Ada apa dibalik program Kemenag KITA CINTA PAPUA?
Oleh Admin
Program Kemenag “Kami Cinta Papua” Adalah Penjajaan Pikiran dalam Bentuk Eufemisme Bahasa. Mengapa disebut eufemisme bahasa? Mari kita simak maksud pikiran ini. Benar bahwa Program ini baru saja resmi diluncurkan oleh Kemenag pada 03 September 2020 di kota Jayapura (www.Liputan6.com). Pada tahap pertama program Kita Cinta Papua dirilis, sekaligus Menteri agama langsung diberikan kepada 257 mahasiswa Kristen Papua untuk kuliah S-1 di enam Sekolah Tinggi Agama Kristen Negeri (STAKN), yaitu di Manado, Ambon, Toraja, Palangkaraya, Kupang dan Tarutung (Sumut). Dengan mengundang langsung enam Rektor STAKN ke Papua untuk menjemput para calon mahasiswanya untuk melangsungkan tugas kuliah masing-masing kampus.
Tak hanya beasiswa, dana Rp 65 miliar juga digelontorkan Kemenag untuk membangun lima gedung baru madrasah, memberi bantuan pembelajaran daring, serta bantuan dalam rangka pencegahan penyebaran Covid-19. Selain itu, bantuan tersebut diperuntukkan untuk mempersiapkan fasilitas berupa bangun Sekolah Keagamaan disetiap kampus-masing. Karena itu Kemenag golontorkan dana Rp 65 miliar untuk program Kita Cinta Papua sebagai bentuk kepedulian pengembangan sumber daya manusia dibidang keagamaan.
Sebagai informasi, beasiswa ini juga dipakai untuk menunjang kebutuhan para mahasiswa/i disetiap sekolah dengan jumlah 285 mahasiswa muslim, 90 mahasiswa Katolik, bantuan Program Indonesia Pintar (PIP), dan bantuan operasi sekolah (BOS) untuk sekolah-sekolah keagamaan Islam, Kristen, Katolik dan Buddha. Dengan harapan bahwa dengan program ini, mulai tahun 2024 setiap tahun paling tidak mendapat tambahan 200 anak Papua sarjana S-1 yang siap mengabdi di Papua atau di wilayah Indonesia lainnya (www. liputan6.com, 06 SEP 2020).
Niat luhur yang hendak dibangun kemenag tentu saja disambut baik karena mendukung pengembangan sumber daya manusia Papua melalui kementerian agama dalam pembiayaan bidang pendidikan lanjutan dan pembangunan infrastruktur penunjang lainnya. Namun dibalik maksud baik tersebut, dipertanyakan apa maksud tersembunyi yang hendak dicapai sebagai tujuan utamanya selain yang tertulis. Hal ini dilatarbelakangi oleh situasi sosial politik di Papua yang cukup signifikan memanas, seakan telingah tanpa mata meredam getaran kompleksitas kasus pelanggaran HAM, problema Otsus Jilid II yang tak kunjung solusi, Rasialisme hingga memunculkan program Kita Cinta Papua yang beraroma Eufemisme romantika bahasa. Seperti yang disampaikan seorang imam Katolik baru-baru ini dalam media.
Kita pun bertanya ada apa dibalik program kita cintai Papua? Bukankah Republik Indonesia baru saja menyadari bahwa Papua adalah bagian dari negara kesatuan republik Indonesia? ataukah sebuah simbol romantika penjajahan pikiran dalam bentuk bahasa? Dan beragam pertanyaan pun muncul dibenak kita dengan melihat fenomena yang tak kunjung solusi.
Dengan melihat realita dan fenomena sosial politik di Papua pada umumnya, penulis memiliki pandangan sendiri terkait Eufemisme bahasa dibalik program”Kita Cinta Papua”.
Pertama, bahwa membungkam ruang gerak Suara Gereja-gereja Kristen terkait suara kenabiannya dalam mengambil bagian dalam penderitaan umat. Mengapa demikian, kita baru saja mendengar rilis siaran pers ke 70 para imam pribumi Papua untuk menyatakan kebebasan pemilihan tentang lanjutnya Otsus atau tidak “Para imam menilai, de facto, UU itu tidak membawa banyak perubahan bagi Papua. Apa yang tertulis, terutama yang berkaitan dengan isu kemanusiaan, tidak terealiasi (Katoliknews.com, 21 Juli 2020).
Kedua, meredam getaran suara penolakan Otsus Jilid II yang lagi ramai dibicarakan. Dengan memberi simbol bahwa Otsus tidak lagi menjadi perhatian publik, ditinggalkan, bosan dan didiamkan. Dengan demikian, rambuh lalulintas berjalannya hanya Otsus sudah final dibalik layar.
Ketiga, program Kita Cinta Papua adalah jawaban pertangungjawaban pemerintah Indonesia terhadap desakan PBB untuk menyelesaikan pelanggaran hak asasi manusia di Papua sebagai agenda tersembunyi. Tidak hanya itu, program sensus penduduk yang sedang didata pun menjadi data pertangungjawaban kelak di dewan hak asasi manusia pada akhir-akhir bulan sebtember ini. Hal ini juga dipertegas oleh Pdt. Dorman Wandikbo ( presiden GIDI) di Papua dengan sikap tegas menolak indevensi gereja Gidi dalam undangan tatap muka tokoh lintas agama dan tokoh adat dengan Menag beberapa hari lalu berlangsung di Jayapura, (Papuainside.com, Kamis/03/09/2020).
Berdasar pada ketiga hal tersebut diatas, Penulis pun meragukan bahkan mempertanyakan ideologi dalam program Kita Cinta Papua yang cukup signifikan beraroma Eufemisme romantika bahasa yang ingin meninabobokan orang Papua dalam jurang maut. Seakan sejarah kelam orang Papua tidak menjadi bagian dari hidupnya semenjak 1963-2020 ini. Seakan Papua tidak mengalami beragam ketidakadilan hukum, pembunuhan, pemerkosaan, penculikan dan diburu, ditembak hingga korban jiwa yang tak terbendung.
Mengapa dikatakan program Kita Cinta Papua adalah bagian penjajahan pikiran dalam bentuk romantika EUFEMISME bahasa?
Seperti yang kita ketahui, Eufemisme bahasa atau bahasa Eufemisme dipahami sebagai suatu proses gaya bahasa indah yang membuat orang mengambang di atas langit romantika bahasa. Ada bahaya bahwa dalam eufemisme bahasa terdapat maksud tersembunyi yang memiliki dampak buruk yang akan ditujukan untuk orang lain oleh pribadi maupun sekelompok orang terutama dalam tatanan politik ideologi negara. Sebab eufemisme bahasa menyembunyikan realitas dibalik proses penyimpanan atau pelesetan makna bahasa. Seperti arti dan makna bahasa Eufemisme itu sendiri bahwa eufemisme merupakan pengasingan makna sehingga manusia terasa terasing dari makna yang sebenarnya. Dengan kata lain boleh dikatakan bahwa, suatu pernyataan dimanipulasi sedemikian rupa sehingga terjadi semacam proses penjajahan kesadaran, cara berpikir cara melihat dan cara menilai, secara normatif dalam motif tertentu pada hal sedang dijajah pikiranya. Sehingga, simbol komunikasi yang pada umumnya dikenal, dimengerti dan dipahami maksud tersurat maupun tersirat oleh setiap insani akan dipandang secara berbeda dari kepentingan pribadi maupun kelompok dalam bentuk bahasa Eufemisme.
Secara etimologis, Kata eufemisme berasal dari bahasa Yunani, yaitu euphemismos. “eu” (bagus) dan “phemoo” (berbicara). Karena itulah Eufemisme dipahami sebagai sebuah gaya pembicaraan dengan ungkapan yang baik dan sopan. Dan juga bahasa ufemisme selalu dipahami secara umum dalam kalangan politik birokrat dan elit politik.
Tentang hal ini, Sutarno seorang sastrawan Indonesia (1988), juga menggategorikan eufemisme bahasa menjadi tiga pengertian: pertama adalah kategori baik, digunakan untuk sesuatu yang berhubungan dengan sopan santun. Kategori buruk, digunakan untuk mempolitisir suatu makna yang sebenarnya atau bersifat politis dan kategori buruk yang digunakan untuk memanipulasi kenyataan yang sebenarnya. Dilain sisi kita juga bisa melihat, mengalami dan merasakan sendiri setiap agenda yang hendak dikenal oleh setiap pribadi, institusi, partai atau program kerja membaca dan bisa menganalisanya dari latar belakang dan kebutuhan masing-masing kelompok.
Disini penulis hendak mengatakan bahwa eufemisme menjadi sarana penjajahan dibalik fakta dan realita situasi sosial politik di Papua. Hal ini bisa kita amati dari simbol romantika bahasa seperti halnya NKRI harga mati, Papua adalah Indonesia, Kami Cinta Papua dan lain sebagainya yang bisa kita temukan sendiri. Karena itu orang bisa bersembunyi dibalik hukum dan dalam bahasa romantika untuk menjajah orang lain tanpa peduli dipraktekkan dalam proses pembelajaran baik dari tingkat sekolah Dasar hingga Perguruan Tinggi swasta maupun negeri.
Kita tahu bahwa karakter dan etos kerja orang Pupua sudah dibunuh, filosofi hidup orang Papua dalam komunial dibatasi, dicurigai bahkan dilarang, merayakan hidup dalam bentuk kelompok dipantau, ketergantungan memenuhi kebutuhan pokok ekonomi sudah diciptakan dan sekarang muncul bentuk penjajahan pikiran dalam bahasa romantika baru. Bahkan gaya bahasa baru menjamin kesejahteraan dan keamanan, gaya kepemimpinan baru orang Papua diadopsi demi mempertahankan kekuasaan. Hingga mencapai overisme disemua lini kehidupan termasuk agama sebagai sarana dagang “Kema Allah yang tidak layak dihuni manusia” dalam bentuk bangunan gereja, pendidikan agama, hingga mengotori diri sendiri sebagai Bait Allah hilang lenyapkan Misi Yesus Kristus menjadi Misi Negara. Karena itu tidak kaget, ketika Negara mempergunakan agama sebagai sarana kekuasaan, sarana pertahanan, sarana eksekusi Misi Negara dibalik altar keramat dan jubah putih. Banyak orang juga mempertanyakan keterlibatan toko agama dan tokoh adat menjadi perwakilan Suara rakyat dan Suara umat gereja Papua beberapa hari dalam pertemuan pembukaan program Kita Cinta Papua baru baru ini di Jayapura (Jumat, 04 Seb 2020). Seakan para sang gembala menambah penderitaan umat Tuhan tanpa harapan keselamatan. Seakan Gembala membiarkan kawananya diterkam mangsa atau istilah “Pagar makan tanaman” lebih sadis. Program ini akan terus berlanjut dengan menghadirkan beragam program di lingkungan gereja, juga karena ada pembiayaan pendidikan disetiap sekolah dan PT swasta maupun negeri hingga membungkam setiap Suara para Nabi Perdamaian di tanah Papua.
Karena itu, kita sebagai orang berpendidikan memiliki hak untuk bertanya dan mengkritisi dari beragam pandangan yang kita pelajari. Kita orang Papua sekarang berbeda dengan Papua tempo dulu yang dibodohi dan dimanipulasi demi keamanan negara. Orang Papua jangan terlena dan termakan isu romantika bahasa yang mengaung disetiap lini kehidupan. Gereja sudah tidak lagi berdiri sendiri sebagai satu institusi mandiri melainkan ganda. Anda dan saya selalu terjebak dalam dua agenda Misi Yesus Kristus dan Misi Negara ditengah problematika politik di Papua. Gereja adalah Masyarakat, masyarakat adalah umat. tidak ada yang berbeda, hanya saja tujuanlah yang membawah kita pada kehidupan atau kematian. Marilah kita orang Papua yang punya leluhur, memiliki agama suku dan kepercayaan sendiri untuk kembali memujih Pencipta kita karena gereja sudah tidak lagi menjawab harapan hidup orang Papua. Mari kita sadar, cerdas, cinta Papua. Baiklah jika kita bertanya untuk mencari dan menemukan misi tersembunyi dibalik layar.
Penulis adalah Mahasiswa , Anggota Kebadabi Voice dan Aplim Apom Research Group di STFT Fajar Timur-Papua