Antara HATI DAN HARTA

(*Oleh : Rian Tap)
Pagi-pagi benar sebelum mentari menyapa jagat. Dan sebelum si jago tetangga mulai berkokok untuk ketiga kalinya. Seorang Ibu tua secepat gegas menyiapkan segala perlengkapannya menuju ladang. ladang yang amat jauh dari tempat tinggal. kira-kira membutuhkan dua jam berjalan kaki. ia bergegas dengan cepat agar mentari tak cepat menyapanya di tengah jalan, Tiga minggu yang lalu setelah tanah disiram air hujan ia menanam polong-polong jagung. Sebab bulan itu menjadi musim untuk menanam polong-polong itu. tidak berapa banyak tetapi setidaknya bisa jual di pasar. Jagung itu mulai bertumbuh dengan subur. Daun-daunya pun mulai menyapa jagat. Seakan ia telah siap diterpa angin kencang dan badai hujan.
Agenda hari itu, ia hendak membersihkan ladang itu sebab rumput liar sudah mulai menutupi kucup-kuncup jagung. mencabut satu persatu ilang-ilang liar sambil merapal doa agar jagung itu tumbuh dengan subur. Membawa bekal seadanya. Ia percaya bahwa ladangnya akan menghasilkan panenan yang melimpah. Akan tetapi sesampai di ladangnya ia amat kaget sebab kuncup jagung kembali layu. harapan itu telah sirna bersama letihnya angina pagi. ia berpikir jagung-jagungnya kian tumbuh.
Ia duduk termenung pada sebuah batu yang letaknya tidak jauh dari pondoknya. “Apakah mungkin, karena belum menjalankan ritual untuk batu itu”, katanya sambil beradu pandang dengan sebuah batu besar di hadapannya. Rasa kecewa menyelimuti diri dengan penuh. Sebab pada jagung-jagung itu ada harapan baru untuk keluarganya. Harapan untuk hari-hari hidup selanjutnya.
Apa lagi anak semata wayang yang sedang merajut ilmu di tanah Jawa dan sedang membutuhkan uang sekolah. Air matanya mengalir dengan deras. Ia tahu bahwa bukan hanya uang sekolah diminta oleh anaknya melainkan juga uang untuk membeli kebutuhan hariannya. apalagi anak kuliah sudah pasti mendapat banyak kebutuhan. Hati teriris dengan belati tertajam. luka-luka hatinya mulai kembali berderai.
Ia kembali bertengah pada langit, inikah caramu mencintai kami. tuhan cukup keji, mengapa engkau tanggung ini pada kami. Ia kembali pulang ke rumah dengan harapan layu. sebab hanya itulah yang menjadi tumpuan hidup untuk beberapa bulan ke depan.
Ia menceritakan semua kejadian itu pada suaminya. Akan tetapi suaminya menanggapinya dengan santai. Sang suami tidak pernah memikiran kehidupan keluarga. Ia hanya sibuk dengan judi-judian. Hal-hal dalam keluarga menjadi tanggungan istrinya.
Resah belum usai. kepedihan hati seorang ibu belum tuntas terobati. Tiba-tiba anaknya memberi kabar bahwa, ia sangat membutuhkan uang sekolah. Tidak ada cara lain selain harus menghutang. Sang suami seakan berada di dunia lain. Ia tidak lagi peduli kehidupan rumah tangganya. Apalagi peduli dengan anak. Suami pergi dengan kehendak bebasnya. baginya dunia dalam keluarga terlalu berat untuknya. Lalu buat apa ia menikah?
Seorang ibu yang berhati luar biasa. Ia amat peduli dengan anaknya. baginya anak adalah harta termulia yang ia punya. Ia pun bergegas menuju rumah tuan yang beruang. Ia meminjamkan uang sekian banyak. Ia menggadai seluruh dirinya untuk seorang anak. kebun yang satu-satunya kepunya mereka, harus digadai ke tuan yang berpunya. Setelah ia mengirimkan uang kepada anaknya. Hatinya semakin lega. Meski ia tahu bahwa harus berjuang lagi untuk melunasi hutang-hutangnya.
Seorang anak yang tidak pernah memikirkan orang tua dengan bangga tanpa beban menerima uang itu. Padahal ia hanya mau menipu orang tuangnya. Sebab perkuliahannya sudah berhenti sejak lima bulan yang lalu. sebab ia telah berada dua dengan kekasihnya. Pacaran sampai berhenti kuliah adalah caranya untuk memikat hati pria berdarah Ambon itu. Ia sangat mencintainya.

