Menjadi “Manusia Pemberontak” menurut Filsuf Albert Camus Relevansinya dengan Perjuangan Orang Asli Papua
April 26, 2020
(Sebuah Refleksi)
Oleh: Novilus K. Ningdana
Pada hakikatnya manusia memandang kehidupan ini bermakna, berarti, bermanfaat bagi dirinya. Sebagai umat beriman dalam kata pembuka doa kita selalu mengucap syukur kepada Sang Pemberi kehidupan. Ungkapan ini berasal dari seluruh eksistensi diri yakni tubuh, jiwa dan roh. Keadaan disposisi batin seseorang mempengaruhi ungkapan isi hati terhadap diri, realitas, dan dunia serta Tuhan. Misalnya ketika seseorang merasa seluruh kebutuhan dirinya berkecukupan ia akan merasa aman, nyaman, tenang, damai sambil bersyukur kepada Tuhan dan sesama.
Namun disaat ini tidak sedikit orang yang merasa hidup di dunia ini tidak bermakna atau sia-sia. Seluruh keberadaan mereka tidak bermakna, bermanfaat, berarti sehingga tak ada kata syukur dan terima kasih yang keluar dari mulutnya untuk menyapa seisi dunia dan Sang Pencipta. Khususnya bagi orang Papua yang mengalami penderitaan karena faktor ekonomi, sosial, budaya, agama, dan politik. Seolah penderitaan manjadi disposisi batin yang melindungi tubuh orang Papua.
Para korban penderitaan (orang Papua) hanya berpasrah dan menerima keadaan hidup itu. Bahwa ketika orang tua dibunuh oleh wajah-wajah negara (TNI/Polri) anak menjadi saksi, penonton dan mengambil sikap pasrah akan pembunuhan ini. Dalam situasi ini ketika anak mengaduh kepada hukum, keadilan tidak dapat ditegakan. Ketika mengaduh pada lembaga adat, kepala suku membunuh babi dan melakukan ritual adat “perdamaian”. Ketika pergi ke Gereja, hanya menerima nasehat Injil bahwa berpasrah pada Tuhan. Dalam disposisi batin ini, Filsuf Albert Camus menolak untuk mengakui Tuhan karena penderitaan umat Tuhan yang tak berdosa. Segala macam pembunuhan secara fisik dan mental harus disingkirkan karena menambah kesia-siaan hidup dan menghapuskan segala kemungkinan untuk hidup manusiawi. Pembunuhan menambah penderitaan orang tak berdosa dan justru memperbudak penyakit (memoria passionis) yang konon mau disembuhkan. Beberapa pertanyaan yang mendapat perhatian ialah apa sikap dan pilihan orang Papua dan juga Gereja atas penderitaan Orang Papua? Jika “ya” mengapa dan jika “tidak” mengapa?
Di dalam diri kita sebagai orang Papua terdapat insting, kodrat kebaikan, keadilan, kebenaran, kejujuran dan nilai-nilai hakiki kemanusiaan sebagai manusia yang hidup di tanah Papua. Seluruh eksistensi kita mengungkapkan siapa kita orang Papua secara esensi dan kultur. Orang Papua menemukan keadaan asali sebagai manusia Papua, ras Melanesia yang menentukan keberadaan, nasib dan masa depannya sendiri. Atas dasar keinginan manusiawi ini orang Papua secara prinsipil menyatakan “ya” dan “tidak” atas penderitaan, ketidakadilan, pembunuhan, pemerkosaan, pembungkaman, penangkapan, penganiayaan, terror dan intimidasi oleh wajah-wajah negara (TNI/Polri).
