Allah Mempedulikan Masyarakat
(sebuahrefleksi Teologi-Biblis)
(*Sdr. Vredigando E. Namsa, OFM
Pada zaman ini, masalah kemiskinan bukan hanya masalah dunia ketiga, atau masalah Utara Selatan, tetapi sudah menjadi masalah bersama di antero dunia ini. Memang di manapun juga ada orang miskin. Bagaimana kemiskinan itu dapat dipahami, sudah menjadi masalah tersendiri. Dalam pengertian biasa kemiskinan berarti ketergantungan pada orang lain, baik dalam kebutuhan jasmani maupun kebutuhan rohani sehari-hari. Orang miskin seperti itu ada di mana-mana. Bila, kemiskinan disempitkan dalam arti sosio ekonomis, itupun akan meliputi belahan dunia yang tidak kecil. Pengertian kemiskinan sudah merupakan soal, apalagi masalah pemecahan kemiskinan itu sendiri.
Bagaimanapun juga, masalah kemiskinan adalah masalah kehidupan. Oleh karena itu setiap orang bisa merenungkannya dari aneka segi keprihatinan. Kemiskinan bisa direnungkannya dalam terang budaya, dalam terang gaya hidup, dalam sejarah, dalam terang tatanan hidup masyarakat dan tidak kala penting renungan dalam segi iman, yang memberikan ilham khusus bagi keterlibatan terhadap kaum miskin.
Sejak dulu kaum beriman berupaya untuk meringankan beban penderitaan kaum miskin, baik dengan karya amal yang terorganisasikan secara rinci dan rapi, maupun secara spontan, jujur dan sukarela. (bdk, St. Darmawijaya, Keterlibatan Allah terhadap kaum miskin, Yogyakarta: Kanisius, 1991, hal 20). Mengapa orang beriman terdorong begitu terdorong untuk membantu orang miskin? Apakah orang miskin merupakan obyek dengan demikian bisa menjadi proyek? Ataukah ada dorongan lain yang menyebabkan keprihatinan itu berkembang menjadi suatu kegiatan, aksi yang begitu menggebu-gebu?
Kehidupan religius dalam Kitab Suci tidak pernah dilihat sebagai kepentingan perseorangan. Memang benar hati perseorangan yang percaya atau tidak percaya, jahat atau baik. Tetapi iman dan kebaikan dikaitkan secara erat sekali dengan sesama. Hal ini sudah jelas sekali dalam rumusan Taurat: “Dengarkanlah, hai orang Israel: Tuhan itu Allah kita, Tuhan itu Esa! Kasihilah Tuhan Allahmu, dengan segenap hatimu dan dengan segenap jiwamu dan dengan segenap kekuatanmu” (bdk, Kitab Ulangan 6:4-5).
Allah tidak hanya membebaskan orang perseorangan, tetapi umat yang dikasihi dan dipilih. Umat itu itu diberi kesempatan untuk mengikat perjanjian, diberi taurat sebagai ikatan hidup bersama. Maka konstitusi bagi umat menjadi penting melebihi hal yang lain. Hal ini juga jelas dari harapan pembaharuan. (bdk. Banawiratma, kemiskinan dan pembebasan, Yogyakarta: Kanisius, 1987, hal. 57). Yerusalem Baru maupun Sion baru akan dibangun, menyangkut seluruh umat Allah. Allah akan berkuasa di tengah jemaat, dalam seluruh jemaat umat manusia, seperti dinyatakan dalam Kitab Daniel 7.
Dalam pesan Yesus, kuat kuasa Allah itu sudah datang kini. Kedatangannya adalah di tengah umat, dengan membangun eklesia yang didasarkan pada karang yang kokoh (bdk, Mat 16:16.18). Kitab Wahyu mencangkan dunia baru, juga dalam bentuk masyarakat manusia, Yerusalem baru dimana Allah tinggal di tengah umat-Nya. Justru di sinilah muncul masalah, manakah sumbangan pribadi masyarakat untuk menumbuhkan pribadi yang lebih kembang? Bagaimana tanggung jawab pribadi secara individu membangun masyarakat secara universal? Keyakinan seperti ini terumus dalam Kitab Yesaya 18 bahwa pribadi secara individu mempunyai tanggung jawab berarti bahwa tanggung jawab itu demi kepentingan seluruh masyarakat yang disapa oleh kasih karunia Allah.
Dari pengamatan akan tahap-tahap perhatian dan keterlibatan Allah kepada kaum miskin seperti yang sudah di singgung di atas, bisa dimengerti paradoks kehidupan yang sungguh menakjubkan dan penuh misteri. Yang miskin, dina, lemah, dan tak berkuasa ternyata menjadi jalan pelaksanaan kehendak Allah untuk mentransformasikan dunia dan manusia sampai pada kepenuhannya. Jalan yang berliku ini menjadi pilihan Allah, dan justru di sini kelompok miskin yang dipilih Allah hendaknya menjadi tanda pembebasan Allah sendiri pula.
Membiarkan diri dibimbing oleh kekuatan rahmat dan kekuatan-Nya, dan menemukan pembebasan sejati seperti yang dikehendaki-Nya, tidak begitu sederhana, karena orang tetap ditandai oleh kehendak merdeka atau mengatakan ya atau tidak terhadap karya Allah yang telah dan tetap dilaksanakan dalam sejarah ini.
Maka terbuka untuk kaum miskin sungguh merupakan salah satu pilihan yang terbuka bagi karya Allah. Terbuka seperti karya Allah dalam penciptaan, penyelenggaraan, penyelamatan dan pemenuhan pada akhir zaman. Allah yang melalui karya baik, akhirnya Ia juga akan menyelesaikannya. Cermin karya itu nampak dalam ciptaan, maka diharapkan juga nampak dalam pilihan bangsa, yang dikasihi-Nya, agar menjadi jelas karya-Nya tetap berlangsung sampai saat ini. Kenyataan inilah yang harus terus menerus disadari kembali, kalau manusia mau tetap memperhatikan bagaimana Allah berkarya dalam kehidupan manusia itu sendiri. (bdk, Cletus Groenen, Soteriologi Alkitabiah, Yogyakarta: Kanisius, 1989, hal, 67).
Referensi:
Darmawijaya, Keterlibatan Allah terhadap kaum miskin, Yogyakarta: Kanisius, 1991.
Banawiratma, Kemiskinan dan pembebasan, Yogyakarta: Kanisius, 1987.
Groenen, Cletus, Soteriologi Alkitabiah, Yogyakarta: Kanisius, 1989.
Penulis adalah Mahasiswa Pasca Sarjana di STFT Fajar Timur Abepura-Papua