Segala cara ia lakukan untuk ada berdua dengan kekasihnya. Sampai-sampai ia harus mencuci semua pakaian kotor dari kekasihnya. pokoknya segala hal pribadi dari kekasinya, ia urus dengan sedemikian mungkin. Ia tidak sadar bahwa ia hanyalah budak mainan. Buat apa harus rela seperti itu jika belum sah. Tetapi ia telah dibutakan oleh rasa cintanya.
Uang kiriman orang tuanya menjadi eden surga untuk kekasihnya. Ia bisa mengambil seberapun ia mau. Rupanya uang itu untuk membiayai kehidupan mereka berdua, bukan untuk membiayai perkuliahan. Kurang lebih dua minggu setelah menerima uang dari orang tuanya. Ia pun meminta lagi, sebab pesta natal sudah tinggal hitung hari. Hati seorang ibu amat lapang. lagi-lagi ia menjual luka demi anaknya bahagia. “Ibu, tolong kirim uang untuk beli buku”, kata anaknya. Hutang lama belum lunas terbayar, tiba-tiba ia harus mengutang lagi. ya..mau apalagi demi seorang anak. Caranya dengan menjual kalimat “membeli buku” membuat hati ibunya luluh. Ia pergi berhutang lagi. Tanah itu tidak digadai lagi melainkan dijual secara murah ke tuan itu. Ibunya mengirim uang lagi untuk kedua kalinya.
Caranya cukup ampuh meluluhkan hati ibunya. Tetapi ada sekian banyak dosa yang harus ia tanggung. Dosa telah menipu orang tua dan dosa berkumpul kebo dengan kekasihnya yang belum sah. Lagi-lagi uang itu, ia gunakan untuk membelikan pakaian natal untuknya dan juga kekasihnya. Seorang lakki-laki yang tak bermartabat ditambah lagi dengan seorang wanita yang dibutakan oleh cinta membuat membuat mereka semakin liar. Liar beradu strategi untuk membohongi orang tua. Perayaan natal dengan dandan yang anggun, layakanya anak orang berada. Tak sedikit dalam benaknya tentang kekekurangan orang tuanya.
Sekian tahun ia telah menipu orang tuanya. Sekian tahun juga ia menjadi budak dari kekasihnya. Tibalah di suatu saat, kekasihnya meminta kepadanya agar ia pulang berlibur untuk menjenguk orang tuanya. ia tidak tahu, bahwa inilah awal dari kehancuran hatinya. laki-laki itu belum sah menjadi suami. ia pergi dengan bebas ke tanah kelahirannya. Tanpa kabar adalah caranya untuk melepaskan kekasihnya.
Lalu wanita itu merana tak karuan. hatinya amat sakit setelah sekian tahun ada bersama dengannya. Ia sudah menjual seluruh dirinya untuk lelaki itu. Harta orang tuanya dikerus sedemikian rupa sampai akhirnya tanah warisan itu dijual murah. Perkuliahan tidak tuntas. hubungannya dengan lelaki itu sudah kandas. ibunya kian menua dan mulai sakit-sakit. ia meratap diri dengan penuh sesal. ayahnya pergi entah kemana. mungkin juga sudah beristri yang kesekian. Penyesalan selalu datang terakhir.

Penulis adalah Mahasiswa  STFK Ledalero-Maumere, Flores Nusa Tenggara Timur
Publisher: Erick Bitdana
 

Leave a Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *