Sdr. Vredigando Engelberto Namsa, OFM
Alumnus STFT Fajar Timur Abepura
- Kitab Suci Perjanjian Lama
Di taman Eden, Setan menyesatkan Adam dan Hawa. Dia menuduh Allah sebagai Penguasa yang buruk. Setan mengatakan kepada Hawa bahwa ada hal baik yang tidak Allah berikan kepada Adam dan Hawa. Setan ingin agar mereka percaya bahwa dia adalah penguasa yang lebih baik dari Allah dan bahwa mereka sebenarnya tidak membutuhkan Allah (bdk. Kej 3:2-5).
Adam dan Hawa di taman Eden mempunyai keinginan yang baik-baik saja, tidak merasakan segala penderitaan, tempat yang indah disertai peringatan: “dari sekalian pohon di taman ini boleh kamu makan, tetapi pohon pengetahuan yang baik dan yang jahat ini tidak boleh kmu makan buahnya”. Namun perintah ini tidak diindahkan oleh mereka berdua. Karena perbuatan Adam dan Hawa melanggar perintah Allah, maka Allahpun memutuskan untuk menghukum Adam dan Hawa dengan diusirnya mereka berdua dari tman Eden. Secara tersirat terjadilah penderitaan pertama yang dialami oleh Adam dan Hawa.
Karena Adam dan Hawa melanggar larangan Allah, maka mereka berada dalam suasana yang menyedihkan. Tinggal di bumi dengan berbagai penderitaan yang akan dialami oleh mereka. Disini timbul penyesalan hanya ada satu hal yang menggambarkan hatinya dalam kegelapan jiwanya itu, bahwa pada suatu ketika akan datang keselamatan dari keturunan perempuan. Seluruh umat manusia di dalam dunia ini, tidak seorangpun yang terkecuali sudah terhilang dalam dosa seseorang, yaitu Adam. Dengan perbuatan dosa yang dilakukan oleh Adam telah masuk ke dalam tubuh manusia, sehingga penderitaan itu tidak dapat terhindarkan. Penderitaan itu berupa: penyakit, kesusahan, dan maut telah menimpa hidup manusia. (bdk. Mazmur 51:7).
Gagasan mengenai penderitaan dalam Perjanjian Lama setidaknya dapat dimaknai dalam tiga konsep, yakni: Pertama, sebagai hukuman atas dosa pribadi. Kedua, sebagai pengorbanan, yaitu silih atas dosa orang lain dan konsekuensi atas iman kepada Allah dan kebenaran. Ketiga, sebagai awal kebaikan. Gagasan-gagasan ini nanti akan diperbarui atau diperlengkapi dengan perspektif Kitab Suci Perjanjian Baru.
Pemahaman tentang penderitaan yang khas dari Perjanjian Lama ini terdapat dalam Kitab Ayub, meskipun tidak terbukti dalam diri Ayub sendiri. Para sahabat Ayub yang datang untuk menghiburnya menganggap bahwa kemalangan besar yang dialami Ayub merupakan sebuah hukuman dari Allah atas dosa-dosa yang telah diperbuatnya, atau dengan kata lain sebagai suatu implikasi konkret konsep “pembalasan di bumi”. Menurut konsep “pembalasan di bumi” ini, semua perbuatan manusia, baik kejahatan maupun kebaikan akan diganjar pada saat manusia masih hidup. Hukum ini diandaikan mesti terjadi karena kehidupan setelah kematian belum dikenal dalam alam pikir Perjanjian Lama (bdk. Ayub 41:5-9).
Allah tidak menjelaskan mengapa Ayub menderita, melainkan hanya menunjukkan kepadanya kekuasaan dan kebijaksanaan-Nya, sambil menyadarkan Ayub akan kekecilannya sebagai manusia. Lewat pengalaman penderitaan inilah, Allah memberi Ayub gambaran yang lebih lengkap dan semakin otentik akan diri-Nya meskipun Ia tetaplah misteri, yaitu bahwa Ia bukan sematamata Allah yang suka membalas dendam atau menghukum manusia berdosa. Pengenalan mendalam akan Allah ini dinyatakan oleh Allah dalam Ayub 42:7-8, “Ayub hamba-Ku, telah bicara benar mengenai Aku.”
