Benediktus Pigai: Jika Aku Menulis Maka Aku Sukses

 

BENEDIKTUS PIGAI: “Jika Aku Menulis’ Maka Aku Suksus’

(*Oleh Petrus Odihaipai Boga
Penulis selalu bangga dengan anak muda di Papua. Anak muda di Papua itu hebat. Mereka cerdas, pintar, kreaktif, inovatif, produktif, missioner, visioner, dan memiliki mental dan karakter yang kokoh. Fenomena unik anak muda asli Papua sering mengalami kesulitan mendapatkan kesempatan dan kebebasan untuk memilih model hidup yang tepat dan sempit ruang bebas ekspresi diri dan identitasnya. Mereka berorientasi pada hal politik dan kemanusiaan untuk memperbaiki situasi masyarakatnya; sementara anak Papua pendatang banyak peluang menentukan nasip hidup dan cenderung berorientasi pada bisnis.
Anak muda yang baik jiwanya, ia akan mengatakan “Sakit sekali, dulu SD, SMP dan SMA kami sahabat damai, tetapi kami jadi besar kami sadar bahwa kami ada dalam kekuasaan negara. Kami mengapdi pada kemauaan Negara. Kini ada kemungkinan saling membenci dan melupakan diantara kami. Ironisnya, sejarah generasi kami hilang ditelang kekuasaan elit politik, feodalisme dan kapitalisme”. Seharusnya, mereka bersatu agar selamatkan diri dan sejarah generasinya.
Penulis selalu bangga ketika anak muda Papua menyatakan dirinya bahwa “Aku Bisa” dengan berbagai bentuk hasil karya dan bakti mereka. Salah satu diantaranya adalah Benediktus Pigai. Penulis mengenal dia sejak SMP. Dia adik kelas saya. Pada usia yang sangat muda dan masih di bangku kuliah, ia membuat saya ‘gagum’ padanya dengan karya-karyanya di dunia literasi.
Penulis merasa penting untuk menuliskan semangat belajar dan daya juangnya sebagai motivasi bagi dia, para anak muda lain di Papua, dan membuka akses kepada semua orang yang berbaik hati untuk mendorong dan mendukung niat baik dan budi baik untuk berbakti dalam “Mendidik Bangsa” melalui literasi. Maka penulis menceriterakan biografi singkat dan proses perjuangan Benediktus dalam dunia literasi dengan sebuah visi “Jika Aku Menulis Maka Aku Sukses”.
Siapa Itu Benediktus Pigai?
Benediktus Pigai adalah sosok yang unik diantara teman-teman sejamannya di Dogiyai-Papua. Dia mempunyai jiwa besar dalam mengembangkan kualitas dirinya. Di dalam hal ini ia serius membina diri dan masa depannya. Ia biasa melakukan sesuatu yang menjadi kekuatan memaju diri menjadi pribadi yang dibutuhkan banyak orang dan disukai karena cara ia ‘ber-ada’ dengan keberadaannya.
Bendi lahir di Tenemebeko (Dogiyai-West Papua), 22 Desember 1998. Anak muda yang biasa disapa Bendi ini, dilahirkan oleh Paskalina Douw dan Alm. Fabianus Pigai. Masa kecilnya ia mengisi waktunya di Hotapuga kampung halamnnya bersama keluarganya. Ia mempunyai empat bersaudara. Bendi adalah anak sulung. Sejak usia dini Bendi mempunyai pengetahuan pentingnya pendidikan formal dari orang tuanya.
Bendi menyelesaikan Pendidikan sekolah dasar di SD St. Fransiskus Yotapuga (2010-2011). Setelah itu, ia mnyelesaikan sekolah menengah pertama di SMP YPPK St. Fransiskus Moanemani pada tahun 2013-2014. Pada masa SMP ini, Bendi mengalami kehilangan sang kekasih Ayahnya. Ayahnya meninggal dunia ketika usia Bendi masih muda dan pendidikannya masih pada langkah awal. Ia kehilangan sosok ayah yang menjadi satu-satunya harapan hidupnya. Bendi sedih. Namun sebagai anak sulung dalam keluarga, ia tidak boleh mematakan pucuk masa depannya. Ia memilih pendidikan (sekolah) menjadi sarana yang tepat memperjuangkan kebahagiaan keluarga. Luar biasa bahwa pada tahun 2016-2017, ia menyelesaikan sekolah menengah atas di SMA YPPK Adhi Luhur. SMA Adhi Luhur adalah sekolah kolose yang dibangun oleh para pastor Seritkat Yesus. Salah satu sekolah yang bermutuh di bawah keloh tangan para pastor. Sosok jenius ini, kini sedang melanjutkan pendidikan kuliahnya di Jurusan Pendidikan Jurusan Bahasa Inggris di Universitas Cenderawasih (Uncen). (Email: bendiktuspigai1998@gmail.com; Facebook: Bendi Pigai; Youtube: Bendi Pigai; Instagram: Nogei98.
Aku Mau Belajar’ Hanya itu cara aku ber-Ada.
Benediktus Pigai adalah salah satu anak muda Papua diantara anak muda Papua lain yang telah berdamai dan bersahabat dengan ‘Belajar’. Bagi Bendi, belajar adalah cara ia ber-Ada. Ketika belajar, ia benar-benar menyadari dirinya bahwa dia sedang ‘hidup’. Belajar membuat ia menjadi dirinya sendiri. Kesadaran dirinya menjadi ‘pribadi yang sedang belajar’ adalah proses yang mendewasakan dirinya. Bendi optimis pada dirinya, bahwa belajar adalah cara ampuh mengubah dirinya, memperbaiki nasip, sarana menemukan damai, harmoni, kebenaran dan kebahagiaan. Jika tidak belajar, ‘aku menjadi’ pribadi yang malas dan tidak peduli pada diriku, keluarga, sesama, alam, dan menghilangkan keberadaan Tuhan dalam posisi ‘aku yang hidup ini’. Ketika aku belajar terjadi banyak mujizat di luar kemampuanku bernalar, dan di pandangan orang lain akan menjadi sesuatu yang luar bisa. Saya yakin, itu adalah cara Tuhan berkarya dalam hidupku untuk menyatakan diri-Nya.
Jadi belajar membawa aku pada suatu keadaan yang aneh, herang, tetapi nyata bahwa sesama itu menerima sebagai suatu anugerah Tuhan. Maka aku mau belajar supaya aku tahu aku ada dan dengan belajar orang mengenal cara aku ‘ber-Ada’ di antara sesama. Lebih dari itu aku mau sesama melihat Tuhan dengan bergai tanda dan karya-Nya, karena hidup manusia berkarya untuk Tuhan agar mengambil bagiaan dalam kerya penciptaan dan keselamatan-Nya.” (Inilah sosok Bendi).
Benediktus Pigai merupakan salah satu anak muda yang didik baik dalam lingkungan gereja. Masa SMP dan SMA tinggal di asrama katolik. Ia aktif dalam kegiatan gereja. Doa merupakan kekuatannya, karena melalui doa segala berkat itu datang dari Tuhan. Berdoa, bekerja, belajar dan selalu bersyukur, merupakan rutinitasnya. Ia tahu bahwa semua ini, terjadi melalui belajar. Di sekolah diajarkan banyak disiplin ilmu dan di asrama dibina dan didik banyak nilai hidup, dibentuk mental dan karakter menjadi manusia yang baik. Bagi Bendi, guru, teman, sahabat, pacar, orang tua, sesama adalah panutan hidup yang membantu dia dalam menentukan masa depannya, namun belajar menjadi cara dia menentukan masa depannya. Maka sejak SMA ia tekun dalam dunia belajar: membaca, menulis, menghitung.
Belajar berarti membaca, menulis, menghitung dan melatih diri untuk menginternalisasi pengetahuaan yang dipelajarinya. Di sekolah dan di Asrama dibiasakan untuk membaca, menulis dan menghitung oleh para guru dan pastor. Bersama teman-teman dibekali dengan teori tentang menulis artikel, refleksi, opini, dilengkapi dengan cara-cara menemukan ide, mengolah ide, merumuskan topik, judul dan menyajikannya sebuah tulisan yang edukatif dan dapat diterima oleh semua orang. Sejak itu (SMA), ia tekun dalam membaca, menulis dan menghitung.
Ia suka menulis buku harian dan refleksi di bawah bimbingan para pastor. Semangat belajar ini, ia menjaganya dengan baik dan terus mendorong dirinya menjadi sahabat belajar. Melalui refleksi-refleksinya, ia mengembangkan potensinya dalam ‘dunia literasi’. Hal yang menarik, bahwa Bendi mau sendiri untuk belajar. Belajar berkelanjutan. Latihan dan mencoba terus-menerus. Belajar ‘menjadi kebiasaan’. Ia tekun dalam literasi, setia, peka, komitmen, tekun dan bertanggung jawab pada belajar membawa dia pada kualitas dirinya yang dapat diandalkan. Sebuah hadiah dari usaha keras dan tekun belajar, kini Bendi dikenal dengan nama profesionalitasnya ‘Penulis Buku’. “Aku Mau Belajar’ Hanya itu cara aku ber-Ada. Saya tahu, sekarang mereka tahu keberadaanku, bahwa Aku penulis”. (Optimisnya).
Benediktus; Penulis tiga buku.
a. Saya Mengagumi, Bendi adalah sosok yang mencintai jiwanya.
BENEDIKTUS: Penulis mengenal Bendi waktu SMP. Dia adik kelasku. Kami tinggal bersama di Asrama St. Fransiskus Moanemani. Saat itu saya tinggal di satu kamar sendiri, sehingga salah satu adik kelas yang selalu mendatangi kamar saya adalah Benediktus Pigai. Ia sangat unik dari teman Asrama yang lain. Dia pribadi yang tenang, murah senyum, tidak suka berbicara banyak tetapi suka mendengarkan. Sosok yang satu ini disiplin dengan waktu, tekun dalam belajar dan berdoa menjadi kekuatannya. Doa Rosario merupakan doanya. Sekarang jika anda bertemu dia, jangan herang pasti dia akan mengenakan kalung Rosario.
Ia suka main takrau. Saya mengenal satu hal yang menarik dari dia adalah ‘dia selalu menjadi dirinya sendiri’. Dia tidak suka mengeluh, memproyeksikan sesuatu dari realitasnya, menuduh, menyalakan orang lain, dan ia tidak dapat memaksakan dirinya dalam sesuatu yang memang ia belum tahu_bisa. Pendiam. Diam yang ‘bijak’. Dia tidak bisa menipu dirinya. Ketika ada kerja bakti atau kegiatan bersama lainnya di Asrama, Sekolah dan di Gereja ia berpartisipasi sejauh kemampuaanya.
Saya mengagumi bahwa ketika ia belum siap secara mental untuk partisipasi kegiataan bersama tersebut, dia akan hadir tetapi tidak akan bekerja atau melakukannya. Dia tidak suka memaksa dirinya menjadi budak dari keadaan. Kehadirannya, memberi dirinya kedamaiaan pada dirinya dan sesamanya. Dia tidak selalu melarikan dari kenyataan, tetapi selalu mau melebur dirinya dalam realitas yang ada.
Ia menerima dan menikmati konsekuensinya dari semua istimulus yang ia mengalami dan menerimanya. Jadi, pribadi yang memiliki kepribadian seperti ini adalah pribadi yang mencintai jiwanya dan memeliharanya dengan suatu disiplin diri mengontrol emosinya.
Ia berbeda dengan orang yang egois. Orang egois memelihara ambisi memuaskan diri dan mereka dapat melupakan dirinya, mengabaikan jiwanya terlena dalam hedonitasnya dan emosinya mendorong pada kepuasaan semu. Sementara pribadi yang mencintai jiwanya, ia tidak suka memaksa diri melakukan sesuatu karena legalisme yang ada, aturan, hukum dan karena kewajiban. Bagi mereka melakukan sesuatu karena legalisme, berarti membudak jiwanya. Mereka melakukan sesuatu karena mereka membutuhkan, ada keterbukaan dan kerelaan dari hati nurani, dan tidak ada unsur yang memaksakan tetapi jiwa mendorng untuk melakukannya. Keutamaan bagi mereka adalah tidak boleh menyakiti hati dan jiwanya, menjaga keadaan jiwa dan hati sesama agar tidak terluka karena keberadaan mereka. Mereka selalu mempunyai cara positif untuk mengasa cara pandang dirinya terhadap sesuatu dan memberi orientasi yang positif bagi sesama dari setiap keputusan mereka. Mereka menjadi dirinya sendiri. Jadi Bendi mempunyai tipikal yang mencintai jiwanya.
b. Benar’ Bendi Penulis
Penulis mengenal Bendi adalah sosok yang mencitai jiwanya. Ia selalu berjuang menjadi Bendi yang sesungguhnya. Belajar melalui ‘dunia literasi’ merupakan sarana formal yang ia miliki untuk mengembangkan diri dan menentukan masa depannya. Mahasiswa jenius ini, memulai kariernya sebagai penulis pada pertengahan Agustus 2020. Ia sebagai anggota kamunitas sastra Papua (Ko’Sapa), dan relawan guru di Gerekan Papua Mengajar (GPM), ia terus aktif dalam berbagai kegiataan literasi dalam masyarakat di Jayapura melalui kedua komunitas tersebut. Bendi adalah penulis tiga buku.
Ia Penulis buku “Suara Dari Papua” (kolaborasi antologi cerpen) diterbitkan bersama teman jurusan bahasa Uncen pada tahun 2019 lalu. Buku keduanya menerbitkannya dengan judul “Rasa yang Hilang” (antologi puisi), pada 2020. Bendi menerbitkan buku ketiga dengan judul “Tak Serupa Impian Jhon” pada Desember 2020. Selain itu penulis sedang menggarap beberapa buku sastra untuk diterbitkan pada tahun mendatang. Benar’ Bendi adalah penulis.
Sa Pu Mama Itu’ Orang Hebat
Seseorang berhasil dalam sebuah perjuangan, tentu ada figur yang mendorong mereka. Figur yang dimaksud, seperti: Idola, motivator, penasehat, sahabat, teman, pacar, guru, dosen, mitra kerja, orang tua, sanak saudara. Pigai dalam perjuangannya menjadi penulis ada banyak orang menjadi figur dibelakang dia, selain para senior dari komunitas Ko’ Sapa dan GPM, para pastor (Pembina di SMA), ia mengakui ibunya adalah salah satu ‘orang hebat’ yang menjadikan dia adalah seorang penulis.
“Sa Pu Mama Itu’ Orang Hebat. Sejak sa pu bapa meninggal (2013), sa pu mama juga ambil alih sa pu bapa pu tugas. Dia buat kebun sendiri, cari uang, cari nafkah, rawat rumah, piara ternak, biaya sekolah memenuhi kebutuhan hariaan hidup, semua sa pu mama yang urus. Mama yang tanggung jawab semua itu. Sa anak sulung dan sa tahu, secara budaya sa pu tanggung jawab banyak. Semua bapa pu tugas, saya yang lanjutkan. Lebih-lebih semua nilai adat dan budaya dalam keluarga dan marga sa pu hak untuk jaga dan teruskan. Kaka, tapi waktu itu sa mengerti, kalo sa sekolah, belajar banyak, pasti sa bisa lakukan tanggung jawab itu. Sampai sekrang, membuat sa kuat, semangat, berani maju dan coba serta percaya diri tentang sa pu masa depan yang sukses adalah sa pu mama. Kerja kerja mama, menjadi kekuatan saya dalam sa belajar, berjuang cita-cita dan mimpi-mimpi saya. Sa pu ade ada tiga. Satu ada SMA, anak ketiga SMP dan yang amoye (bungsu) masih SD. Semua sa pu yang biaya. Sa pu mama itu hebat. Di kampung sana, sa pu mama piara, ayam, bebek, kelenci, babi, ikan, berkebun, dan hasilnya biasa jual di pasar. Kaka, sa itu syukur sekali, dengan hasil usaha sa pu mama ini, sa dengan sa pu ade-ade dorang kami bisa sekolah sampai saat ini. (Sharing Bendi).
Sa pu mama hebat. Pas kemaring sa terbitkan buku dengan judul “Ria Tak Serupa Impian Jhon”, itu sa tidak punya uang sama sekali. Tidak ada orang yang sa harapkan. Hanya mama. Walau sa tahu keberadaan sa pu mama, tapi sa berani bicara dengan sa pu mama, karena dia adalah ‘sa pu mama juga sa pu bapa’. Begini sa dengar, sa pu mama dia mau krim uang. Sa senang, sa menangis. Sa pu mama krim sa uang, baru sa cetak sa pu buku ketiga ini. Seharusnya cetak 300 buku, tepi sa pu melge (uang) tidak cukup, maka cetak setengah saja. Nanti dengan hasil jual sa cetak lagi. Kaka, ini hanya cerita sedikit tentang sa pu mama yang selalu menjadi malaikat buat sa pu ade-dade dan saya. Sekarang sa pu harapan, bahwa sa akan suksus bersama sa pu ma dan ade-ade dorang. Menulis adalah sarana yang membawa saya kepada kesuksesan. Sa menulis’ maka sa sukses. (Bendi cerita, ketika penulis menemui dia bebera hari yang lalu).
Jika Aku Menulis’ Maka Aku Sukses
“Jika Aku Menulis’ Maka Aku Sukses”. Kita memahami frase ini secara teliti. “Jika Aku Menulis” merupakan suatu frase yang mengunggapkan suatu unggapan yang menyatakan dirinya akrap dengan menulis (literasi). Ia mengenal tentang ‘esesnsi me-nulis’. “Jika”_ ia sedang berimajinasi tentang keberadaan esensi ‘menulis’. Daya berpikirnya ada bersama posisi eksistensi ‘menulis’. Di dalam keberadaan ‘me-nulis’ sebagai sebuah tindakan, mengandung suatu ‘gerek’ esesnsial yang ‘menjadi’ sesuatu yang baru, yakni perubahan nasip dan hidup. Unggapan “jika aku menulis” merupakan unggapan adanya tentang kemungkinan-kemungkinan perubahan yang ada dalam ‘tindakan menulis’ yang menjanjikan suatu keberhasilan dalam hidup. ‘Maka Aku Sukses’ merupakan farase yang menghadiai pada keyakinannya akan mengubah nasip dan hidupnya. Unggapan optimisnya pada eksistensi ‘menulis’ yang pernah mengubah banyak nasip hidup dunia, bangsa, dan sesama secara individu. Ia mengurangi rasa apatis dan keraguaan. Meningkatkan kualitas dan bobot percaya diri dan keyakinan pada ‘menulis sebagai sebuah tindakan’ yang dapat bergerak, menjadi dan bembentuk sebuah pola hidup. Ia percaya bahwa menulis akan membawa dia pada suatu kesuksesan dan kebahagiaan.
“Jika Aku Menulis, Maka Aku Sekses”, melalui unggapan ini ia menyatakan dirinya. Dulu ia dikenal siswa, mahasiswa, Benediktus Pigai, namun kini ia mahasiswa dan penulis. Banyak mahasiswa tetapi tidak semuanya penulis, dan semua penulis belum tentu mahasiwa, tetapi Bendi menyatakan dirinya melalui karya-karya tulisnya bahwa Bendi ada di posisi mahasiswa dan penulis. Kata ‘penulis’ adalah unggapan penamaan pada profesionalitas dalam ‘dunia literasi’. Bendi telah menemukan sebuah profesinya. Ia penulis. Maka ia tahu, menulis itu dapat mengubah nasip hidup seseorang, suatu bangsa dan Negara. Jai bagi Bendi menulis adalah salah satu ‘jalan’ tepat menuju sebuah kesuksesan dan kebahagiaan hidup. Ia tahu jika ia menulis terus menerus pasti dia akan menjadi pribadi yang sukses, karena melalui menulis banyak berkat akan mengalir.
Pribadi yang baik hati ini, bagi dia menulis adalah aktifitas mendidik diri, mental, jiwa, dan membentuk karakter, mengasa daya kritis, membuat sistem berpikir yang logis, sistematis, koheren, dan meningkatkan daya berpikir yang ‘radikal’ berpikir sampai akar-akarnya. Caranya, membiasakan diri dengan berdoa, membaca banyak, mengalisa secara kritis, mengamati dengan teliti, merefleksikan, latihan dan berdiskusi, kemudiaan menulis. Menulis membuat jiwa tenang, tidak goya dan damai. Jiwa yang damai, menjanjikan seseorang menjadi pribadi yang baik. Kita percaya pribadi yang berkualitas baik tentu disukai banyak orang, diterima di mana saja dan pengabdiaannya menyukseskan diri dan banyak orang. “Pasti aku menulis, semua aspek hidup seperti budaya, iman, moral, dan aspek sosial lain. Saya merasa sukses ketika aku berhasil membaut keluarga bahagia, menyelamatkan nilai-nilai hidup, falsafah hidup bangsa Papua melalui menulis dan menyajikan banyak hal sebagai pendidikan yang tepat untuk mengubah hidup banyak orang. Jadi aku menulis, maka aku sukses. Ketika aku sukses pasti Tuhan menghadiai aku dengan sebuah kebahagiaan”. (Pigai percaya diri).
Akhir Kata
Benediktius Pigai adalah salah satu sosok anak muda Papua yang mampu menerobos banyak konflik dan realitas sosial, politik, ekonomi di Papua yang tidak ramah dalam mengembangkan dirinya dan memperjuangkan cita-cita serta impiaan. Mestinya, anak muda seperti Bendi ini mesti dindorong, dibantu, dimotivasi oleh pemerintah. Para pemerhati suber daya manusia di Papua mesti akomudir anak muda seperti ini dan memberi dukungan secara serius, sebab anak muda yang mempunyai bakat alamiah dan niat belajar besar serta kerja keras ini ada kemungkinan membawa perubahan Papua masa depan.
 

Penulis adalah mahasiswa Sekolah Tinggi Filsafat Teologi (STFT) ‘Fajar Timur’ Abepura, Jayapura-Papua.

Leave a Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *