Akibat Perang Dunia II dan Martir Pertama Fransiskan di Papua
Oleh: Engelberto V. Namsa, OFM
(Mahasiswa STFT Fajar Timur)
Jepang yang telah berabad-abad menutup diri pada dunia, pada 1953 dipaksa oleh Amerika untuk membuka diri bagi pengaruh Barat yang cukup mempengaruhi seperempat belahan dunia ini. Dengan keadaan seperti ini Jepang menjadi sadar bahwa dirinya tertinggal dan dalam waktu yang singkat, Jepang mulai gencar melaksanakan agresinya.
Pada 1905 pasukan angkatan laut Rusia dikalahkan telak oleh Jepang dalam suatu pertempuran. Jepang bersekutu dengan Inggris, maka tidak heran sebagian wilayah Cina menjadi daerah jajahan Jepang. Jepang sudah memaksa untuk menempatkan pasukan perangnya di Indo-Cina. Untuk memperkecil bahaya, Amerika mulai berusaha untuk mencegah maksud Jepang menguasai Indo-Cina. Jepang mengetahui hal itu, sehingga pada 28 Desember 1941, Pearl Harbour diluluhlantakkan oleh serangan Jepang yang datang tiba-tiba tanpa diketahui oleh Amerika.
Pada 12 Januari 1942, Jepang mendarat di Hindia Belanda dan pada saat yang sama Jepang dengan tegas mengumumkan pernyataan perang melawan Belanda. Serangan Jepang berlangsung sangat cepat. Pada 10 Januari 1942, Jepang mendarat di Minahasa (Sulawesi Utara) dan Tarakan (Timur laut Kalimantan).
Pada 23 Januari menyusul pendaratan di Balikpapan (Kalimantan Timur) dan pada 30 Januari Jepang mendarat di Ambon. Pendudukan Nieuw Guinea tidaklah begitu diutamakan, yang terpenting hanyalah instansi minyak di Babo (Papua Barat), tetapi pada kenyataannya instansi ini sudah dirusakkan oleh KNIL sebelum Jepang mendarat pada 1 April, sedangkan Fakfak baru dikuasai pada 2 April. Pada saat yang sama Kontrolir Victor de Bruyn melarikan diri bersama kolega kerjanya dan ditolong oleh orang-orang Papua, mereka melarikan diri lebih jauh ke pedalaman Papua. Mereka ini bertahan sampai pada 1944. Di kemudian hari mereka diungsikan ke Australia.
Hal yang sama dialami oleh para misionaris Katolik yang berkarya di Papua. Mereka (para misionaris Katolik) banyak ditangkap dan dipenjarakan di beberapa tempat di Indonesia ini. Sampai-sampai pada 16 April 1942, Sdr. Auxilius Guikers, OFM dibunuh oleh tentara Jepang. Semenjak datang ke tanah misi, Pater Guikers menjadi pastor di Ternate. Namun akhirnya ia dipindahkan ke Manokwari, dengan perintah untuk menyelenggarakan karya misi Katolik di sekitar danau-danau Wisel.
Pada saat itu, Mgr. Yohanes Aerts (yang juga menjadi korban pembunuhan oleh tentara Jepang di Tual) telah mendesak supaya para misionaris harus mulai berkarya di daerah itu. Yang mana, daerah di sekitar danau-danau Wisel telah dibuka oleh Pater Tillemans, MSC (kemudian hari menjadi Uskup Merauke yang pertama) dan di situ ada beberapa guru yang sudah bekerja.
Pada saat Pater Guikers, OFM tiba di Manokwari, sesungguhnya ia sudah berjalan kaki dari daerah sebelah utara Papua ke danau-danau Wisel dan dari sana ia berjalan kaki kembali. Namun karena situasi perang yang terjadi, perjalanan itu tidak membuahkan manfaat untuk adanya suatu tindakan lanjut. Tidak dapat dipungkiri bahwa situasi perang ikut mempengaruhi karya misi Katolik di Papua. Kehadiran Jepang membawa warna baru bagi kehadiran Misi Katolik.
Pada 24 April tibalah Sdr. Nicasius Flaat, OFM dari Ternate dan Sdr. Nerius Louter, OFM dan Sdr. Adelphus van Leeuwen dari Fakfak. Tanggal 2 Mei datang juga Sdr. Fulco Vugts, sedangkan Sdr. Auxilius Guikers, OFM ditangkap di dalam rumah persembunyiannya oleh tentara Jepang. Ia ditangkap pada 16 April 1942. Menurut cerita, ia ditangkap karena terjadi pengkhianatan. Guikers, OFM dituduh telah merusak pangkalan perusahan Jepang di Manokwari.
Dikisahkan sebagai berikut: “Sdr. Guikers, OFM ditangkap lalu dibawa ke Moni untuk diadili di sana, dia dituduh sebagai telah disampaikan di atas. Dia sendiri saat itu masih menggunakan jubah Fransiskan. Mula-mula dia sebelum dieksekusi mati oleh tentara Jepang, Sdr. Guikers disuruh menggali lubang pemakamannya sendiri. Hal ini terjadi di Pantai Moni, Ransiki.
Sebelum dieksekusi ia meminta waktu untuk berdoa. Permintaannya itu dikabulkan, tetapi ketika dia masih berdoa, dia ditikam dengan dua pedang dari sebelah kiri tembus sebelah kanan. Pedang yang satu ditikam pada leher dari sebelah kiri tembus ke sebelah kanan. Akhirnya jenazahnya ditendang masuk ke dalam lubang yang sudah digali itu. Lubang kubur itu ditimbun dengan pasir.
Sesudah itu tentara Jepang pun pergi. Karena lubang kuburan itu begitu dangkal, beberapa orang muda pengikutnya mengumpulkan batu-batu di atasnya, untuk menghindari bahwa lubang itu terbuka kembali bila air pasang naik.”
Sdr. Auxilius Guikers, OFM, meninggal di Ransiki, pada 16 April 1942 dalam usia 31 tahun, yang menjadi Fransiskan selama 11 tahun dan sebagai imam hanya berlangsung 5 tahun. Ia datang Nieuw Guinea (Papua) pada Desember 1937. Dia berkarya di Papua (Fakfak dan Manokwari) selama 4 tahun 4 bulan. Ia mulai berkarya sebagai pastor Fransiskan di Fakfak selama satu tahun. Kemudian ia pindah ke Manokwari.
Editor: Erik Bitdana