Melalui penderitaan, bukan hanya manusia menjadi semakin mengenali Allah, melainkan Allah pun semakin mengenali manusia. Allah menyetujui provokasi setan untuk mencobai Ayub dengan penderitaan (Ayub 1:6-12), bukan hanya untuk memperlihatkan kepada setan bahwa Ayub adalah orang yang sungguh tulus, namun juga untuk mengenali bagi diri-Nya sendiri siapakah Ayub itu. Dan ternyata bahwa dia sungguhsungguh orang yang beriman. Pengenalan yang semakin mendalam antara Ayub dan Allah ini menciptakan persahabatan (relasi yang intim) di antara keduanya, yang kembali terjalin seperti dulu (seperti digambarkan dalam bab 1:1-5,22). Kedekatan antara Allah dan Ayub yang pertama-tama disebabkan oleh penderitaan, bahkan membuat Allah memulihkan dua kali lipat keadaan Ayub (42:10-17).
- Kitab Suci Perjanjian Baru
Arti penderitaan manusia yang terkandung dalam keseluruhan Kitab Suci mencapai puncaknya dalam Kitab Suci Perjanjian Baru, yaitu dalam diri Kristus, melalui sengsara, wafat, dan kebangkitan-Nya yang luhur. Dua di antara empat konsep Perjanjian Baru memiliki persamaan dengan apa yang sebelumnya telah diuraikan dalam Perjanjian Lama. Kendati serupa, sebagai suatu bagian yang berbeda, keduanya memiliki ciri khas atau penekanan masing-masing yang membedakan pandangannya satu dari yang lain. Kehadiran Yesus dalam Perjanjian Baru merestorasi pandangan mengenai penderitaan dalam Perjanjian Lama, terutama gagasan konservatif bahwa penderitaan merupakan hukuman atas dosa manusia. Dalam Perjanjian Baru, Yesus memberikan jawaban diplomatis dan lebih realistis atas kenyataan penderitaan dengan keterkaitannya pada unsur rencana ilahi, “…pekerjaan Allah harus dinyatakan dalam dia” (Yoh. 9:2-3). Yesus menolak pandangan bahwa setiap penderitaan disebabkan oleh dosa orang yang menderita itu sendiri atau karena dosa nenek moyangnya. Misalnya, Luk. 13:2, tentang “dosa dan penderitaan”, yakni ketika Yesus menegaskan bahwa nasib buruk yang dialami sejumlah orang bukanlah karena dosanya yang lebih besar daripada orang-orang lain. Karena penderitaan bukan disebabkan semata-mata oleh dosa, saya akan menguraikan keempat gagasan lain agar penderitaan dapat dialami sebagai sesuatu yang lebih bermakna.
Penderitaan dipandang sebagai partisipasi manusia dalam penderitaan Kristus. Unsur partisipatif ini berdasar pada solidaritas Allah yang rela menjadi manusia dalam diri Yesus Kristus dan yang rela menanggung penderitaan bersama manusia. Partisipasi manusia dalam penderitaan Kristus bukan pertama-tama karena manusia mengasihi Allah, melainkan karena Allah yang lebih dahulu mengasihi manusia dengan solidaritas-Nya dan menjelma sebagai manusia (kenosis). Sebagai manusia, Ia mengalami penderitaan bersama manusia lainnya.
Penderitaan Yesus merupakan cara-Nya menarik manusia kepada Allah. Pandangan semacam ini sudah muncul dalam Jemaat Kristen Purba (setelah peristiwa Yesus naik ke surga) yang memandang penderitaan sebagai kesempatan untuk mengambil bagian atau berpartisipasi dalam kemuliaan Kristus (misalnya, 1Petrus 2:20). Jadi, Yesus menyodorkan pemahaman baru. Ia tidak menjelaskan penyebab penderitaan dan tidak menghubungkan derita dengan dosa. Ia justru menempatkan penderitaan dalam karya keselamatan Allah dan mengambil penderitaan sebagai bagian dari hidup-Nya.
Secara luas, penderitaan dalam konsep pengorbanan ini tidak hanya merujuk pada sesama manusia, melainkan juga sebagai konsekuensi dari keteguhan membela iman atau karena kesetiaan mempertahankan kebenaran. Manusia bisa mengalami penderitaan sebagai seorang martir akibat penganiayaan karena iman yang dimilikinya atau karena membela kebenaran alkitabiah (2Timotius 3:12). G. W. H. Lampe memandang aspek kemartiran semacam ini sebagai salah satu metode dan model paling efektif untuk evangelisasi. Mengacu pada zaman Kekaisaran Romawi, terjadi banyak eksekusi mati di hadapan publik terhadap orang-orang Kristiani. Lampe melihat penderitaan para pengikut Kristus itu sebagai suatu kesempatan untuk mempropagandakan iman atau memberikan kesaksian tentang Kristus. Kemartiran Stefanus (Kisah Para Rasul 6-8). Misalnya, ditafsirkan oleh John Foxe sebagai benih pertobatan Saulus (Saulus turut andil dan hadir menyaksikan pembunuhan Stefanus, lih. Kis. 7:58; 8:3; 22:20). Pertobatan radikal Saulus baru terjadi ketika ia mengalami pengalaman rohani dalam perjalanannya menuju Damaskus (Kis. 9:4-9), namun kemartiran (penderitaan) Stefanus dianggap sebagai awal pengenalan Paulus akan Kekristenan sejati.
