada 28 Mei 1894 Pater Le Cocq d’Armandville, SJ menginjakan kaki untuk pertama kali di Tanah Papua, tepatnya di kampung Sekru (Fak-Fak). Setelah sampai di Papua, ia mulai berkontak dengan penduduk setempat. Ternyata Sekeru tidak dapat disebut sebagai kampung (saat itu). Gubuk-gubuk warga berdiri agak jauh satu dengan yang lain.
Pater Le Cocq d’Armandville SJ, mulai mendaki pegunungan dengan tujuan mencari warga yang tinggal di daerah itu. Pada umumnya daerah itu tidak terlalu terjal untuk didaki. Sudah ada jalan-jalan yang dibuat oleh warga setempat. Akan tetapi, Perjalanannya ke daerah pegunungan Fak-Fak tidak membuahkan hasil yang baik. Ia sendiri jarang bertemu dengan warga setempat. Akhirnya pada malam hari, ia memutuskan untuk kembali ke wilayah pantai. Di situlah ia bertemu dengan beberapa orang yang sedang duduk bercerita. Ia sendiri mulai menggabungkan diri dengan mereka, lalu ia mulai berbicara tentang Tuhan dan karya keselamatan-Nya. Baru satu hari di Papua, tepatnya di Sekeru, Pater Le Cocq d’Armandville SJ, sudah membaptis 8 anak, disusul 65 lagi selama 9 hari berikutnya (R. Kuris, SJ, “Sang Jago Tuhan” Red, hal. 170). Selain kampung Sekeru, Pater Le Cocq d’Armandville, SJ juga berkarya dan tinggal di Bomfia, Seram Timur.
Dikisahkan bahwa Pater Le Cocq d’Armandville, SJ meninggal tengelam diterpa ombak besar di Pantai Mimika pada 17 Mei 1896. Pada waktu cuaca di daerah pantai Mimika tidak bersahabat, Pater tetap memaksa diri untuk pergi ke pantai. Tujuan kepergiannya adalah untuk membayar utangnya kepada warga dan menjemput anak-anak yang akan dibawa ke Kapaur untuk sekolah.

  1. Kehadiran Fransiskan di Papua

Cerita mengenai misi para Fransiskan di daerah yang waktu itu bernama Nederlands Nieuw Guinea dimulai dengan adanya sepucuk surat pendek yang ditulis oleh Provinsial Misionaris Hati Kudus, Pater Nico Verhoeven, MSC pada tanggal 23 November 1935 kepada Pater Paulus Stein OFM, Kustos Fransiskan Belanda.
Isi surat itu kurang lebih berbunyi: Mgr. Aerts MSC, Vikaris Apostolik dari Nederlands Nieuw Guinea, mengusulkan kepada kami supaya mencari sebuah Ordo atau Kongregasi yang bersedia mengambil ahli sebagian dari Vikariat yang sangat luas dan sebagiannya belum digarap (bdk. Jan Slot, “Fransiskan Masuk Papua Jilid I”, Jayapura: Kustodi Fransiskus Duta Damai Papua, 2012, hal. 3).
Secara jujur dapat dikatakan bahwa Fransiskan (OFM) tidaklah begitu kenal dengan daerah yang ditawarkan itu. itupun tidak aneh. Perlu diakui bahwa usaha-usaha pembicaraan antara pihak MSC dan OFM di Belanda tidak membawa hasil yang memuaskan. Masalah yang cukup berat ialah masalah keuangan Ordo. Pada waktu itu situasi Belanda cukup mempengaruhi pendapatan Ordo dalam hal keuangan. Selain itu, Fransiskan Belanda juga mempunyai daerah misi di tempat lain. Tempat-tempat itu antara lain Cina, Brasilia dan Norwegia. Tempat misi ini membutuhkan biaya hidup yang cukup tinggi. Apalagi ditambah dengan daerah misi baru yakni Nederlands Nieuw Guinea.
Dengan perbicangan yang begitu lama, baik antara pihak OFM Belanda, pihak MSC Belanda dan Propaganda Fidei (Roma). Akhirnya pada tanggal 28 September 1936, Prefek Propaganda Fidei menyerahkan misi baru ini kepada Fransiskan dan atas kesepakan bersama antara MSC dan OFM yang kemudian hari menjadi misi yang mandiri dari Fransiskan.
Dua hal penting yang masih harus dilakukan, yaitu harus diadakan kesepakan antara Vikaris Apostolik Nederlands Nieuw Guinea dan Provinsi Ordo Fratrum Minorum (OFM) Belanda. Selain itu masih harus diselanggarakan pengutusan dan perpisahan secara gerejani. Kesepakatan itu ditandatangani pada 22 Desember 1936 di Tilburg oleh Minister Provinsial Belanda, Pater Honoratus Caminada, OFM dan Superior Provinsi MSC Belanda Pater Nico Verhoeven, MSC. Pater Nico Verhoeven, MSC, menandatangani kesepakatan tersebut atas nama Vikaris Apostolik Nederlands Nieuw Guinea Mgr. Aerts, MSC. Di dalamnya dijelaskan pertama-tama tentang daerah misi yang akan diberikan kepada Fransiskan (bdk. Jan Slot, “Fransiskan Masuk Papua Jilid I”, Red, hal. 12-13).
Perpisahan secara gerejawi para misionaris pertama pada tanggal 29 Desember 1936 di gereja Hartenbrug Leiden. Peristiwa ini merupakan sebuah peristiwa bersejarah dalam pembukaan misi baru di Papua. Perayaan ini dilakukan secara meriah dan disiarkan oleh salah satu radio di Belanda (KRO). Hampir seluruh anggota OFM Belanda hadir dalam peristiwa ini. Di saat yang sama Pater Provinsial menyerahkan salib misi kepada saudara-saudara yang akan menjadi misionaris di Papua. Setelah perayaan Ekaristi selesai, perpisahan pun terjadi, karena keenam misionaris Papua itu langsung berangkat ke Genua dengan kereta api. Sesampai di Genua mereka akan menggunakan Kapal laut menuju Papua.
Keenam Misionaris OFM dari Belanda yang ditugaskan di tanah Misi Nieuw – Guinea (sekarang dikenal dengan “Papua”). Mereka berangkat dari Belanda pada tanggal 29 Desember 1936. Para saudara ini terdiri dari lima orang pastor dan satu orang Bruder. Pada tanggal 29 Januari 1937, keenam Misionaris tiba di Batavia (sekarang Jakarta). Perkenalan mereka dengan dunia Hindia-Belanda sangat menakjubkan mereka. Tulis Sdr. Van Egmon : “semuanya menakjubkan, kota, alam, cara hidup orang-orang setempat, sebagaimana saudara-saudara bertingkah laku, singkatnya semuanya itu bagi kami merupakan dunia baru. Waktu di Belanda, sesungguhnya kami tidak mengetahui sedikit pun tentang dunia dengan iklim tropis”
Sebelum ke Papua, perjalanan mereka melalui Makassar dan Ambon, dengan tujuan Tual-Langgur di Kei Kecil (tempat ini adalah pusat Misi Katolik untuk Nieuw Guinea dan Pusat pelayanan biarawan “Missionarii Sacratissimi Cordis” atau dikenal dengan tarekat MSC). Mereka diterima sangat hangat dan ramah di Tual-Langgur. Dari Tual mereka menyebar. Sdr. Van Egmond dan Sdr. Vugts pergi ke Ternate (Maluku Utara), yang pada awalnya Ternate 6 pusat misi yang baru bagi OFM. Sdr. Moors dan Sdr. Vendrig ditentukan ke Manokwari (Papua Barat). Sedangkan Sdr. Louter dan Sdr. Tettero berangkat ke Kaimana (Papua Barat). Maka pada tanggal 18 Maret 1937, mereka untuk pertama kalinya menginjakan kaki di Nieuw Guinea. Dari Kaimana (Papua Barat), Sdr. Louter dan Sdr. Tettero ke Fak-Fak (Papua Barat), tepatnya di Desa Gewerpe.

  1. Daerah-Daerah Misi Fransiskan di Papua
  1. Ternate

Pilihan kota Ternate sebagai daerah misi yang baru, nampaknya agak aneh karena Ternate tidak termasuk di dalam pulau Papua. Namun perlu diketahui bahwa Ternate merupakan pusat pemerintahan yang meliputi Papua dan kota perdagangan rempah-rempah. Baru pada tahun 1936 terjadilah pembagian  pemerintah yang baru dan Ternate hanya menjadi tempat kedudukan asisten Residen. Pada waktu itu Papua masuk dalam Residen Ambon. Alasan lain lagi, sebenarnya bisa dipilih Manokwari sebagai pusat misi Fransiskan, namun pada waktu itu Manokwari sudah dikuasai oleh Zending (Protestan). Apalagi pada saat itu, Manokwari belum ada orang Katolik.
Ternate memiliki sejarah yang panjang, baik dalam bidang pemerintahan maupun kegerejaan. Sudah pada tahun 1518 orang-orang Portugis berusaha memonopoli perdagangan cengkeh di sana. Pada saat itu, pemerintahan Portugis melakukan perjanjian kerjasama dengan Sultan Ternate. Seratus tahun kemudian Belanda merebut Ternate dari Portugis. Belanda mulai melakukan kerjasama dengan Kesultanan Ternate melalui VOC dengan tujuan yang sama yakni menguasai rempah-rempah di daerah tersebut.
Ketika Fransiskan datang pada tahun 1937, umat beriman di Ternate berjumlah 273 orang, yang terdiri atas: 100 orang Eropa dan 173 orang pribumi. Paroki itu hanyalah kecil dan umatnya bertempat tinggal terpencar-pencar. Mereka tidaklah rajin untuk ke gereja. Bangunan gereja juga belum ada. Kedua Fransiskan yang diutus ke sana (Sdr. Van Egmond dan Sdr. Vugts), sesegera mungkin membangun hubungan baik dengan penduduk setempat, namun mereka banyak mengalami kendala dalam bidang bahasa setempat juga bahasa melayu.

  1. Tobelo

Sdr. Vugts berkarya di Tobelo. Ia berkarya di tengah-tengah umat muslim yang keras, hampir-hampir tidak ada kemungkinan untuk membaptis orang untuk menjadi nasrani. Namun pada tahun pertama berkarya di sana, ada 23 orang dewasa yang memberi diri untuk dibaptis. Karena stasi Tobelo belum memiliki sebuah gedung Gereja, maka pada tahun itu juga mulai direncanakan untuk membangun sebuah bagunan gereja. Gereja baru itu selesai pada tahun 1939 dan diberi nama gereja St. Wilibrodus.
Pada tahun yang sama atas permintaan seorang pengusaha Katolik yang tinggal di sana, pada 1939 dibuka juga pos di Tobelo. Bahkan pengusaha Katolik itu menawarkan perkebunannya untuk secara gratis diambil oleh misi. Sdr. Van Egmond sangat senang dengan tawaran ini. Bagi sdr. Egmond hal ini akan membuat misi Fransiskan menjadi mandiri dalam hal finansial, tidak lagi tergantung pada provinsi di Tanah Belanda. Berita ini disampaikan kepada pimpinan di Belanda, namun tawaran ditolak karena untuk mengurus perkebunan itu, dibutuhkan biaya yang besar dan belum tentu perkebunan itu memberikan hasil yang memuaskan. Apalagi pemimpin berpendapat bahwa menguasai perkebunan tidaklah sesuai dengan keluhuran karya misi.
Alasan lain adalah untuk membuka pos misi Ternate tidaklah terlalu efektif dan baik. Maka alasan ini mendorong Sdr. Vugts untuk berkarya di Tobelo, bagian utara dari Ternate. Ketika Sdr. Vugts pergi untuk menetap dan berkarya di Tobelo, datanglah Sdr. Auxilius Guikers mengantikan untuk berkarya di Ternate. Namun perlu diketahui di Tobelo sudah ada Zending yang lebih dulu berkarya di sana. Sehingga tidaklah muda menjalankan misi diantara orang-orang beriman lainnya.

  1. Pengantar Misi di Papua

Keberanian Misionaris Jesuit pun berbuah. Dari Tual Pastor Kuster mengirim Pastor C. van der Heyden SJ untuk berlayar ke Irian Barat. Dalam perjalanan ini kapal yang ditumpanginya terbakar di Pelabuhan Skroe, Fak Fak. Ia merupakan misionaris pertama yang menetap di Irian Barat selama tiga minggu. Misi di Irian Barat dilanjutkan pada tahun 1891 saat pemerintah memberi izin kepada Gereja untuk bekerja di sana. Vikaris Apostolik Batavia mengutus Pastor Cornelis Le Cocq d’Armandville SJ ke Irian Barat. Ia mendarat di pada 22 Mei 1894. Sejak itu, ia lalu mulai merintis sekolah dengan 16 murid.
Sejarah Gereja di Nusantara sampai di sebuat titik penting saat Vikariat Apostolik Batavia dipecah menjadi dua wilayah pada 22 Desember 1902. Wilayah sebelah timur Sulawesi dijadikan Prefektur Apostolik Nederland Nieuw Guinea. Karya di wilayah ini kemudian diserahkan imam-imam SJ kepada imam dari Misionaris Hati Kudus (MSC). Di Langgur, Pastor Serikat Yesus menyerahkan karya kepada imam-imam MSC. Segera setelah itu Misionaris Hati Kudus tiba di Merauke dan mendirikan stasi pertama di Irian Barat tahun 1905. Kepulauan Kei merupakan kedudukan misi terdekat misi Katolik dan melalui daerah inilah para imam tiba di Papua. Saat itu, Ordo Jesuit sebagai penginjil di New Guinea yang berkedudukan di Kei telah digantikan MSC. Imam-imam dari kelompok ini telah mewartakan ajaran agama Katolik di pesisir selatan Irian Barat selama setengah abad.
Tepat tanggal 12 Januari 1912 Gubernur Jendral Belanda Idenburg memisahkan area misi Katolik dan Zending Protestan. Aturan tersebut menegaskan setiap kelompok hanya boleh menjalankan misinya di wilayah yang telah ditentukan. Ketika pecah perang Dunia I sebanyak 90 orang suku Marind menyatakan dirinya sebagai orang misi. Buah iman semakin terlihat ketika delapan wanita dan tiga anak perempuan ikut dipermandikan untuk pertama kalinya dalam sejarah Gereja Irian Barat pada tanggal 7 Juni 1924.
Lima tahun sesudahnya, seorang misionaris Pastor Hermanus Tillemans MSC mulai berkarya di Kokonao, Irian Barat bagian tengah. Ia adalah tokoh sentral dalam pembangunan sejarah Gereja di Irian Barat. Lewat tangannya, ekspedisi dan eksplorasi ke pedalaman untuk menanamkan iman Katolik dilakukan dengan merintis sekolah-sekolah di daerah Paniai terjadi. Namun sepak terjang MSC di pulau cendrawasih ini pun membutuhkan bantuan. Provinsial MSC kemudian meminta bantuan dari Ordo Fratrum Minorum (OFM). Permintaan itu disetujui lewat Kongregasi Propaganda Fide tahun 1936. Pastor Nerius Louter OFM dan Pastor Tetteroo OFM pun menjadi Fransiskan pertama yang menginjak Kaimana, Irian Barat.
Satu sumbangan mutiara imam-imam Saudara Dina di Irian Barat adalah ide untuk membuka isolasi orang-orang pedalaman dengan melakukan penerbangan dengan pesawat ke sana. Ide ini lahir berkat pengalaman Pastor Misael Kammerer OFM. Ia melihat pentingnya sarana transportasi yang memadai guna melayani umat di pedalaman Irian Barat. Usaha ini akhirnya menghasilkan maskapai penerbangan pertama di Irian yang dimiliki oleh empat keuskupan, yakni Association Mission Aviation (AMA). Maskapai ini dimulai dengan sebuah pesawat hibah pada tahun 1956.

  1. Fak-Fak

Pastor Nerius Louter OFM dan Pastor Tetteroo OFM pun menjadi Fransiskan pertama yang menginjak Kaimana, Irian Barat pada tahun 1937 selanjutnya mereka berdua melanjutkan perjalan ke Fak-Fak. Fak-Fak sejak tahun 1930 Pater De Jong, MSC sudah mendirikan Pos misi di sana, dia adalah pastor pertama di tempat itu secara tetap. Wilayah Fak-Fak sangat cocok untuk bertempat tinggal. Tanahnya sangat subur. Di sana dalam sebelas desa dengan jumlah keseluruhan penduduk sekitar 2000 orang, giat bekerja bersama dengan guru-guru Katekis dari Kei.
Di wilayah Fak-Fak ada 764 orang Katolik dan 619 orang katekumen. Semua umat ini, adalah orang-oarang yang tidak beriman dan bersedia menjadi nasrani karena pewartaan Injil. Para Misionaris Hati Kudus Yesus (MSC) sangatlah senang dengan kehadiran para Fransiskan. Fak-Fak mula-mula dilayani oleh Pater Louter, OFM. Suatu kendala yang dihadapi oleh misionaris di tempat ini ialah soal bahasa daerah. Orang-orang yang bertobat dan harus dibaptis, mau tidak mau harus mempelajari iman katolik dengan bahasa yang mereka sendiri tidak mempergunakannya. Disilah letak kesanggupan dari guru-guru Kei yang membantu para misionaris dalam mengajarkan iman kepada umat setempat.

  1. Babo

Babo terletak pada pantai Selatan Teluk Bintuni. Yang istimewah dari Babo adalah bahwa Babo terletak pada suatu dataran pasir, sedangkan alam sekitarnya sampai dikejahuan terdiri atas hutan bakau yang pada saat air pasang dan surut berubah wajah menjadi laut atau lumpur.
Pada tahun 1937, tibalah Pastor Ph. Tettro OFM mengunakan pesawat terbang tiba di Babo dan terjadi penyerahan tugas dari Pastor Meeuwisse kepada Pastor Ph Tettro OFM. Tettro dijuluki Pastor coba coba” karena keberanianya mengambil resiko dalam pelayaran menyebrang Teluk Bintuni menuju Meneboei. Namun, suatu saat tahun 1938 Pastor kehilangan keberanianya karena pada saat menyebrang cuaca buruk, hujan lebat dan angin kencang, sehingga dia menulis dalam memorinya “Saya sama sekali kehilangan keberanian Saya”.
Pimpinan OFM yaitu, Pastor Van Egmon dan Pastor Louter menumpang kapal milik pemerintah dari Fak fak ke Babo, kesempatan ini dipergunakan untuk berkeliling mengunakan speedboat bantuan perusahaan NNGPM. Menuju ke Taniba, lalu ke Mariedi ditempuh dengan berjalan kaki selama 7 jam. Sepatu basah, tubuh penuh lumpur, dan hari sudah gelap tapi masih cukup jauh dari mariedi, kami mempunyai lentera tapi berjalan kaki melewati hutan yang sulit.
Pada tahun yang sama, 1937 datanglah Pastor Van Leewen, OFM tinggal bersama Pator Tettero. Dan Pastror Van Leewen mengarahkan perhatian pada umat lewat orang orang Kei dan orang orang China yang bekerja di perusahaan yang tinggal di sekitar perusahaan NNGPM. Pada waktu itu, wilayah Bintuni (Maniboei) dilayani dari Babo. Masih pada tahun 1937 wilayah Papua Barat bagian utara oleh MSC diserahkan kepada OFM. Pada tahun 1953 OSA datang dan bergabung dengan OFM melayani Papua Barat bagian Utara Jayapura, Biak, Manokwari, Sorong, Fak-fak dan Kaimana.
Dalam pelayananya, Pastor tettero diserang malaria walau sembuh tapi fisik lemah, sehingga perusahaan NNGPM) menulis surat kepada Pimpinan Ordo (Superior OFM) bahwa, Pastor ini tidak bisa bertahan terhadap keadaan tropis, dan lebih baik kembali ke Belanda. Sekalipun demikian, Pastor tettero terus berkeliling (tornee), sehingga kampung kampung mulai Nampak berkembang. Kampung Mabriema (Fruata) menjadi kampung kesukaan  Pastor Teetero. Dia membangun rumah sederhana sebagai Pastoran dan mulai mempelajari bahasa daerah.

  1. Manokwari

Manokwari baru menjadi pos misi tetap ketika MSC mengambil alih Papua bagian Utara. Tidak lama sebelum itu hanya dua kali setahun datang seorang Pater mengunjungi Manokwari untuk melayani orang-orang Katolik yang ada di Manokwari. Seperti kebanyakan daerah lain, umat Katolik di tempat ini, tinggal terpisah-pisah dan jarak dari yang satu ke yang lain amtlah jauh. Rata-rata umat ditempat ini, adalah para pegawai pemerintah Belanda. Secara resmi Manokwari menjadi tempat pastor yang tetap pada tahun 1935. Namun di situ belum rumah yang tetap untuk seorang Pater. Ketika pater Van Egmond, OFM bersama Pater Moors, OFM, tiba di Manokwari merekapun terkejut. Kerana di Manokwari terdapat sebuh gubuk yang sudah usang.
Di kemudian hari misi menyewa sebidang tanah. Di atas tanah itu didirikan sebuah rumah kecil dari kayu, yang sementara dapat menjadi tempat berteduh. Rumah ini dibangun oleh Br. Bas Vendrig, OFM dengan susah payah, kerana pada dasarnya ia bukan seorang yang ahli bangunan, namun berkat pengalaman ketika di Belanda ia dapat mendirikan rumah itu.
Tampaknya pantai utara ini tidak banyak memberikan hasil yang memuaskan bagi karya misi. Maka pada tahun 1938 Pater Van Egmond, OFM mengadakan perjalanan menyusuri pantai utara dan ia mengunjungi dua kampung di sana (Nubuai dan Membui) pada pantai Waropen. Di sebelah pulau Yapen. Maka di sini ia menugaskan beberapa guru katekis untuk tinggal di kampung-kampung tersebut, dengan tujuan umat dapat mengenal Kristus. Pater Egmond, OFM secara eratur mengunjungi dua kampung tersebut.
Di Manokwari dan sekitarnya (Pantai Ransiki) hanya tinggal sedikit orang Katolik. Menurut data statistik ada 159 orang Katolik Eropa dan 73 Katolik pribumi. Dalam jumlah ini juga orang-orang kolonis di sekitar Hollandia. Tidak ada katekumenat. Karena hal ini dilarang oleh misi Zending. Zending sudah secara kokoh melancarkan pewartaan Injil di daerah ini, maka tidak mengherankan bahwa ini menjadi suatu tantangan tersendiri.
 

  1. Arso dan Daerah Sekitarnya

Pada tahun 1938 datanglah Pater Frankenmolen, OFM di Manokwari. Ia mengambil alih perjalanan pelayanan ke Hollandia dari Pater Moors, yang sering sakit-sakitan. Setelah berkarya di Manokwari beberapa bulan, akhirnya Pater Frankenmolen mengadakan kunjungan ke Hollandia. Dia datang ke Hollandia untuk melayani pegawai pemerintah, dan beberapa pedagang Cina yang beragama Katolik. Di Hollandia pater Frankenmolen berteman baik dengan seorang inspektur Polisi, dimana dalam pertemuan ini pater Frankenmolen menyampaikan niatnya untuk melayani orang Papua yang ada di pedalaman.
Atas keyakinan yang diberikan oleh polisi tersebut dan dengan pengalaman beberapa hari di Hollandia, maka pada 1939, pergilan Pater Frangkenmolen menuju ke pedalaman Hollandia. Ia akhirnya tiba di kampung Arso. Dari Arso ia mulai berjalan kaki empat hari lamanya, akhirnya ia tiba di Skamto. Ia tinggal di Skamto beberapa hari, sebelum akhirnya ia melakukan perjalan lagi ke kampung Waris dan Amogotro. Di Arso belum ada apa-apa, tidak ada pos pemerintah, tidak ada orang-orang Zending dan tidak sekolah.

  1. Mimika

Misionaris Fransiskan baru berkarya di pantai Mimika pada tahun 1952. Kehadiran Fransiskan di situ bukalah yg pertama, Fransiskan hanya melanjutkan tugas yang sudah dijalankan oleh Missionarii Sacratissimi Cordis (yang dikenal dengan singkatan MSC). Pada tahun ini, ada 39 saudara Fransiskan yang berkarya di Nieuw – Guinea. Mereka terdiri dari 33 orang Pater dan 6 orang Bruder.
Di Mimika ditempatkan tiga orang Pater Fransiskan. Pater Julianus Coenen, OFM yang memperoleh wilayah kerja di bagian Timur dan tinggal seorang diri di Atuka. Bagian barat Mimika dipercayakan kepada Pater Rombout, OFM, sedangkan di pusat Kokonao dipercayakan kepada Pater Marcellus Stevens, OFM. Di Kokonau ini menjadi pusat paroki.
Pada akhir tahun 1953 datang lima orang suster dari Konggregasi Heerlen (Belanda), untuk membantu karya pastoral di sana. Mereka lebih kusus berkarya pada rumah sakit dan asrama putri yang ada di situ. Pada waktu itu, di Mimika sudah ada 102 sekolah, tiga per empat dari sekolah-sekolah ini mendapat subsidi dari Pemerintah. Sekolah-sekolah ini mempunya guru sebanyak 130 guru dan murid sebanyak 3.500 orang.
Dari Timika beberapa saudara antara lain, Pater Misael Kammerer, OFM  mulai mengadakan suatu ekspedisi ke daerah pegunungan. Ia dikenal sebagai orang yang tanggung mendaki gunung dan kuat berjalan dalam mendan apapun. Ia juga salah satu saudara yang berusaha mengadakan perjalan ke Lembah Balim namun gagal untuk mencapai lembah agung itu. Beberapa tahun kemudia barulah Lembah Agung ditaklukan oleh misi Fransiskan.

  1. Akibat Perang Dunia II dan Martir Pertama Fransiskan di Papua

Jepang yang telah berabad-abad menutup diri pada dunia, pada 1953 dipaksa oleh Amerika untuk membuka diri bagi pengaruh Barat yang cukup mempengaruhi seperempat belahan dunia ini.  Dengan keadaan seperti ini Jepang menjadi sadar bahwa dirinya tertinggal dan dalam waktu yang singkat, Jepang mulai gencar melaksanakan agresinya.
Pada 1905 pasukan angkatan laut Rusia dikalahkan telak oleh Jepang dalam suatu pertempuran. Jepang bersekutu dengan Inggris, maka tidak heran sebagian wilayah Cina menjadi daerah jajahan Jepang. Jepang sudah memaksa untuk menempatkan pasukan perangnya di Indo-Cina. Untuk memperkecil bahaya, Amerika mulai berusaha untuk mencegah maksud Jepang menguasai Indo-Cina.  Jepang mengetahui hal itu, sehingga pada 28 Desember 1941, Pearl Harbour diluluhlantakkan oleh serangan Jepang yang datang tiba-tiba tanpa diketahui oleh Amerika.
Pada 12 Januari 1942, Jepang mendarat di Hindia Belanda dan pada saat yang sama Jepang dengan tegas mengumumkan pernyataan perang melawan Belanda. Serangan Jepang berlangsung sangat cepat. Pada 10 Januari 1942, Jepang mendarat di Minahasa (Sulawesi Utara) dan Tarakan (Timur laut Kalimantan).
Pada 23 Januari menyusul pendaratan di Balikpapan (Kalimantan Timur) dan pada 30 Januari Jepang mendarat di Ambon.  Pendudukan Nieuw Guinea tidaklah begitu diutamakan, yang terpenting hanyalah instansi minyak di Babo (Papua Barat), tetapi pada kenyataannya instansi ini sudah dirusakkan oleh KNIL sebelum Jepang mendarat pada 1 April, sedangkan Fakfak baru dikuasai pada 2 April.  Pada saat yang sama kontrolir Victor de Bruyn melarikan diri bersama kolega kerjanya dan ditolong oleh orang-orang Papua untuk melarikan diri lebih jauh ke pedalaman Papua. Mereka ini bertahan sampai pada 1944. Di kemudian hari mereka diungsikan ke Australia.
Hal yang sama dialami oleh para misionaris Katolik yang berkarya di Papua. Mereka (para misionaris Katolik) banyak ditangkap dan dipenjarakan di beberapa tempat di Indonesia.  Sampai-sampai pada 16 April 1942, Sdr. Auxilius Guikers, OFM dibunuh oleh tentara Jepang. Semenjak datang ke tanah misi, Pater Guikers menjadi pastor di Ternate. Namun akhirnya ia dipindahkan ke Manokwari, dengan perintah untuk menyelenggarakan karya misi Katolik di sekitar danau-danau Wiesel.
Pada saat itu, Mgr. Yohanes Aerts (yang juga menjadi korban pembunuhan oleh tentara Jepang di Tual) telah mendesak supaya para misionaris harus mulai berkarya di daerah itu. Yang mana, daerah di sekitar danau-danau Wisel telah dibuka oleh Pater Tillemans, MSC (kemudian hari menjadi Uskup Merauke yang pertama) dan di situ ada beberapa guru yang sudah bekerja.
Pada saat Pater Guikers OFM sudah tiba di Manokwari. Sesungguhnya ia sudah berjalan kaki dari daerah sebelah utara Papua ke danau-danau Wisel dan dari sana ia berjalan kaki kembali. Namun karena situasi perang yang terjadi, perjalanan itu tidak membuahkan manfaat untuk adanya suatu tindakan lanjut. Tidak dapat dipungkiri bahwa situasi perang ikut mempengaruhi karya misi Katolik di Papua. Kehadiran Jepang membawa warna baru bagi kehadiran Misi Katolik.
Pada 24 April tibalah Sdr. Nicasius Flaat, OFM dari Ternate, Sdr. Nerius Louter, OFM dan Sdr. Adelphus van Leeuwen dari Fakfak.  Tanggal 2 Mei datang juga Sdr. Fulco Vugts, sedangkan Sdr. Auxilius Guikers, OFM ditangkap di dalam rumah persembunyiannya oleh tentara Jepang. Ia ditangkap pada 16 April 1942. Menurut cerita, ia ditangkap karena terjadi pengkhianatan. Guikers, OFM dituduh telah merusak pangkalan perusahan Jepang di Manokwari.
Dikisahkan sebagai berikut:  “Sdr. Guikers, OFM ditangkap lalu dibawa ke Moni untuk diadili di sana, dia dituduh sebagaimana yang telah disampaikan di atas. Dia sendiri saat itu masih menggunakan jubah Fransiskan. Mula-mula sebelum dieksekusi mati oleh tentara Jepang, Sdr. Guikers disuruh menggali lubang pemakamannya sendiri. Hal ini terjadi di Pantai Moni, Ransiki.  Sebelum dieksekusi ia meminta waktu untuk berdoa. Permintaannya itu dikabulkan, tetapi ketika dia masih berdoa, dia ditikam dengan dua pedang dari sebelah kiri tembus sebelah kanan.  Pedang yang satu ditikam pada leher dari sebelah kiri tembus ke sebelah kanan. Akhirnya jenazahnya ditendang masuk ke dalam lubang yang sudah digali itu. Lubang kubur itu ditimbun dengan pasir.  Sesudah itu tentara Jepang pun pergi. Karena lubang kuburan itu begitu dangkal, beberapa orang muda pengikutnya mengumpulkan batu-batu di atasnya, untuk menghindari bahwa lubang itu terbuka kembali bila air pasang naik.”
Sdr. Auxilius Guikers, OFM, meninggal di Ransiki, pada 16 April 1942 dalam usia 31 tahun. Ia menjadi Fransiskan selama 11 tahun dan sebagai imam hanya berlangsung 5 tahun. Ia datang ke Nieuw Guinea (Papua) pada Desember 1937. Dia berkarya di Papua (Fakfak dan Manokwari) selama 4 tahun 4 bulan. Ia mulai berkarya sebagai pastor Fransiskan di Fakfak selama satu tahun. Kemudian pindah ke Manokwari.

  1. Kepala Burung (daerah pedalaman)

Di dekat Sausapor. Di sebelah Timur laut Sorong, tinggalah Wilem Japen, ayahnya berasal dari Biak. Sebelum perang dunia II berlangsung, ia sudah berkenalan dengan Pater Frankenmolen OFM di Manokwari dan sebagai pembantu rumah dia mengikutinya ke Belanda. Di sana ia menjadi Katolik. Setelah perang ia kembali ke kampung kelahirannya di Werur, beberapa jam perjalanan dari Sausapor. Melalui dia dan melalui murid-muridnya di Sorong terjadilah kontak antara pihak misi dengan daerah itu. Untuk mengenal lebih jauh pada tahun 1948 salah seorang pater Fransiskan mengunjugi daerah itu dan dari sana ia mulai masuk ke pedalaman Sorong.
Akan tetapi waktu yang sama pimpinan di Hollandia menyampaikan berita bahwa di sekitar danau-danau Ayamaru, di pusat kepala burung, berdiam begitu banyak orang yang belum mempunyai kontak dengan misi katolik ataupun Zending. Kelihatannya ini sebuah peluang misi yang menjanjikan dan karena itu Pater Cremers memberi tugas kepada Pater Rombouts untuk pergi ke Sorong dan dari sana ia mendirikan pos misi pada danau-danau Ayamaru itu. Pater Rombouts ditemani dengan seorang guru Katekis dari kei bernama Matias Teniwut. Namun ia gagal tinggal di pesisir pantai Sorong karena dihadang oleh Zending yang lebih dulu berkarya di situ.
Ketika gagal mendirikan pos misi di Sorong pater Rombouts kembali ke Sausapor dan dari situ ia berusaha untuk berjalan menuju wilayah pedalaman kepala burung bagian tengah, tepatnya di Aifat dan Karoon, di sana ia bersama beberapa guru berhasil mendirikan sekolah-sekolah. Yang menjadi kesulitan adalah kurangnya tenaga guru untuk mengajar di sekolah-sekolah yang sudah di buka itu.
Pada juli 1950 Pater Rombouts dalam keadaan sakit kembali melakukan perjalanan yang lebih jauh ke pedalaman Kepala Burung. Namun karena sakit dokterpun melarangnya untuk melakukan perjalan itu, akhir 1950 Pater Rombuts kembali ke Teminabuan untuk memulihkan kesehatannya dan ia diganti oleh Pater Mous yang menjadi pastor di sana.

  1. Masuk ke Daerah Pegunungan (Kontak pertama dengan orang di Danau-Danau Wisel)

Daerah pegungan di atas pantai Mimika, pada pertengahan abad 20 menjadi perhatian banyak antropolog yang melakukan ekspedesi ilmu alam. Pada 26 Desember 1936 Pater Tillemans, MSC bersama rombongan dr. Buljmer melakukan perjalan ke pegungan di atas Mimika dan mereka tiba di Modio, salah satu pusat penduduk pegunungan, dan di sinilah tempat tinggal kepala suku besar yaitu Auki Tekege.
Danau Wisel ditemukan oleh oleh pilot bernama Wisel pada tahun 1937. Pada 11 November 1937 mendaratlah pesawat terbang pertama pada danau  terbesar dari tiga danau itu, yakni danau Paniai. Berkat informasi yang didapatkan dari sang pilot tersebut, diadakanlah suatu ekspedisi besar-besaran yang melibatkan berbagai pihak, termasuk juga Pater Tillemans, MSC.
Mengingat perkembangan yang terjadi di danau-danau Wisel ini, para Fransiskan yang berkarya di sebelah utara Papua tentu akan mengambil alih di daerah tersebut dan hal ini berarti bahwa perluasan misi yang dijalnakan oleh Fransiskan akan semakin luas. Maka dibuat serah terima wilayah baru dari tangan MSC kepada OFM. Hal ini diputuskan oleh Mgr. Grent. Maka saat itu Fransiskan mulai mengambil alih wilayah pada danau-danau Wisel. Hal ini terjadi pada Oktober 1948. Dan kenyataan semakin bertambah, bahwa Fransiskan terus meluaskan wilayah kerjanya bukan hanya pada daerah sekitar danau-danau Wisel melaikan sampaikan ke wilayah Puncak Jaya.
Tanpa disangka-sangka pada 3 Maret 1950 bertambah kontingen misionaris di daerah tersebut dengan tibanya Pater Lantantius Nouwen, OFM. Dan pada tanun yang sama tiba enam guru berijazah yang datang dari Kei, bersama dua orang pemuda Hindia. Seorang dari mereka diangkat menjadi katekis, dan yang lainnya bekerja sebagai guru dan rangkap sebagai mengerjakan kebun yang ditinggalkan oleh Pater Steltenpool di Enarotali.
Sementara itu Pater Leo Boerma sangat sibuk menuliskan bahasa Ekari yang sampai saat ini hanya terdapat dalam bahasa lisan, sehingga untuk selanjutnya para misionaris dapat mengajar orang dalam bahasa mereka sendiri. Pater Noiwen berusaha mengkap bahasa itu sebanyak mungkin. Pada hari terakhir bulan Mei 1950 Pater Tillemans berpisah dengan masyarakat di danau-danau Wisel, lalau berangkat berjalan kaki ke Mimika. Dua belas tahun yang lalu ia datang ke situ. Setelah beberapa minggu, disiarkan berita bahwa beliau diangkat menjadi Vikaris apostolik pertama Merauke.
Pada Februari 1952 datanglah Pater Engelbert Smits dan ia pertama yang tinggal di Modio. Di sini diadibantu oleh kepala suku Auki. Bersama dengan pater Steltenpool mereka berdua mulai menjelajahi daerah sekitarnya. Sesudah beberapa minggu akhirnya Patern Steltenpool kembali ke Ugapa. Ketika pada tahun yang sama dua sekolah pertama di buka, maka datanglah dua katekis dari Timika dan mulai mengajar di situ.

  1. Misi ke Lembah Balim

Upaya Misionaris Katolik (OFM) untuk melakukan suatu Misi ke daerah Lembah Baliem, mengalami berbagai kegagalan. Mulai dari Sdr. Misael Kammerer ( Sdr ini dikenal sebagai seorang yang tangguh menjelajahi daerah pegunungan Papua) yang melakukan perjalan dari ke Lembah Baliem via Ilaga ( Skrng Kab. Puncak- Prov. Papua) bersama dengan orang-orang yg bersedia mengantarnya pada perjalan itu. Sdr. Misael ditemani oleh seorang guru, dia adalah Moses Kilangin (Putra Amungme). Dengan setia sang guru ini, bersedia mengantar Sdr. Misael dalam Misi tersebut. Perjalan ini pada kenyataannya tidak sampai pada tujuan yg dituju, mereka hanya sampai pada wilayah Baliem Barat. Mereka tinggal di wilayah Baliem Barat (sekarang dikenal dengan Kab. Lani Jaya dan Kab. Tolikara) kurang lebih 6 hari, mulai dari tanggal 09 sampai 14 Maret 1954 sebelum mereka melakukan perjalan pulang.
Akhirnya pada tanggal 19 Januari 1958 Sdr. Audifax Arie Blokdijk pergi ke Wamena untuk Orientasi selama 2 hari (tanggal 19-21 Januari 1958 dan untuk mempersiapkan membuka Pos pertama Gereja Katolik di Baliem. Sdr. Ari Blokdijk pergi ke Lembah Baliem (Wamena-Kab. Jayawijaya) menumpangi sebuah pesawat Norsemen dari Sepic Airways Company, Papua New Guinea. Tanggal ini 19 Januari diabadikan sebagai tanggal mulainya Misi Katolik di Lembah Baliem. Setalah menyelesaikan Orientasi tersebut, Sdr. Ari Blokdijk kembali ke Hallandia (Jayapura) untuk mempersiapkan segala hal untuk Misi tersebut.
Pada tanggal 5 Februari 1958, Uskup Manfred Staverman dan Sdr. Arie Blokdijk bersama dua orang dari Waris, Anton Amo dan Dionisius Lenk Maunda, tiba di Wamena dan mereka mulai mendirikan pos Gereja Katolik yang pertama di Lembah Baliem, yaitu di Wamena, tepatnya di Wesagima atah Wesaima, dekat Kali Wesek.

  1. Misi di Amugme

Pada saat pengangkatan di Kugapa, Pater Kammere mendapatkan tugas disamping sebagai pastor, juga tugas untuk menyelediki wilayah ke sebelah Timur lagi. Waktu itu hanya ada berita burung perihal suku-suku yang tinggal di sana. Kugapa sendiri adalah tempat tinggal dari sekitar 500 orang Moni, yang berbatasan langsung dengan orang-orang Ekari. Diharapakn bahwa mereka kan memberi bantuan untuk mengadakan kontak dengan orang-orang Moni lain yang tinggal lebih jauh ke arah Timur dan dari situ masih dengan suku-suku yang lain. Maka pada bulan terakhir pada tahun 1951, P. Misael melakukan perjalanan ke masyarakat Ugundimi, sekelompok penduduk yang terutama menempati wilayah sebelah selatan puncak Cartenz sebagai tempat mereka tinggal. Orang-orang ini menamakan diri Amugme.
Sekian lama bekerja di sana. Dibantu oleh guru Mozez Kilangin dan bersama guru-guru katekis yang lain. Kelihatannya agama Kristen mulai berakar di daerah tersebut. Maka pada tahun 1960, Pater Jan Koot, OFM yang datang mengantikan Pater Jorna, memutuskan untuk menyelenggarakan pesta permandian. Maka pada malam paskah dia mempermandikan 167 orang. Dari peristiwa ini, lalu dapat dimengerti juga bahwa penduduk bereaksi dan antusias ketika Gereja mulai melaksnakan karyanya di antara mereka.

  1. Misi di Pegunungan Bintang

Baru pada akhir tahun lima puluhan diadakan eskpedisi dari sebelah selatan menerobos masuk ke wilayah pegunungan bintang. Memang pada waktu perang dunia kedua berlangsung telah dibuat penerbangan pengenalan untuk mengambil foto-foto di daerah itu, dan telah mendapat hasil yang baik tentang letak dari Pegunungan Bintang yang terjal. Ekspedisi menjadi cikal bakal pembukan pos misi di daerah pegunungan bintang.
Seusai ekspedisi itu, pada 14 september 1959, Brongersma pemimpin ekspedisi, setelah ekspedisi ia sendiri berkunjung ke Hollandia dan setelah berkunjung di Hollandia akhirnya ia kembali ke Sibil untuk menyelesaiakn beberapa hal terkait dengan ekspedisi yang sudan ia buat bersama timnya. Dalam rombongan itu terdapat Jan van de Pavert, OFM.  Pater Jan tinggal di Kiwirok dan di sana ia membuka poliknik sederhana. Sedangkan pater Mous menjadi pastor di wilayah Sibil. Pada awal tahunn1960an mata Pater Mous mulai sakit dan ia harus pergi ke Rabaul untuk pengobatan. Selama masa itu Pater Van de Pavert menggantikannya. Dia mulai membangun sebuah bangunan untuk pastoran di tempat ini, namun kenyataan ia bukan seorang tukang. Maka dalam bulan yang sama datang Br. Gabriel Roes, OFM (ahli bangunan) menolong Pater Mos membangun bangunan pastorannya.
Pada 25 Juli Pater Mos membuka sekolah di Mabilabol dengan 43 murid. Sementara itu ia juga mengadakan perjalanan ke lembah Bi-Baab, ketika pulang dari sana ia mampir di Oksop dan mendapatkan bahwa wilayah itu jauh lebih padat penduduknya dari pada diperkirakan semula. Pada perjalannya dalam bulan November tahan yang sama sampailah ia di Kiwirok dan menempatkan seorang katekis di sana. Pada Januari 1961 tibalah guru berijaza dan bersubsidi yang pertama di Mabilabol, untuk kemudian akan menetap di Abmisibil.
Menjelang akhir tahun 1961 diputuskan untuk meninggalakan Kiwirok. Pada bulan Maret 1962 Pater Mous membuka sekolah di Iwur dan sekitar pertengahan 1962 Pater Hylkema mendapatkan bantuan dari 4 orang yang bersedia membantunya dalam menjalankan proyek pembangunan lapangan terbang di sana. Dalam tahun 1963 akhirnya lapangan terbang itu selesai.

  1. Pilot-Pilot Fransiskan di Papua

Di samping permasalahan helikopter atau pesawat terbang, yang pada waktu sangat mendukung kelancaran misi. Ada juga pertanyaan dari mana dapat diperoleh pilot-pilot. Akhirnya oleh para Fransiskan diputuskan untuk mendidik saudara-saudara Fransiskan sendiri menjadi Pilot. Dari enam calon yg ditentukan oleh dewan pimpinan persaudaraan OFM, terpilih tiga orng untuk mengikuti pendidikan pilot. Saudara-saudara yang terpilih itu adalah sdr. Frans Verheijen, OFM, sdr. Henk Vergouwen, OFM dan Sdr. Karel Hermans, OFM. Pendidikan menjadi pilot itu ditempu di Belanda dan Amerika. Mereka dinyatakan lulus sebagai pilot pada Oktober 1957.
Sementara itu juga sudah diambil keputusan perihal pesawat mana yang akan diterbangkan. Dipilihlah pesawat Cessna 180. Pada tahun 1957 pesawat-pesawat mulai dipesan. Setelah tiba di Papua, pesawat-pesawat itu diberkati oleh Mgr. Staverman, OFM pada 23 Maret 1959. Tanggal ini menjadi tanggal resmi mulainya penerbangan misi di Papua. Pada mula misi ini terasa susah. Misalnya sesudah setiap 25 jam terbang, pesawat terbang itu harus diterbangkan ke Wewak (PNG) untuk pemeliharan teknis, yang belum dapat dilakukan di Hollandia (sekarang dikenal dengan Jayapura). Tetapi yang terpenting yaitu penerbangan sudah dimulai.
Pada bulanJuni 1959 tiba sdr. Frans Verheijen, OFM di Hollandia dengan sebuah CPL dan selembar lisensi mekanik di tangan. Maka pada bulan September pada tahun yang sama sebuah hangar dibuka di Hollandia. Dengan demikian perusahan penerbangan dapat berjalan. Pertama-tama Wamena dan Sibil. Kemudian menyusul Kepala Burung dan pada bulan September di Paniai siaplah strip landasan yang pertama di Eupouto. Peristiwa ini menjadi peristiwa besar dalam sejarah penerbangan misi Fransiskan di Papua.

  1. Perubahan Politik

Ketegangan yang berkembang antara Indonesia dan Belanda sejak penyerahan kedaulatan pada tahun 1949, terutama berkisar tentang masalh Papua. Pertentangan itu pada permulaan tahun enam puluhan mengarah ke perang yang sesungguhnya. Karena desakan politik dari luar, hal ini dapat dihindarkan dan Belanda harus melepaskan bagian terakhir dari apa yang dulu disebut “Hindia Timur”. Hal ini bagi misi Fransiskan juga menimbulkan akibat-akibat yang besar. Di samping itu, pada waktu itu juga ada perubahan-perubahan gerejawi yang besar yang disebabkan oleh Konsili Vatikan II.
Kendati adanya semua usaha dari pihak Belanda pada front diplomatik dan kendati telah digelar pasukan sejak permulaan tahun-tahun enampuluhan sudah jelas bahwa Belanda lama kelamaan tidak bisa mempertahankan lagi klaimnya atas Papua ini. Juga gereja Hervormn Belanda campur tangan dalam menyelesaikan persoalan ini melalui keputusan-keputusan Sinode. Berbagai usaha telah dijalankan dari pihak atau bersama Zending demi diadakannya pembicaraan antara Belanda dan Indonesia, diuraikan panjang lembar dalam pertemuan Konferensi Den Haag.
Sejauh diketahui, para Uskup Belanda tidak mencampuri urusan politik tersebut, sebagaimana telah mereka perbuat juga dalam kaitan dengan kemerdekaan bangsa Indonesia. tetapi perihal masalah Papua ini, telah terjadi korespondensi antara episkopat Belanda dan Episkopat di Indonesia. ketika sengketa itu mulai melibatkan senjata, pada tahun 1962 episkopat Belanda telah mengirim telegram baik kepada pemerintah Belanda maupun pemerintah Indonesia, dengan seruan supaya dengan segala kemauan baik berusaha menuju kepada pemecahan damai atas perselisihan tentang persoalan Papua, dengan jalan mengadakan pembicaraan secara terbuka dan penuh kepercayaan antara semua yang terlibat.
Juga pihak Fransiskan Belanda yang di Jawa telah berusaha melakukan kontak dengan pemerintah Indonesia terkaitan persoalan Papua. Pemimpin Fransiskan Jawa, Pater Bernulf S OFM mengirim sepucuk surat kepada sesama saudaranya, dengan permintaan agar setiap saudara bisa mengalai peristiwa dengan tenang. Kendati pendapat-pendapat yang ada di Papua saat itu sangat kuat memihak pada diteruskannya hubungan yang ada dengan pemerintah Belanda, namun sudah terdengar juga bahwa orang-orang yang berjuang demi tujuan hubungan yang lebih baik dengan pihak Indonesia, atau bahkan bergabung dengan RI.
Dalam bidang pendidikan, perubahan itu langsung kelihatan. Dengan sendirinya kurikulum Indonesia diterapkan di semua sekolah yang ada di Papua. Selanjutnya dalam bidang pendidikan sekolah rakyat hilangnya perbedaan antara pendidikan kota dan pendidikan desa. Tugas penganjar Belanda diambil ahli terutama oleh tenaga-tenaga pengajar dari Jawa. Namun semua maksud ini tidak muda dijalankan. Bagi misi dan zending pedalaman sudah sulit sekali untuk menarik anak-anak datang untuk bersekolah selama tiga tahun, apalagi untuk enam tahun, anak Papua dan orang tua dari anak-anak ini seringkali kurang berminat dengan aturan baru ini. Sebagai makota dari sistem pendidikan yang baru itu, Papua memperoleh Universitasnya dengan nama UNCEN di Abepura mula-mula, namun berkembang sampai gunung di P3.

  1. Pimpinan OFM di Tanah Papua dari Tahun 1937 – Sekarang

Superior Regularis I                : Saturninus van Egmond                    : 1937 – 1945
Superior Regularis II (pjs)       : Nerius Louter                                    : 1945 – 1947
Superior Regularis III             : Oscar Cremers                                   : 1947 – 1950
Superior Regularis IV             : Claudius van deWestelaken              : 1950 -1954
Superior Regularis V               : Manfred Staverman                          : 1954 -1956
Superior Regularis VI             : Eelco Bruinsma                                 : 1956 -1964
Superior Regularis VII            : Dirk Lunter                                       : 1964 -1967
Superior Regularis VIII          : Koos Houdijk                                   : 1967 -1971
Superior Regularis IX             : Frans van Maanen                             : 1971 – 1977
Superior Regularis X               : Jos Donkers                                       : 1977 -1983
Superior  Regularis XI            : Jan Koot                                            : 1983 -1987
Sejak 21 September 2008 menjadi Custodia lndependens
Kustos I          :   Gabriel Ngga           2008-2011
Kustos II         :   Gabriel Ngga           2011-2014
Kustos Ill        :   Wilhelmus I. G. Saur          2014-2017
Sejak 14 September 2017 menjadi Provinsi
Minister Provinsial I  : Gabriel Ngga
 
editor : Zeperino Juan

Leave a Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *