Cerita Fiksi: “Asrama Si Gadis Buta Di Antara Cerita Pagi”
(*Oleh: Yosep Riki Yatipai
Pagi begitu indah ketika si buta terpangku manis di jendela kamarnya. Baginya pagi adalah sahabatnya yang paling setia. Benar matanya buta, bukan bohong. Hanya pagi yang memahaminya bahwa dia tidak buta. Ketika ia mau memulai harinya, ia selalu berdoa kepada sang pagi agar melindunginya dari kegelapan. Memang buta, bagi kita manusia. Hidupnya dikendalikan oleh rasa dari tubuhnya. Indra itu anugrah baginya. Ia merasakan setiap detil langkah dengan tubuhnya. Ia hidup dengan kedua kakek dan nenenya. Sekalipun ia buta, ia tidak pernah menyusahkan mereka. Si buta itu sangat menikmati kehidupannya. Buta baginya bukan gangguan melainkan hiburan dari sang pagi, terang.
Suatu ketika ia keluar dari rumah tanpa memberitahu kakek dan nenenya untuk menyapa pagi yang adalah sahabatnya. Hari itu gelap gulita menutupi semesta alam. Si buta itu tergesa-gesa memegang tongkatnya dan mengenakan selendang berwarnah putih di lehernya untuk segera keluar menyambut sahabatnya. Sekitar pukul 3 subuh itu, ia mendengar suara. Suara itu berasal dari ruang tamu. Lantaran kaget dengan suara itu, tongkatnya jatuh dan ia berjalan sambil memegang dinding rumah untuk mencari tahu siapa di ruang tamu itu. Sesampainya di ruang tamu itu, ia tidak lagi mendengar suara. Dalam benaknya, ia merasa heran dan bimbang. “Sepertinya tadi ada suara di sini?” tanya si buta itu. Karena suara itu tidak terdengar lagi, ia mencari pintu untuk keluar dan menyambut sang pagi sahabatnya.
Ketika sampai di luar, ia merasakan lembutnya pagi yang menandakan bahwa hari sudah terang. Seketika itu ia merasa disegarkan oleh air segar yang turun dari langit. Baginya tidak ada yang indah dan seagung ini selain sang pagi. Hanya dia, si buta yang tahu artinya pagi. Dari hari ke hari, pagi menjadi momen istimewa baginya. Bahkan, ketika malam dan siang datang ia merasa seperti dipisahkan dari kekasih hatinya. Betapa cintanya kepada pagi sampai ia selalu menuliskan surat kepada sang pagi di siang hari dan malam hari sebagai hadia untuk sang pagi yang memahami dirinya. Isi surat itu, “Pagi, sahabatku, jika nanti aku merindukanmu di saat malam dan siang, aku ingin kaupun merindukanku di saat cerahmu terbit dan tenggelam. Dari Si Buta. Untuk Sahabatku pagi.”
Surat itu ditulisnya setiap saat tanpa kenal lelah hingga ia mulai jatuh hati dengan sang pagi. Di saat asmara cinta itu mulai menggebuh di dalam hatinya, ia mulai menuliskan surat dengan penuh pasrah kepada sang pagi yang telah mencuri hatinya. “Pagi, sahabatku, jika aku merindukanmu di saat malam dan siang, aku ingin kaupun ada di antara siang dan malam itu. Dari Si Buta. Untuk Sahabatku Pagi.” Dengan setia ia menuliskan surat itu kepada sahabat kekasihnya itu, sampai si buta itu merasakan kehadiran sahabatnya di siang hari dan juga di malam hari. Baginya, setiap hari adalah pagi dan pagi adalah cinta sejatinya.
Si buta yang sudah menyadari dan merasakan kehadiran sang pagi itu, tidak lagi menyambut pagi sahabatnya hanya di pagi hari, tetapi di setiap pagi, siang, dan malam. Suatu ketika sang pagi itu datang menjemputnya ketika si buta itu tertidur pulas di atas ranjang manisnya. Seketika itu, ia tersadar di dunia yang lain, seperti dilahirkan kembali. Dunia yang ia tidak tahu, namun saat itu juga matanya terbuka dan ia dapat melihat segala sesuatu yang ada di sekitarnya. Ia pun terheran dengan keadaan di sekitarnya, bahkan ia tidak mengenal lagi sang pagi yang adalah sahabat sejatinya. Sang pagi telah menyebuhkan matanya yang buta itu.
Sekalipun ia telah disembuhkan oleh sang pagi, tetapi ia merasa sedih karena ia tidak lagi mengenal sahabat sejatinya sang pagi. Maka, si gadis itu mulai menulis lagi untuk membiarkan dirinya tetap buta. Ketika ia mau menulis, ia sudah tidak tahu bagaimana caranya menulis seperti ketika ia buta. Satu-satunya cara baginya adalah ia harus berpura-pura menjadi buta. Karena dengan begitu, ia dapat menulis dan berhubungan lagi dengan sahabatnya. Lama-kelamaan ia merasa bersalah karena harus membohongi dirinya sendiri. Ia menangis dan menjerit di dalam kepedihan. Begitu dalam kepedihan yang dirasakannya, ia hanya ingin kembali seperti saat ia buta. Jeritan itu tidak dapat tertahan, sekalipun kakek dan nenenya menghiburnya. Berbagai nasehat ditumpahkan kepadanya, namun hampa tak berguna.
Suatu ketika, kakek dan nenenya memberitahukan kepadanya satu rahasia yang disembunyikan darinya. Ternyata sang pagi yang dicintainya itu adalah seorang pria tetangga mereka. Pria itu setiap pagi bangun dan tidak pernah menyebut namanya, ia hanya memberitahukan namanya adalah pagi. Hubungan antara keduanya sudah terbangun cukup lama. Ketika si buta mulai bersahabat dengan pagi. Rahasia itu diceritakan kepadanya namun ia tidak percaya kepada kakek dan neneknya.
Beban pikiran menaungi pikiran si gadis itu, akhirnya kakek dan nenenya tidak tegah membiarkan pikiran itu menggerogoti dirinya. Akhirnya, mereka memanggil pria itu. Pria yang disebut pagi oleh si gadis itu. Pria itu datang dan menghampiri gadis itu dan memegang pipihnya, membelai rambutnya. Gadis itu merasakan apa yang dirasakannya sewaktu ia buta, tetapi ia tidak yakin karena melihat sang pagi itu buta. Lalu, ia menyuruh pria buta itu pergi. Namun, kakek dan nenenya langsung memberitahunya bahwa matamu adalah matanya. Pria buta itu adalah jawaban dari semua harapanmu selama kau buta. Lalu tanpa berpikir panjang si gadis itu mengejar sang pagi yang buta itu. Akhirnya, mereka hidup bersama sebagai pasangan yang saling melengkapi dan saling menerima. Si gadis buta dan Si pagi yang buta. Misteri adalah misteri, takdir adalah takdir!.
Abepura, 08 Februari 2021
Pengarang adalah Mahasiswa STFT “Fajar Timur” Abepura-Papua