Sengsara dan wafat Kristus dilihat sebagai ketaatan iman kepada Bapa dalam menghadapi bentuk penderitaan itu. Kristus menghendaki agar perjuangan manusia dalam menghadapi penderitaan terjadi dalam kesadaran iman bahwa hanya Allah yang secara pribadi dapat mendatangkan pembebasan secara utuh. Tanpa Allah pembebebasan itu tidak tidak terjadi. Melihat hal ini sejarah umat manusia merupakan guru yang nyata: “ajaran” guru ini memperlihatkan bahwa sampai sekarang bangsa manusia tidak berhasil membebaskan diri dari penderitaan secara total.
Yesus menumpahkan darah-Nya dan memberikan nyawa-Nya bagi orang banyak (Mat 26:28 dan Mrk 14:24). Pada dasarnya uangkapan tersebut menyiratkan akan madah “Hamba Tuhan yang menderita” (Yes 53:11-12). Pengorbanan diri Yesus bagi banyak orang dengan tujuan untuk pengampunan dosa (Mat 26:28).
Seperti Kristus dalam persekutuan dengan Bapa, manusiapun memuliahkan Allah dengan memikul salib kita secara demikian. Manusia mengungkapkan keyakinan iman bahwa akhirnya bukanlah penderitaan yang menang melaikan pembebasan. Dilihat dari sudut pandang penderitaan, hal ini merupakan tanda berkuasanya kejahatan di dunia ini. Tetapi dengan berjuang bersama Kristus untuk mengatasi segala penderitaan dan kejahatan, manusia memungkinkan sesamanya untuk mengalami bahwa Allah adalah kasih (1Yoh 4:16b).
Kebangkitan Yesus pada dasarnya tidak diamati oleh siapun. Hal tersebut menjadi luput dari mata manusia. Hal lain ialah penampakan Yesus setelah sengsara dan wafat-Nya itu hanya terjadi kepada sahabat dan murid-murid-Nya, dengan pengecualian, yakni penampakan Yesus kepada Saulus ke jalan di Damsyik. Di dalam semua Kitab Suci Perjanjian Baru, puncak pewartaan terletak pada “Allah telah membangkitkan anak-Nya dari antara orang mati (bdk 1Tes 1:10) dan para rasul dari Yesus “telah melihat Tuhan” (Yoh 20:25).
Dengan kebangkitan Yesus dari antara orang mati, Yesus melampaui penderitaan sebagai bagian yang Ia harus lalui. Yesus melampaui batas dunia ini dan pergi ke sebelah sana dari ruang dan waktu. Dengan demikian penderitaan yang menjadi bagian dari perjalan hidup Yesus dilihat dalam ruang dan waktu dunia ini.
Dengan mengambil bagian dari kebangkitan Kristus membawa kehidupan, manusia pada dasarnya mengatasi ketakutan akan penderitaan dan maut. Di mana manusia ikut memberi hidup, selain itu manusia mengambil bagian dalam kebangkitan Kristus. Hidup manusia lebih kuat dari pada penderitaan dan maut. Hidup manusia akan berlangsung secara terus.
Referensi:
- St. Darmawijaya, “Seluk beluk Kitab Suci”, Yogyakarta; Kanisius 2009.
- Pidyarto, “Mengapa Orang Benar Menderita?” dalam Wacana Biblika Vol. 14, No. April-Juni 2014.
- Wim van der Weiden, “Seni Hidup – Sastra Kebijaksanaan Perjanjian Lama”, Yogyakarta: Kanisius 1995.
- G. W. H. Lampe, “Martyrdom and Inspiration” dalam William Horbury and Brian Mc Neil (Ed.), Suffering and Martyrdom in the New Testament, Cambridge: Cambridge University Press, 1981.
- Nico Syukur Dister, “Kristologi Sebuah Sketsa”, Yogyakarta: Kanisius 1985.