Cerita Karya Misi Fransiskan (OF) Sesudah Perang Dunia II di Papua
Tahun 1945, sesudah perang dunia II, para misionaris yang ditanggap dan dipenjarakan akhirnya dibebaskan. Mereka ini kembali ke tempatnya masing-masing. Selain kembali ke tempat tugas, ada juga yang memilih cuti ke Belanda. Itulah situasi awal sesudah perang dunia II berakhir. Pada saat yang sama, Pater Tettero, OFM kembali ke Babo (Papua Barat) untuk kembali berkarya dan Pater Louter, OFM pergi ke Hollandia (Jayapura). Maka Pater, Tettero, OFM terpaksa dari Babo mengunjungi umat di kampung Mabriema, mengunjungi Fak-Fak yang sudah ditinggalkan oleh Pater Louter, OFM. Inilah awal mula sang gembala mengumpulkan kembali domba-dombanya yang tercerai berai.
Pada tahun 1946 Pater Hans Frankenmolen, OFM mengunjungi umat di Girere, Ngiao, Wembi dan Waris. Lain halnya dengan Pater Louter, OFM yang bekerja di Hollandia Biannen (Abepura) untuk mengurusi paroki yang baru dibuka itu. Tahun yang sama pula tibalah di Papua tiga orang misionaris baru. Meraka itu ialah Pater Keizer, OFM, Pater Hoogendijk, OFM dan Pater Gondrie, OFM. Para misionaris muda pada mula bertugas di sekitar wilayah Hollandia, sebelum akhir ditugaskan di wilayah paroki mereka masing-masing. Tahun berikutnya, yakni pada 1947 sekian banyak misionaris Fransiskan berturut-turut datang ke Papua. Mereka itu antara lain: Pater Boersma, OFM yang tiba di Papua pada 22 Februari. Pater Wempe, OFM yang tiba di Papua pada 01 April. Pater Lambert Bischop, OFM yang tiba pada 14 April. Pater Kammerer, OFM dan Pater Stevens, OFM yang tiba pada 16 April. Pater Cremers, OFM tiba di Papua pada 09 Mei, ia datang sebagai wakil Mgr. Grent. Dua bulan kemudia yakni pada 10 Juli tibalah di Papua Pater Willem Rombouts, OFM. Pada saat yang sama, Pater Keizer, OFM ditugaskan sebagai Pastor di Kotabaru, sedangkan Pater Hogendijk ditugaskan di Ngiao dan Pater Gondria menjadi pastor di Fak-Fak.
Dari beberapa misionaris yang baru datang ini, akhirnya ditugaskan di berbagai tempat di Papua. Pater Boersma ditugaskan sebagai pastor di Manokwari. Pater Wempe, OFM bertugas sebagai pastor di Steenkool. Pater Bisschop, OFM ditugaskan sebagai pastor di Mabriema. Pater Kammerer, OFM dan Pater Roumbouts, OFM ditugas di Wembi. Pater Cremmers, OFM dan Pater Stevens, OFM ditugas sebagai pastor di Kotabaru. Menurut rencana Pater Cremmers, OFM, di Wembi harus ada suatu biara Fransiskan, dimana para penghuninya, yakni para Pater dan Bruder dengan tekun membangun semangat doa bersama dan bekerja. Dari komunitas inilah para misionaris bersebar menggujungi daerah-daerah sekitarnya.
Sementara itu Pater Tettero, OFM dan Pater Louter, OFM mengambil cuti tahunan ke Belanda. Maka Babo menjadi kosong dalam pelayanan. Di sisi lain pengeboran minyak bumi dipindahkan ke Sorong, dengan demikian para pekerja dari perusahan ini akhirnya ikut pindah ke Sorong. Pada April 1947 Pater Van Leeuwen, OFM mulai membuka stasi di tempat pengeboran minyak. Sebelum adanya pengeboran minyak, Sorong merupakan pantai penuh rawa-rawa, dengan kampung-kampung kecil namun setahun kemudia Sorong berubah menjadi sebuah kota maju berkat kehadiran persahan minyak tersebut. Pada saat itu penduduk di Sorong menjadi meningkat. Penduduk ini terdiri dari orang-orang Belanda, orang Ambon, Kei, Tanimbar, NTT dan suku-suku lainnya dari luar Papua. Inilah situasi dimana Pater Leeuwen, OFM berkarya. Sang pater ini mulai mendirikan sebuah sekolah untuk anak-anak yang siap dididik. Tidak lama kemudia, datanglah Pater Stevens, OFM yang menjadi rekan kerjanya di Sorong. Pada tahun 1948 datang para suster Konggregasi Dara Mulia di Papua. Mereka ini ditugaskan di Sorong sebagai tenaga guru, dengan adanya suster-suster inilah maka, sekolah mendapat subsidi penuh dari pemerintah. Tidak lama kemudian datang beberapa guru awam dari luar negeri. Mereka menggambil ahli sebagian dari pekerjaan para suster. Beberap dari suster ini akhirnya dipindahkan ke Fak-Fak untuk membantu sekolah di sana.
Pada tanggal 12 Oktober 1947, ditunjuklah Pater van de Berg, OFM sebagai misionaris untuk Papua. Namun Pater Berg, OFM masih harus menyelesaikan studinya di Freeiburg. Ia dalah seorang ahli dalam bidang Misiologi dan Hukum Gereja. Pada 18 Oktober di tahun yang sama datanglah Pater Mous, OFM di Papua, ia ditugaskan sebagai pastor di Kotabaru. Akhir bulan November 1947 tibalah Pater Lunter, OFM dan Pater Nouwen, OFM di Papua. Pada awal tahun 1948 datanglah ke Papua Bruder Jansen, OFM, ia mula-mula ditugaskan sebagai bruder di Kotabaru.
Pada tahun 1948 Pater Mous, OFM dan Br. Jansen, OFM mulai bekerja di Arso. Pater Rombouts, OFM mulai bertugas sebagai pastor di Waris, di sanalah ia mulai mendirikan sekolah baru dan Pater Nouwen, OFM mendirikan stasi Amgotro. Pada tahun yang sama, sebetulnya Fransiskan ingin bermisi ke daerah-daerah di sekitaran Danau Wissel. Akan tetapi pemerintah tidak mengizinkannya. Meskipun demikian beberapa tahun kemudian, akhirnya misi Fransiskan berhasil berkarya di sana.
Pada tahun 1949 Pater Tettro, OFM pulang dari cutinya di Belanda. Sepulang dari cuti tersebut, ia mulai aktif bekerja lagi. Pada tanggal 02 Februari sampai 08 Maret 1949 ia mengadakan perjalanan dari Waris ke Juwela terus ke Ujaka dan Waine. Daerah-daerah ini pada dasarnya belum dikunjungi oleh orang luar. Pada saat yang sama, yakni tiga minggu kemudian P. Tillemans, MSC bersama Pater Kammerer, OFM dan Pater Boersma, OFM serta dua katekis asal Kei (Gerardus Ohoiwutun dan Bartolomeus Welerubun) tiba di Enarotali. Dua bulan kemudian, tepatnya 26 Mei, Pater Boersma mulai membuka stasi di Waghete. Sementara itu, di saat yang sama pula, Pater Rombouts, OFM dipindahkan ke Sorong, di sanalah ia mulai berkarya di sekitar Sausapor, naik gunung, turun gunung mengunjungi mereka di pedalaman Kepala Burung Papua.
Editor: Admin
Penulis adalah Sdr. Vredigando Engelberto Namsa, OFM, Alumnus Sekolah Tinggi Filsafat Teologi “Fajar-Timur” Abepura Jayapura.
Sumber :
Ikhisar Kronologis Gereja Katolik Irian Barat Jilid II.
Jan Sloot, Fransiskan Masuk Papua, Jilid I, Jayapura, 2012.
Karel Steenbrink, Orang-orang katolik di Indonesia, Sebuah Profil Sejarah, Maumere; Ledalero 2006