Dalam situasi ini orang Papua dengan tahu dan sadar akan dirinya dan keberadaannya mengatakan suatu sikap. Suatu sikap “ya” atas penderitaan, ketidakadilan dan pembunuhan orang tak berdosa, atau serentak katakan “tidak” terhadap segala bentuk penderitaan ini. Nah, ini menjadi dilemma bagi orang Papua. Namun yang terpenting ialah pernyataan sikap optimisme. Salah satu sikap yang ditawarkan menurut Camus ialah Pemberontakan. Orang Papua bersikap siap dan mau melakukan pemberontakan terhadap semua ketidakadilan, penderitaan dan kematian orang tak berdosa di tanah ini. Orang Papua harus sadar bahwa biarlah penderitaan terjadi pada nenek moyang dan stop pada generasi kita demi menyelamatkan generasi orang Papua akan datang. Maka logika pemberontak ialah “mengabdi kepada keadilan supaya ketidakadilan jangan bertambah bagi manusia. Terhadap penderitaan dan kesengsaraan manusia, ia ingin bertaruh nyawa atas kebahagiaan mereka”. Artinya orang Papua menjadi manusia pemberontak. Melawan ketidakadilan demi keselamatan, pembebasan, kemerdekaan dan kebahagiaan manusia dan alam secara universal.
Orang Papua memberontak memerangi kebodohan kini dan di sini. Ia melawan segala bentuk penderitaan, ketidakadilan dan pelanggaran hak asasi manusia. Orang Papua tidak pasrah dan sabar terhadap realitas, menantikan keselamatan dan pengadilan Tuhan pada akhir zaman dan suatu firdaus kehidupan kekal kelak namun menyatakan sikap dan komitmen berjuang menghadirkan keselamatan kini dan di sini. Keselamatan harus nyata kini dan di sini bukan sebuah pengandaian kelak. Mungkin saja hari esok matahari akan bersinar kembali? Segala bentuk utopia akan tanda-tanda jaman kelak ditolak dan berjuang demi tegaknya kebenaran kini dan di tanah Papua. Bahwa orang Papua merasakan kasih, damai, sukacita, keselamatan, keadilan, penghormatan dan pengakuan akan harga diri, dan kebebasan serta kemerdekaan politik maupun dalam aspek-aspek kehidupan lainnya.
Oleh karena itu, dalam mengambil sikap optimis orang Papua mesti memilah, menimbang dan memilih salah satu jalan dari sekian cara. Sikap itu untuk menjadikan orang Papua satu hati, satu pikiran dan satu tindakan dalam pemberontakan. Maka sikap yang saya tawarkan ialah bersikap rasional. Sumber rasional ialah akal budi yang menghasilkan pikiran atau ide. Sikap ini akan dipertegas dengan komitmen bersama “satu pikiran pemberontakan”. Dalam perkataan terkenal Camus “saya melawan, jadi kita ada”. Sikap dan komitmen satu orang Papua untuk “ke-adaan”, hidup semua orang Papua sehingga di dalam orang Papua sendiri menyingkirkan batas-batas sikap individualisme, sukuisme, daerahisme, keluargaisme, dan agamaisme serta segala bentuk isme lainnya yang menghambat persatuan dan kesatuan demi terwujudnya misi bersama.
Bagi orang Papua jalan untuk mempertajam rasio ialah melalui pendidikan. Orang yang berpendidikan ialah orang yang bersikap rasional, orang yang rasional ialah pemberontak yang proposional, handal, teruji, cerdas, dan bijaksana. Ia tahu bagaimana cara memberontak dengan akal sehat. Ilmu yang dimiliki membentuk karakter yang tangguh, pikiran kritis, dan berusaha mencari hakikat kebenaran. Saya yakin Akal budi akan membongkar dan menguji pandangan-pandangan dan fakta yang ditindas dan dibungkam yang mendasari realitas perjuangan demi tegaknya keadilan dan kebenaran. Bagi Gereja-Gereja yang ada di Papua, Gereja sebagai institusi menjadi Gereja pemberontak dengan prinsip menolak segala bentuk ketidakadilan dan pembunuhan terhadap umat Tuhan yang tak berdosa sesuai dengan nilai-nilai injili dan Ajaran Sosial Gereja. Semoga dengan sikap serta jalan perjuangan pemberontakan yang ditempuh penderitaan orang Papua dan kematian orang tak bersalah berujung pada generasi kini dan di sini demi keselamatan jiwa-jiwa kelak.
Sumber: Weij, P.A. van der. Terj. K. Bertens. Filsuf-Filsuf Besar Tentang Manusia. Yogyakarta: Kanisius, 2000.
Penulis adalah anggota Kebadabi Voice di STFT “Fajar Timur”
Abepura-Papua